Pandemi Covid-19 menjadi pemantik rasa peduli yang menggerakkan masyarakat sipil. Baik organisasi maupun individu ramai-ramai melakukan aksi penggalanan dana guna menguatkan ketahanan masyarakat akar rumput. Aksi-aksi seperti pembagian sembako, masker, dan hand sanitizer hampir setiap hari bisa kita jumpai baik di jalanan maupun di laman media sosial kita.
Kenapa hal itu bisa terjadi? Hal ini salah satunya disebabkan belum kuatnya jaring pengaman sosial yang dimiliki negara untuk menjamin kesejahteraan warganya, bahkan di level kebutuhan dasar. Negara, paling banter, hanya memberikan subsidi berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang juga pernah dilakukan pada masa pemerintahan lalu.
Sebagaimana pengalaman Indonesia pada 1997/1998, krisis ekonomi yang menghantam Asia itu juga “berjasa” dalam membidani lahirnya inisiatif kedermawanan yang kini telah menjadi lembaga filantropi yang mapan seperti Darut Tauhid Peduli, Rumah Zakat, dan lainnya.
Ibarat kegiatan memancing, kedermawanan yang berjangka pendek seperti pembagian sembako dan dana tunai itu seperti kita memberi ikan yang akan habis dimakan beberapa hari saja, bahkan hari itu juga. Sebaliknya, jika kita berikan kailnya dan diajarkan tutorial memancing, mereka dimungkinkan bisa makan setiap hari dengan bekal keterampilan tersebut. Yang pertama bisa kita sebut sebagai kedermawanan jangka pendek (charity) sedangkan yang kedua kita sebut sebagai filantropi.
Program pelatihan dari pemerintah pusat beberapa waktu lalu nampaknya termotivasi dengan model yang kedua ini. Hanya saja waktunya tidak tepat & programnya terkesan dipaksakan, serta belum disiapkan secara matang. Sebagian pihak menilai bahwa program yang ditawarkan lebih cocok diterapkan oleh masyarakat perkotaan ketimbang masyarakat pedesaan. Emang kalau ikut pelatihan jadi Youtuber akan langsung bisa dapat uang? Kan perlu proses panjang dan juga butuh kuota serta alat-alatnya. Sedangkan dalam kondisi seperti saat ini masyarakat lebih membutuhkan kebutuhan dana riil untuk menopang hidup selama pandemi.
Sebagian kalangan menilai kegiatan charity tidak sesuai dengan semangat pembangunan. Kegiatan kedermawanan jangka pendek ini juga dianggap tidak mampu menjadi solusi dalam mengentaskan kemiskinan. Charity hanya akan memanjakan pihak penerima saja dan tidak memiliki dampak struktural yang terukur. Namun, di sisi lain, keindahan dalam berbagi itu justru hadir di sana. Saat hati kita tersentuh oleh kondisi seseorang, lalu tergerak untuk menyisihkan sebagian harta kita, di situlah letak keindahan itu: sebuah spontanitas yang muncul dari hati dan tidak diembel-embeli oleh beragam prasangka kecuali rasa belas kasihan itu sendiri (Bornstein, 2009). Apalagi di zaman digital saat ini, dengan banyaknya unggahan konten yang menyentuh jiwa, masyarakat dengan mudah akan menyisihkan hartanya untuk berbagi.
Mengutip Amelia Fauzia (2010), semakin kita mampu membuat hati orang lain tersentuh, atau kalau bisa membuat orang lain meneteskan air mata, peluang orang untuk berdonasi itu semakin besar. Di titik inilah beragam organisasi charity itu saling berlomba-lomba, berkompetisi dalam kebaikan. Mulai dari menampilkan masyarakat kelas bawah yang memprihatinkan, memposting penderita penyakit akut, kondisi warga yang terdampak bencana alam, dan lainnya.
Pada hari-hari normal hal seperti ini bisa kita jumpai misalnya pembagian nasi bungkus untuk dhuafa jalanan seperti tukang becak, pemulung, gelandangan dan lainnya atau ajakan berbagi dari lembaga charity seperti kitabisa.com untuk membantu orang-orang penderita penyakit akut. Tentu saja, narasi yang dibangun melalui media sosial sangat menentukan sejauh mana efektivitas penggalangan dana itu lakukan.
Kegiatan kedermawanan jangka pendek ini semakin semarak di masa pandemi Covid-19 saat ini. Selain para pemain lama, kita juga menyaksikan beragam inisiatif baru yang muncul di sekitar kita. Di Youtube, salah satu yang terkenal adalah yang dilakukan oleh Baim Wong. Artis ganteng ini memberikan bantuan kepada siapa saja yang dia anggap layak untuk disantuni. Di level akar rumput, ormas keagamaan dan komunitas anak-anak muda banyak yang turun ke jalan dalam rangka peduli warga terdampak covid-19. Mereka memberikan bantuan langsung berupa sembako dan lainnya seperti yang dilakukan oleh badan-badan otonom Nahdlatul Ulama, Pemuda Muhammadiyah, Jaringan Gusdurian dan lainnya. Bahkan komunitas pengagum Didi Kempot, Sobat Ambyar, mampu mengumpulkan sekitar 7 Miliar dari donasi yang mereka kumpulkan.
Memang, kegiatan kedermawanan berbasis jangka pendek ini tidak bisa diandalkan jika kita berbicara tentang pengentasan kemiskinan. Sebab, program seperti pengentasan kemiskinan, pelatihan dan pemberdayaan kaum dhuafa lebih banyak dilakukan dan menjadi fokus garapan lembaga filantropi seperti Dompet Dhuafa, Baznas, Rumah Zakat, Darut Tauhid Peduli, dan lainnya. Sebaliknya, kemunculan beragam inisiatif kedermawanan di masa pandemi ini memunculkan pertanyaan: sejauh mana efektivitas lembaga-lembaga filantropi tersebut, dan akan sampai mana umurnya? Kenapa yang masif memberikan santunan, yang marak di media, justru tidak didominasi oleh lembaga-lembaga tersebut? Apakah karena mereka sudah mapan dan sistem birokrasinya justru menghalangi meraka untuk melangkah dengan gesit sebagaimana kegiatan charity oleh masyarakat sipil?
Namun, pandangan yang paling moderat adalah bahwa kehadiran inisiatif baru kedermawanan di masa pandemi ini melengkapi langkah-langkah lembaga filantropi yang programnya lebih berorientasi pada pembangunan, pengentasan kemiskinan, dan membangun keadilan sosial melalui program-program yang telah mereka miliki.
Oh ya, satu lagi, mampukah inisiatif kedermawanan yang lahir dan hadir di masa peduli covid-19 ini terus bertahan dan bertransformasi menjadi lembaga filantropi yang berkelanjutan (sustainable)? Di sinilah tantangannya! [rf]