Islam ialah agama yang melihat manusia sebagai suatu keseluruhan. Itulah sebabnya mengapa dalam Islam, kehidupan manusia berada di dalam titik temu hubungan-hubungan dengan aspek-aspek lainnya.
Manusia berhubungan dengan Tuhan, dengan Alam, dengan Manusia dan makhluk lainnya. Inilah asas dasar yang menjadi fondasi setiap ritual serta dogma dalam tradisi Islam.
Sebagai contoh, sholat sebagai satu tindakan individual, yang terlihat hanya memiliki fungsi psikologis bagi individu yang melaksanakannya, memiliki aspek sosialnya. Lebih jelas lagi jika kita melihat ibadah puasa, yang menyatukan umat muslim dalam satu kerangka nasib: yaitu penderitaan fisik yang disebabkan oleh rasa lapar.
Walaupun penderitaan ini hanya dapat dirasakan oleh setiap individu saja, tetapi, di sana terbentuk satu kesadaran kolektif yang tercipta karena kesamaan nasib ini.
Jika ibadah puasa yang selama ini dianggap sebagai ujian psikologis individu semata, ternyata memiliki aspek sosiologisnya, begitu pula zakat. Zakat, yang merupakan mekanisme distribusi harta antara orang miskin dan kaya dalam Islam secara permukaan dilihat sebagai suatu ritual yang tujuannya murni sosiologis, yakni mengentaskan kemiskinan umum di suatu wilayah yang dihuni umat Muslim. Tetapi, faktanya, di sana terdapat aspek psikologis yang jarang dibahas di muka umum.
Zakat sendiri secara bahasa mengandung beberapa makna. Suku kata zakat, zakka–yuzakki memiliki makna kesuburan, kesucian, kebaikan.
Jika kesuburan itu adalah rujukan kepada harta milik seseorang seperti dalam kalimat “Tanaman padi yang diolah oleh keluarga saya subur”, maka kesucian bisa memiliki dua rujukan sekaligus.
Seorang muslim yang mengeluarkan zakat dikatakan sedang menyucikan hartanya, ini mungkin hanya terlihat sebagai fungsi ekonomi-spiritual zakat. Harta yang dahulunya kotor karena belum dikeluarkan zakatnya kini menjadi suci, dan karenanya, seorang muslim telah terlepas dari dosa yang dapat menghalanginya masuk surga.
Tetapi, kesucian ini juga dapat merujuk kepada keadaan psikologis-spiritual manusia. Dengan mengeluarkan zakat, hati manusia pun menjadi suci, selain hartanya. Atau lebih tepatnya, harta dan hati berada pada satu dialektika yang akhirnya saling menyucikan satu sama lain.
Arti psikologis-spiritual ini akan lebih didukung oleh makna berikutnya, yakni kebaikan. Arti zakat sebagai kebaikan jelas merujuk kepada aspek moral manusia yang menunaikan zakat.
Arti zakat secara syariat memang khusus merujuk kepada aspek sosialnya, yakni sebagai “sejumlah harta yang wajib dikeluarkan…”. Tetapi, Islam, agama kita tercinta, bukanlah suatu agama yang membatasi makna. Islam memperhatikan kebutuhan sosial manusia, begitu juga kebutuhan psikologisnya. Seorang muslim yang kaffah adalah seorang yang memahami makna-makna ritual dalam Islam sepenuh hatinya, dan bertindak menurut pemahaman tersebut.