Pada bagian pertama telah kami jelaskan dua teori tawakal; tajrîd dan iktisâb. Teori tajrîd lumrahnya ditempuh para sufi besar yang telah mencapai derajat kejernihan hati tingkat tinggi.
Di antara ulama sufi ternama yang menempuh maqam tajrîd adalah Syaikh Abd al-Wahhab al-Sya’rani. Dalam salah satu bai’atnya beliau mengatakan:
“Kami mengambil janji dari Rasulullah saw. agar tidak bertawakal sebagaimana tawakalnya orang-orang awam. Kami tidak akan berusaha mencari penghidupan dengan berdagang, bertani dan lain sebagainya. Kami tidak akan sekalipun meminta-minta kepada para penguasa dan orang kaya baik secara terang-terangan atau dengan sindiran.”( ‘Abd al-Wahhab bin Ahmad al-Sya’rani, 2005: 549).
Teori tajrîd ini banyak ditentang oleh beberapa kalangan seperti al-Qardlawi, Ibnu Taimiyyah dan al-Maraghi. Al-Qardlawi mengklaim teori tajrîd tidak sesuai dengan ajaran al-Qur’an, al-hadits, jejak para nabi dan sahabat, serta pendapat para ulama ahli tahqîq. (Yusuf al-Qardlawi, 1996: 37-56).
Ibnu Taimiyyah sendiri mengarang risalah khusus yang berjudul “Qâ’idah fi al-radd ‘ala al-Ghazâli fi al-Tawakkul” terkait tanggapannya terhadap teori tajrîd yang ditawarkan al-Ghazali dalam bukunya “Minhâj al-‘Âbidîn”.
Kalangan yang menolak maqam tajrîd berargumen bahwa seorang hamba dituntut untuk mengikuti sunnatullah dalam mencapai tujuan-tujuannya dengan adanya kasb (usaha), sebab Allah selalu menggantungkan perkara dengan sebab-sebabnya “Rabth al-Asbab bi al-Musabbabat”. Bila ingin kaya harus usaha, bila ingin bugar hendaknya berolah raga, bila ingin pandai belajarlah, dan seterusnya.
Jalan Tengah Teori Tajrîd Dan Al-Iktisâb
Menurut Syaikh Ihsan bin Dakhlan dalam karya monumentalnya “Sirâj al-Thâlibin”, teori tajrîd dan iktisâb harus ditempatkan secara lebih proposional. Jika seseorang memiliki kemantapan hati, tabah menghadapi segala kesusahan yang dihadapi, serta tidak memiliki rasa yang mengganjal sedikit pun tanpa bekerja maka boleh baginya untuk menempuh maqamtajrîd. Bahkan bila dengan bekerja justru akan mengganggu konsentrasinya dalam menggapai puncak spritualitas keharibaan-Nya(hadlrah), maka menempuh maqam tajrîd adalah jalan terbaik baginya.
Namun bila dengan meninggalkanusaha justru membuat dirinya selalu mengharapkan pemberian orang lain (thama’) dan mengeluh dengan kondisi ekonominya yang penuh dengan keterbatasan, maka langkah tepat baginya adalah dengan menempuh maqamiktisâb. Dalam Qût al-qulûb, Abu Thalib al-Makki mengatakan, “sebagian ahli tawakal berkata; barang siapa tidak bekerja kemudian hatinya menjadi lemah atau justru pekerjaan akan membuatnya menjadi lebih tentram maka tidak diperkenankan baginya meninggalkan usaha. Karena dengan tidak bekerja tersebut merupakan pengharapan terhadap selain Allah.”(Ihsan bin Dakhlan al-Jampesi, Vol II:120-121).
Imam As-Subki sendiri menghimpun ada tiga pendapat terkait dengan dua teori tawakal di atas. Versi pertama lebih mengunggulkan teori tajrîd. Dengan pertimbangan lebih menunjukkan kepasrahan diri kepada Allah. Versi kedua, lebih mentarjih teori iktisâb. Versi ketiga kondisional sesuai keadaan pelakunya. Pendapat ketiga ini yang dipilih oleh mayoritas ulama. (Taj al-Din Abd al-Wahhab as-Subki, Vol II: 436).
Keinginan hati menempuh maqamtajrîd di saat kondisi menuntutnya untuk menempuh maqam iktisâb merupakan syahwat tersembunyi akibat tipu daya syaitan. Sebaliknya dorongan hati untuk menempuh maqamiktisâb padahal sudah saatnya seorang hamba menempuh teori tajrîd merupakan sebuah kemunduran dalam menempuh wushûl menuju jalan-Nya. Dengan demikian, seseorang yang mendapat pertolongan dari Allah adalah mereka yang dapat memposisikan dirinya sesuai dengan kondisi yang menuntut, baik melalui jalan tajrîd maupun jalur iktisâb, dengan tetap meyakini bahwasegala sesuatu yang terjadi adalah karena kuasa-Nya .(Taj al-Din Abd al-Wahhab as-Subki, Vol. II: 436-437).
Wallahu a’lam bisshawab
*) Penulis adalah pegiat di Komunitas Literasi Pesantren (KLP), tinggal di Kediri