Manakib Kebangsaan: Dari Soekarno Hingga Gus Dur dan Cara Menjadi Indonesia

Manakib Kebangsaan: Dari Soekarno Hingga Gus Dur dan Cara Menjadi Indonesia

Begini cara bapak bangsa saling berpikiran dalam satu wadah manakib

Manakib Kebangsaan: Dari Soekarno Hingga Gus Dur dan Cara Menjadi Indonesia

Islam lahir setelah didahului berkembangnya Agama Hindu, Budha, Kristen-Katolik, Majusi, Zoroaster, Mesir Kuno, maupun agama-agama lain. Karena hal itu, Islam sangat memahami masyarakat pluralistik secara religius telah terbentuk dan Islam sangat sadar dengan kondisi seperti itu. Dengan membawa semangat tersebut, Islam datang ke bumi nusantara.

SOEKARNO

Selalu bermasalah dengan orang Belanda sejak kecil. Pernah babak belur dipukuli anak-anak Belanda hanya meributkan soal bermain bola. Mewarisi kebencian dari ibunya, korban dalam Perang Puputan di Bali, dan dialiri darah juang Kesultanan Kediri dari ayahnya. Namun selalu diajarkan semangat welas asih dari kedua orang tuanya; “Tat Twam Asi, Tat Twam Asi,” adalah prinsip ketuhanan yang ia pegang teguh sampai akhir hayatnya.

Dia pemuja wanita, sekaligus pujaan para wanita. Ia pernah adu mulut dengan Ali Sastroamijoyo karena meributkan pelacur-pelacur yang ingin bergabung dengan PNI, partai yang ia dirikan. Ia berkeyakinan bahwa pelacur pun memiliki hak kehormatan yang sama dalam perjuangan. Saat menjadi penasehat Jepang, ia diperintah mengurus kebutuhan seksual tentara Jepang. Ia pun menyelesaikannya dengan baik; beberapa ratus pelacur ia kumpulkan dalam satu wilayah, tentara Jepang dapat ‘membelinya’ hanya dengan harga yang sangat mahal, itu pun dengan membawa semacam kartu langganan.

Dia adalah presiden dengan gelar Doktor Honoris Causa terbanyak sedunia (26 gelar). Dia juga presiden pertama dan satu-satunya  yang mengutip Al-Quran (Surat Al-Hujurat: 13) dalam pidato di Sidang Umum PBB XV tahun 1960, dan setahun kemudian dinobatkan sebagai Pahlawan Asia-Afrika. Namun ia pula presiden termiskin di dunia, hanya memiliki satu rumah di Batutulis, Bogor, dan meninggal pun tidak mewarisi apa-apa kepada anak-anaknya; Guntur harus putus sekolah untuk membantu kerja ibunya, dan Mega harus hidup bersama suaminya, senasib dengan Rahma dan Sukma.

Antara ia, Kartosuwiryo, dan Muso memang pernah mondok bersama di Surabaya dan mengaji pada guru yang sama, HOS. Cokroaminoto. Ketiganya saling ledek, saling bercengkerama, dan satu sujud pada satu bendera revolusi dalam melawan Belanda. Namun ia tidak pernah berkompromi dengan orang-orang yang ingin mendirikan negara Komunis atau negara Agama (Islam) di Indonesia; seperti ia tak pernah berkompromi dengan temannya sendiri, Muso, yang mendirikan Negara Republik Soviet Indonesia di Madiun 18 September 1948, dan Kartosuwiryo yang mendeklarasikan Negara Islam Indonesia (NII) pada 7 Agustus 1949.

GUS DUR

Kartosuwiryo adalah kawan sekaligus lawan paling tangguh Soekarno. Gerakan bawah tanah yang dilakukan Kartosuwiryo sempat menyulitkan TNI/Polri saat itu. Sandi operasi penumpasan DI/TII oleh pasukan ini adalah “Bharatayudha”, diambil dari sebuah pertempuran antara kerutunan Pandu Dewanata dan keturunan Desarata, yang sebenarnya masih bersaudara; sama-sama keturunan Bharata.

Arjuna adalah Pandawa, anak bungsu dari Kunti dengan Pandu, adik Yudistira dan Bima. Arjuna memiliki anak bernama Wisanggeni, hasil perkawinannya dengan Dewi Dursanala, putri Bathara Brahma. Memiliki kisah yang sama dengan Gatotkaca, Wisanggeni dibuang ke kawah Candradimuka sejak bayi, dan memperolah kesaktian luar biasa dari sana. Ia berhasil mengalahkan Bathara Kala, hanyasaja harus dibayar dengan kematiannya, itulah kenapa ia tidak memiliki kesempatan menemani Pandawa dalam peperangannya melawan Kurawa dalam Bharatayudha.

Gus Dur itu Wisanggeni,” kata mBah Liem, Ulama, Kyai Muslim Rifai Imampuro.

Ia adalah Presiden Indonesia keenam, bukan keempat, yang pada 1980-an semangat sekali menularkan gagasan Pribumisasi Islam. Sulit sekali mengingkari keberhasilan gagasannya; sampai seluruh Jawa pada akhir 1990-an hampir dibanting seluruhnya ke ‘kanan’, nyaris tiada ‘kampung Abangan’.

Saat awal tahun 1983, ia pernah mempersoalkan Soekarno, presiden yang sangat senang berurusan dengan agama ini ternyata tidak mencantumkan suatu lembaga yang mengurus agama warganya, yaitu Kementrian Agama, justru Kabinet Sjahrir, yang sosialis dan sekular ini, yang menciptakannya.

Impiannya sama besar dengan impian Soekarno. Ia sangat tegas dan tidak pernah setuju dengan orang yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara Agama. Pemahamannya yang baik dalam mendudukan Islam di hadapan pluralisme sama baiknya dengan pemahaman Soekarno akan itu. Pemikirannya juga sama sederhananya dengan Soekarno, kehidupan berbangsa yang majemuk dibangun terlebih dahulu, dengan sendirinya kehidupan berbangsa dalam berbangsa akan tercipta. Sama seperti Soekarno, ia menekankan agama sebagai substansi (isi) daripada formalitas (bungkus); “jangan pentingkan bungkus lebih dari isi!” katanya.

Pada tahun 2001, pemimpin-pemimpin negara Islam paling berpengaruh berkumpul di Daha, Qatar. Ia adalah salah satu presiden yang diundang. Pertemuan ini dilanjutkan ke Jedah, Arab Saudi, dan masih meninggalkan perselisihan antara Pangeran Abdullah dari Arab Saudi, dan Presiden Pervez Musharaf dari Palestina. Dapat di tebak, pertemuan di Jedah masih diawali dengan perdebatan kedua presiden ini, sampai Syeikh Hamad Al-Thani, Pesiden Qatar, tak sanggup menengahi. Hingga akhirnya Gus Dur berbicara:

“Ini soal bungkus dan isi. Dekralasi hanya soal bungkus, dan isinya adalah komitmen kita. Sebaiknya kita mengedepankan isi, karena isi lebih penting daripada bungkusnya, contohnya: BeHa.” Seluruh ruangan tertawa, tanda diakhirinya perdebatan.

Bharatayudha telah selesai. Wisanggeni pun sudah meninggal. Sayangnya Bathara Kala masih tertinggal, mungkin sedang merencanakan Bharatayudha II.