Selain upacara kemerdekaan dan lomba-lomba Agustusan yang dilaksanakan dengan meriah, malam tirakatan menjadi salah satu ritual wajib dalam menyambut hari kemerdekaan RI setiap tahunnya. Dilaksanakan pada malam tanggal 16 Agustus, ritual ini jadi titik mulai untuk peringatan besar hari kemerdekaan Indonesia esok harinya. Soal bagaimana ritual ini dilaksanakan oleh warga, bisa bermacam rupa dan bentuk tergantung dimensi kultur, sosial, dan populasi warga di daerah tersebut.
Dari memori masa kecil di kampung halaman saya di Pantura yang mayoritas santri, malam tirakatan dilakukan dengan cara yang religius. Tiap tanggal 16 Agustus selepas jamaah salat maghrib dari musala, warga berkumpul di gelaran tikar sepanjang gang RT. Masing-masing rumah menyumbang bagian yang disepakati. Ada yang menanak nasi, membikin urap, menggoreng tempe dan ikan asin, ada yang cuma menggodog teh panas. Acara berlangsung cukup singkat, ‘hanya’ sebatas doa bersama dipimpin tetua dan selamatan santap nasi urap beralas daun pisang bersama-sama. Singkat saja, makan-makan selesai begitu adzan Isya’ berkumandang. Tidak meriah, tidak hingar-bingar. Cukup doa, dan makan. Fi dunya hasanah, wa fil akhirati hasanah. Khas kaum sarungan.
Bagi kelompok yang lekat dengan Islam atau tradisi pesantren, ritus ‘kenegaraan’ semacam ini yang jadi contoh konkret dari istilah ‘tirakat’ sebenarnya. Kata tirakatan, atau tirakat, merupakan serapan penjawaan dari bahasa Arab thariqah, bermakna jalur perjalanan, atau jalan yang dilalui. Arti lebih jauhnya, adalah sebuah laku spiritual demi tercapainya sebuah tujuan. Kadang identik dengan puasa, atau laku prihatin demi mencapai sebuah tujuan. Untuk mendapat jodoh gelar sarjana saja anda perlu laku tirakat, bersusah-susah dulu. Secara lahir maupun batin. Apalagi mencapai kemerdekaan sebuah bangsa? Tirakatnya tentu bukan main. Dalam alam pikir ini, tirakatan punya arti momentum untuk bersyukur, berterimakasih, mengenang laku prihatin, susah payah perjuangan para pahlawan dalam menggapai kemerdekaan Indonesia.
Tidak selalu, tapi di banyak daerah yang lebih bercorak nasionalis, malam tirakatan tidak betul-betul tampak ‘tirakat’nya. Lebih tepat disebut sebagai selebrasi kegembiraan menyambut kemerdekaan. Alih-alih tampak prihatin dan sederhana, seringkali tirakatan justru dirayakan dengan pertunjukan pentas seni pemuda setempat, dan panggung hiburan rakyat (seringnya dangdutan organ tunggal) yang riang gembira. Meski demikian, laku prihatin dari ritus tirakatan macam ini toh masih tampak dengan menyanyikan lagu Syukur, mengheningkan cipta, atau sesi pembacaan naskah teks proklamasi oleh tokoh masyarakat setempat yang berlangsung dengan khidmat. Tentu kemudian ditutup dengan bacaan doa.
Selebihnya, Tirakatan dilakukan dengan gembira. Saking gembiranya, terkadang beberapa pemuda curi-curi kesempatan menggilir gelas di kegelapan. Terus begadang sampai dibangunkan oleh terbit matahari tanggal 17 Agustus esok harinya. Terkadang saja.
