Manusia yang Hatinya Hidup Laksana Menguliti Bawang Putih

Manusia yang Hatinya Hidup Laksana Menguliti Bawang Putih

Bawang merah dan putih, keduanya mengajarkan arti kita arti mengakrabi kehidupan

Manusia yang Hatinya Hidup Laksana Menguliti Bawang Putih
Hidup penuh syukur dan ada derita, begitulah waktu berjalan. Nikmat mana lagi yang kaudustakan? Pict by Hexa R

Guru saya, semoga Rahmat dan kemuliaan tercurah pada beliau, memberi tamsil ilmu pengetahuan dalam bawang merah dan bawang putih. Bawang merah adalah pengetahuan garis, pengetahuan fenomena, atau eksoterisme bahasa kerennya.

Manusia yang menyibukkan diri melihat garis, terpukau fenomena, menyimak sisi eksoterisme; ia seperti seorang yang menguliti bawang merah. Di buka lapisan kulit pertama masih ada kulit lagi, terus dibuka masih ada kulit lagi sampai terus dibuka kulit ternyata tidak menemukan apapun. Mata pun pedas, air mata mengalir deras.

Sebaliknya, manusia yang melihat titik, melihat esensi kehidupan, atau esoterisme bahasa kerennya; ia seperti seorang yang menguliti bawang putih. Sekali kulit dibuka, ia langsung menemukan esensi itu, menemukan hikmah yang bisa dipetik sebagai pembelajaran.

Dalam pengajian, berkali-kali guru saya berucap :”Bukan garis melainkan titik. Jangan terpukau pada fenomena tapi lihatlah esensi”.

Garis atau fenomena adalah tamsil sebagai pembungkus titik atau esensi. Dalam kesempatan lain, guru saya bikin anekdot : “fenomena = fi Naumi na = aku dalam keadaan tidur aliaa mimpi”. Fenomena itu laksana mimpi/bunga tidur. Mengejar fenomena laksana mengejar fatamorgana di Padang pasir.

Menjadi manusia bijaksana (bukan bijaksini) adalah yang menggunakan mata hati. Ia melihat titik, bukan terpukau pada garis. Dengan kebijaksanaan itu, ia tidak mudah kagum, tidak mudah kaget melihat perubahan fenomena. Tidak mudah gelisah dengan bengkoknya garis. Ojo nggumunan, Ojo kagetan dalam bahasa Jawa.

Ia menjadi pribadi yang eling lan waspodo, selalu ingat dan waspada, tidak menjadi manusia edan dan kesurupan dengan fenomena yang berubah-ubah.

Eling dengan asal-usul dan tujuan hidup serta waspada dari jebakan penglihatan mata kepala adalah kunci menjadi manusia waras di tengah begitu banyak manusia tidak waras. Mata kepala seringkali menipu, hanya sanggup melihat dalam jangkauan yang pendek. Melihat kehidupan hanya bersandar pada mata kepala laksana orang menguliti bawang merah

Sebaliknya, melihat kehidupan menggunakan mata hati membimbing kita menemukan hikmah, melihat esensi membasuh jiwa’. Manusia yang hatinya hidup laksana menguliti bawang putih.