Mandi Junub Dulu atau Langsung Santap Sahur?

Mandi Junub Dulu atau Langsung Santap Sahur?

Mandi Junub Dulu atau Langsung Santap Sahur?

Pada dasarnya, tidak ada larangan bagi orang yang junub untuk menikmati santap sahur. Sebab hal tersebut bukan tergolong aktivitas yang dilarang bagi orang junub. Sehingga tidak ada keharusan mana yang lebih didahulukan antara mandi junub terlebih dahulu atau langsung makan sahur.

Aktivitas yang dilarang bagi orang junub sendiri, disampaikan oleh Syekh Al-Qadli Abu Syuja’ dalam Matn al-Taqrib sebagai berikut:

وَيَحْرُمُ عَلَى الْجُنُبِ خَمْسَةُ أَشْيَاءَ اّلصَّلَاةُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ وَمَسُّ الْمُصْحَفِ وَحَمْلُهُ وَالطَّوَافُ وَالُّلبْثُ فِي الْمَسْجِدِ

“Haram bagi orang jubub lima hal: shalat, membaca Al-Qur’an, memegang dan membawa mushaf, thawaf, serta berdiam diri di masjid.” (al-Qadli Abu Syuja’, Matn al-Taqrib, Semarang, Toha Putera, tanpa tahun, halaman 11)

Hanya saja, bila melihat dari pertimbangan keutamaan, dianjurkan bagi orang junub untuk mandi janabah terlebih dahulu sebelum ia makan sahur. Sebab, bagaimanapun juga kondisi janabah adalah kondisi yang kurang baik, terlebih untuk menjalankan aktivitas yang bernuansa ibadah seperti makan sahur.

Dan apabila terpaksa tidak sempat mandi janabah, misalkan karena waktu mepet, maka sebaiknya terlebih dahulu membasuh kemaluan dan berwudhu sebelum santap sahur. Sebab, melakukan aktivitas makan dan minum bagi orang junub adalah makruh sebelum ia berwudhu dan membasuh kemaluannya.

Syekh Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan:

 وَيُكْرَهُ لِلْجُنُبِ الْأَكْلُ وَالشُّرْبُ وَالنَّوْمُ وَالْجِمَاعُ قَبْلَ غُسْلِ الْفَرْجِ وَالْوُضُوْءِ) لِمَا صَحَّ مِنَ الْأَمْرِ بِهِ فِي الْجِمَاعِ وَلِلْاِتِّبَاعِ فِي الْبَقِيَّةِ إِلَّا الشُّرْبَ فَمَقِيْسٌ عَلَى الْأَكْلِ

“Dimakruhkan bagi junub, makan, minum, tidur dan bersetubuh sebelum membasuh kemaluan dan berwudhu. Karena ada hadits shahih yang memerintahkan hal demikian dalam permasalahan bersetubuh, dan karena mengikuti sunah Nabi dalam persoalan lainnya, kecuali masalah minum, maka dianalogikan dengan makan.” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Minhaj al-Qawim, Hamisy Hasyiyah al-Turmusi, Jeddah, Dar al-Minhaj, 2011, juz 2, halaman 71)

Selengkapnya, klik di sini