Aneka rupa corak peringatan malam tirakatan sangat beda dari satu tempat dengan yang lain. Yang pasti, garis besar dari ritual ini adalah ungkapan rasa syukur orang-orang terhadap kemerdekaan, terlepas dari lagu Syukur ciptaan Sayyid Muhammad Husein bin Salim bin Ahmad al-Muthahar itu dinyanyikan atau tidak. Ini adalah cara orang-orang berterimakasih kepada Tuhan atas karunia kemerdekaan yang telah diberikan kepada bangsa Indonesia dengan cara-Nya menitipkan kepada para pahlawan bangsa yang telah berperan dalam hadirnya kemerdekaan Repubik Indonesia.
https://twitter.com/irfan_nuruddin/status/1691808965057720804?s=20
Sebagai sebuah negara yang berpegang pada ‘godly nationalism’ atau nasionalisme berketuhanan, malam tirakatan menjadi sebuah ritual agama sipil yang khas. Agama sipil di sini bukan lah berarti ‘agama’ dengan seperangkat dogma yang berdiri sendiri, melainkan sebuah dimensi politik dan budaya sebuah bangsa yang tampak menyerupai struktur atau dimensi agama.
Istilah agama sipil pertama kali dicetuskan oleh sosiolog Amerika Serikat, Robert N. Bellah di artikel jurnalnya yang berjudul Civil Religion in America, yang terbit di Jurnal Daedalus terbitan American Academy of Arts and Sciences edisi Musim Dingin tahun 1967. Ada setidaknya enam elemen historis dan kultural yang menurut Bellah membentuk konsep agama sipil ini; ritual seremoni kenegaraan, dokumen sakral negara, simbolisme agama dalam bernegara, pemimpin negara sebagai figur profetik, penciptaan mitos bangsa, serta prinsip dan nilai bersama sebagai sebuah bangsa.
Dalam perjalanan sebuah negara, terdapat elemen-elemen yang dipraktikkan sehingga mirip dengan ritual agama. Upacara, penghormatan kepada bendera, atau peringatan epos kepahlawanan, misalnya. Dengan turut serta kepada ritual tersebut, warga negara dengan sadar menegaskan komitmen, “iman”, dan identitasnya sebagai bagian dari sebuah bangsa dan negara. Sebagaimana dalam malam tirakatan, entah dilaksanakan sebagai peringatan atau selebrasi perayaan, negara mendapatkan tempat sakralnya. Pahlawan dan founding fathers negara diingat secara khidmat layaknya figur profetik alias orang suci. Naskah proklamasi dibacakan dengan seksama dan serius seperti sebuah teks sakral. Warga meneguhkan ikrar “iman” dan komitmennya terhadap bangsa dan negara, terkadang dengan simbolisme atau ekspresi yang dramatis. Atas perangkat ini lah kita bisa menyebut malam tirakatan sebagai sebuah ‘ritual agama sipil’.
Ritual ini sepaket dengan kegiatan warga yang menyambut kemerdekaan dengan bermacam lomba, pawai, kerja bakti, dan lainnya. Tidak seperti upacara kenegaraan atau peringatan hari besar nasional yang ditetapkan oleh negara secara sentralistik dan top-down, malam tirakatan lebih tampak sebagai semangat bernegara ‘arus bawah’ khas masyarakat akar rumput. Terlepas dari cara merayakannya, baik itu secara khidmat ala santri atau dengan selebrasi meriah ala warga nasionalis, tirakatan menjadi sebuah wadah sirkulasi elemen-elemen agama sipil tersebut. Membuatnya berfungsi sebagai titik lebur orang-orang dalam membentuk memori kolektif, berbagi nilai bersama, dan menginternalisasi kembali visi bersama sebagai bagian dari bangsa dan negara.
Dengan kata lain, momentum malam tirakatan menjadi ruang untuk menegaskan lagi “ukhuwah wathaniyyah”, dalam trilogi ukhuwah KH. Achmad Sidiq yang monumental itu. Selama ruang ini terjaga, selama itu pula kita masih berhak optimistis, bahwa kohesi kewargaan masih terjaga sehingga Indonesia tidak akan bubar dalam waktu dekat.
Seperti kata kolega saya tempo hari, “Selama malam tirakatan masih ada, dan orang masih mau kerja bakti pasang bendera dan umbul-umbul, insya Allah Indonesia masih aman sentosa!”