Bulan Sya’ban disebut-sebut sebagai bulan penyetoran catatan amal perbuatan kita selama setahun. Tutup buku, malaikat menyetorkan semua catatan amal setiap manusia kepada Allah SWT. Di dalamnya terdapat satu malam yang sangat masyhur, Malam Nisfu Sya’ban. Banyak umat muslim di berbagai Negara punya kebiasaan tersendiri dalam menyambut malam itu.
Banyak orang yang mengatakan bahwa amalan dan ibadah di Malam Nisfu Sya’ban adalah kesesatan dan tidak dianjurkan oleh ulama salaf shaleh. Tahukah siapa yang menciptakan tradisi yasinan di malam Nisfu Sya’ban? Beliau adalah Syaikh Ahmad bin Ali bin Yusuf, Abu al ‘Abbas al Buni. Muhammad bin Darwisy bin Muhammad al Hut al Biruti asy Syafi’i (1209-1276 H/1795-1859 M) dalam karyanya, Asna al Mathalib fi ahadits Mukhtalifah al Maratib(343). Dalam kitab itu beliau menjelaskan:
وَأَمَّا قِرَاءَةُ سورة يٰسٓ لَيْلَتَهَا بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَالدُّعاَءِ الْمَشْهُورِ فَمِنْ تَرْتِيبِ بَعْضِ أَهْلِ الصَّلَاحِ مِنْ عِنْدِ نَفْسِهِ. قِيلَ هُوَ الْبُونِيُّ وَلَا بَأْسَ بِمِثْلِ ذَلِكَ
“Adapun tradisi yasinan pada malam Nishfu Sya’ban setelah Shalat Maghrib dan doanya yang masyhur, maka merupakan kreasi salah seorang ahli shalah (ulama shaleh). Ada yang menyatakan bahwa yang dimaksud adalah al-Buni. Mengamalkan tradisi seperti Yasinan Malam Nishfu Sya’ban itu tidak apa-apa (boleh)”.
Ibnu Rajab al-Hanbali, dalam kitabnya “Latha`if al-Ma’arif Fii ma Li Mawasim al ‘Am Min al Wadhaif”, berkata: “Para tabi’in negeri Syam seperti Khalid bin Ma’dan Makhul, Luqman bin ‘Amir dan selainnya mengagungkan malam Nishfu Sya’ban, dan bermujahadah dengan beribadah di dalamnya. Sungguh dikatakan, mereka telah menerima beberapa atsar israiliyah. Kemudian ketika di berbagai negeri hal tersebut terkenal berasal dari para tabi’in tersebut, maka para tabi’in yang lain menerimanya dan dan mengikuti mereka dalam mengagungkan malam Nishfu Sya’ban, termasuk sekelompok ahli ibadah Kota Bashrah dan selainnya.
Sedangkan mayoritas ulama Hijaz mengingkari nya, seperti Imam ‘Atha` Ibnu Abi Mulaikah. Hal itu dikutip Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari kalangan fuqaha Kota Madinah, dan merupakan pendapat Ashhab Malik dan yang lainnya. Mereka berkata: “Semua itu adalah bid’ah”. “Saya (Sayid Muhammad Alawi Al Maliki) tidak mengingkari para ulama yang menilai bahwa berkumpul (untuk mengagungkan malam Nishfu Sya’ban) sebagai bid’ah,” ungkap beliau.
“Sebab itu adalah pendapat dan pemikiran yang sesuai dengan ijtihad, pandangan dan analisa mereka. Mereka berhak berpendapat, berpandangan, berpikiran, dan menetapkannya sesuai kehendak mereka selama yang diupayakan adalah kebaikan (kebenaran) dan bersungguh-sungguh untuk meraihnya. Namun yang menjadi petaka besar bagi para penentang mereka (Ulama terdahulu) adalah menutupi kebenaran dari orang banyak, hanya mendemonstrasikan pendapatnya sendiri dengan dalil-dalil atau jalan istinbathnya sendiri serta mengunggulkannya.
Dengan hal ini, mereka (para penentang) membentuk opini publik dan orang-orang yang mudah percaya bahwa dalam tema ini hanya ada pendapat tersebut (pendapat mereka sendiri) dan selainnya adalah pendapat yang batil atau suatu kebohongan. Sementara pada faktanya pendapat yang demikian ini merupakan pemutar balikan kebenaran dan kebohongan. Saya berkata kepada mereka: “Silahkan berijtihad, menguatkan pendapat, dan berkatalah semau kalian setelah jelasnya khilafiyah ulama dalam masalah tersebut dan tetapnya riwayat yang ada, selama masih ada khilafiyah ini, meskipun bertentangan dengan pendapat kalian. Kemudian kuatkanlah dan tolaklah.
Sebaiknya kita melihat Ibnu Rajab al Hambali dan sifat amanahnya dalam segala perkataan. Ia memulainya dengan menuturkan khilafiyah para ulama, lalu ia berkata: “Ulama negeri Syam berselisih pendapat tentang cara menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dalam dua versi:
Pertama, sunah menghidupkannya secara berjamaah di masjid-masjid. Kedua, hal tersebut hukumnya makruh bila dilakukan di masjid-masjid dan tidak makruh bila seseorang (menghidupakannya dengan) shalat sendirian di masjid-masjid.
*selengkapnya, bisa klik di sini