Di bulan Ramadhan ini umat muslim diwajibkan menjalankan tiga rukun Islam sekaligus yaitu shalat, puasa, dan zakat. Untuk yang terakhir ini dikhususkan bagi mereka yang mampu membayar zakat. Ketentuan dan aturan-aturannya sudah dijelaskan dalam yurisprudensi Islam yaitu Fiqih.
Maka tidak heran kalau bulan Ramadhan ini sudah ditunggu-tunggu oleh umat muslim di seluruh dunia. Di samping imbalan yang didapat ditambah juga ada kesunnahan-kesunnahan lain yang hanya terdapat di bulan Ramadhan, seperti shalat Tarawih dan malam lailat al-qadr. Dan, di penghujung bulan puasa, umat muslim (yang mampu) diwajibkan membayar zakat.
Makna kata “zakat” berarti tumbuh, berkembang, subur atau bertambah. Dalam al-Qur’an dan hadis disebutkan, “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah” (QS. Al-Baqarah: 276); “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka” (QS. At-Taubah: 103).
Zakat dibagi menjadi dua yaitu zakat mal dan zakat fitrah. Zakat mal diperuntukkan bagi mereka yang membayar zakatnya dengan harta seperti emas dan barang-barang sejenisnya dengan perhitungan yang sudah ditetapkan. Sedangkan zakat fitrah merupakan zakat yang dibayar dengan menggunakan bahan makanan pokok, misalnya beras atau gandum untuk negera Indonesia.
Pada saat Nabi Muhammad mengenalkan konsep zakat kepada umatnya, sebenarnya Nabi mengkritik keras tradisi penduduk Quraisy yang feodalistik. Tradisi Quraisy yang hidupnya sering menumpukkan harta untuk dirinya sendiri dikritik oleh Nabi karena hal itu tidak mencerminkan sikap kemanusiaan.
Istilah Jahiliyah yang melekat pada penduduk Mekkah memang menggambarkan adanya tindakan yang tidak mencerminkan sisi kemanusiaan. Angka kemiskinan yang tinggi, jurang pemisah antara yang kaya dan miskin begitu jauh, perubudakan masih tinggi, menjadi ciri penduduk Mekkah pada saat itu.
Konsep zakat hadir di tengah-tengah tradisi tersebut untuk merubah mindset yang selama ini sudah terkonstruksi. Harta kekayaan tidak boleh disimpan sendiri dan harus didistribusikan kepada orang lain yang membutuhkan. Maka jelas dalam konteks ini kewajiban zakat untuk memberikan santunan kepada orang-orang yang dilemahkan atau kaum mustadzafin.
Sebenarnya kritikan Nabi terhadap tradisi semacam itu juga bisa kita lihat pada konsep sodaqah dan infaq. Kedua konsep ini hukumnya sunnah bukan wajib sebagaimana zakat. Akan tetapi, ketiga konsep tersebut sebagai upaya untuk mengkritik kebiasaan orang Quraisy yang pelit akan harta.
Dengan adanya ketiga konsep tersebut, Nabi bukan hanya mengkritik tradisi feodalisme Quraisy akan tetapi juga mengusulkan bagaimana cara untuk mendistribusikan harta kekayaan. Meskipun dalam zakat ada batasannya untuk membayar zakat, dan jika dikalkulasikan tidak cukup untuk menghidupi orang lemah dalam waktu setahun, akan tetapi, setidaknya, Islam telah mewajibkan untuk mendistribusikan harta mereka kepada orang lain.
Di samping itu, ketiga konsep itu memperlihatkan bahwa Islam memiliki ajaran untuk membebaskan ketertindasan. Maka tidak heran jika orang-orang seperti Ali Asghar Engineer dan Hasan Hanafi merumuskan secara sistematis ilmu teologi pembebasan Islam. Sebab, secara historis memang sudah dibuktikan oleh Nabi tentang ajaran Islam sebagai pembebas dari ketertindasan.
Apa yang diinginkan oleh Nabi dalam hal ekonomi tidak lain untuk kesejahteraan sosial. Orang lain boleh kaya akan tetapi mereka tidak boleh lupa kepada orang yang tidak mampu. Kekayaannya pun harus disalurkan kepada orang yang tidak mampu untuk membersihkan harta bendanya. Nabi pernah mengatakan bahwa ketiga konsep tersebut tidak akan membuat rugi, akan tetapi justru akan menambah rezeki.
Di Indonesia sendiri, kesejahteraan dan keadilan sosial sudah menjadi amanat UUD 45. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan hukum untuk mewujudkan keadilan sosial sangat kuat. Bagi mereka orang muslim menjalankan ibadah zakat sebenarnya juga telah mewujudkan cita-cita keadilan sosial. Meskipun hal itu jauh dari harapan, akan tetapi mereka sudah berupaya untuk ikut terlibat aktif dalam mewujudkan cita-cita UUD 45.
Maka dari itu, jika kita tarik konsep zakat lebih jauh, kita akan menemukan adanya upaya umat muslim untuk meminimalisir jurang kemiskinan dan ketertindasan. Dengan menjalankan kewajiban membayar zakat mereka sudah berupaya untuk mewujudkan cita-cita kesejahteraan sosial. Dan, inilah kontribusi besar umat Islam untuk keadilan sosial. Wallahhu a’lam.
M. Mujibuddin, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.