Ayah pernah bercerita bahwa sesampainya di hadapan Kabah ia langsung mengucapkan syukur dan tidak berhenti mengucapkan takbir. Seorang Muslim pasti bergetar hatinya ketika pertama kali bertemu Ka’bah. Namun yang membuat ia menangis dan tak sanggup menahan air matanya, justru tatkala selama berhaji ia bertemu bendera merah putih. Air matanya tak tertahan lagi. Ini hanya potongan kisah dari ayah kepada anaknya tentang pengalaman berhaji. Namun potongan cerita bahwa yang membuatnya menangis justru adalah bendera merah putih ketika ia berada di Mekkah, membuat saya harus memikirkan ulang makna nasionalisme.
Tulisan Ben Anderson tentang Imagined Communities menunjukan bagaimana nasionalisme terbentuk. Berawal dari kapitalisme cetak hingga pemikiran ulang tentang pergolakan identitas suatu bangsa. Ia hampir saja menyebutkan secara menyeluruh bagaimana nasionalisme yang dibangun oleh suatu negara tidak memiliki landasan yang cukup kuat. Dalam hal ini entah bahasa, suku, ras, geografi, kepentingan ekonomi dan lainnya.
Apabila tidak ada kesamaan yang logis, yang menjadi alasan dasar berdirinya suatu bangsa, lalu mengapa kita dalam beberapa generasi berupaya sedapat mungkin mempertahankan ‘kebangsaan’ yang sangat lemah secara ontologis ini?
Bila kita memulai asumsi bahwa kebangsaan merupakan suatu konsep yang disangsikan kebenarannya, kita bisa memandang bahwa ‘bangsa’ hanyalah suatu mitos. Yakni suatu makna yang terus berkembang dan menambah dirinya sendiri, dari suatu objek yang tidak layak dipertahankan.
Sederhananya, mari kita bayangkan bahwa nasionalisme atau yang disebut bangsa Indonesia adalah kebohongan. Kesamaan bahasa sebagai alasan berbangsa adalah hasil pemaksaan negara melalui pendidikan. Persamaan kepentingan itu tidak ada karena konflik terus terjadi dan perasaan senasib pun sudah tidak ada karena tidak semua daerah di Indonesia merasakan penjajahan dengan rasa derita yang sama (Aceh baru berhasil dikuasai kolonial Belanda pada awal abad ke 20).
Kemudian melalui asumsi yang sama; alasan untuk memisahkan diri dari Indonesia lebih mudah ditemukan ketimbang mencari alasan untuk menuju persatuan. Bukankah masuk akal apabila Papua meminta merdeka, meminta hak atas kekayaan alam mereka—yang dalam perpektif mereka—dirampas oleh orang-orang dari Jakarta?
Bukankah cukup masuk akal bila Aceh meminta memisahkan diri dari Indonesia, karena sebelum bangsa Ini lahir dan dideklarasikan, rakyat Aceh sudah memiliki karakteristik bangsanya sendiri? Lalu apa yang membuat mereka (harus) menjadi Indonesia?
Pertanyaan-pertanyaan semacam ini sangat logis diajukan. Namun pertanyaan-pertanyaan tersebut belum mampu menjelaskan mengapa seorang muslim asal Indonesia yang memiliki tujuan berhaji ke Mekah, untuk memenuhi hasrat keimanannya, secara melankolis, malah menangis ketika melihat bendera merah putih di tanah seberang tersebut? Berarti bendera merah putih memiliki makna yang secara terus-menerus dan tidak berhenti memancarkan daya magisnya.
Pengalaman tersebut bisa dikaji dalam kacamata semiotika untuk menggali lebih jauh bagaimana makna-makna tentang rasa nasionalisme yang berasal dari simbol bangsa, yakni bendera merah putih. Pengalaman melihat bendera merah putih di negeri orang oleh bangsanya sendiri merupakan pengalaman yang terekam dalam lagu yang sudah melegenda hasil ciptaan Ibu Sud berjudul Tanah Airku.
(1) Tanah Airku tidak kulupakan
(2) Kan terkenang Selama hidupku
(3) Biarpun saya pergi jauh
(4) Tidak kan hilang dalam kalbu
(5) Tanahku yang kucintai
(6) Engkau Kuhargai
Lirik pada baris pertama memiliki makna betapa eratnya hubungan antara manusia (orang Indonesia) dengan tanah airnya. Ini adalah suatu lirik lagu yang berjanji atau sebuah sumpah bahwa ‘orang tersebut’ tidak akan melupakan tanah airnya.
Ini lah pentingnya tanah air terekam oleh sejarah. Sejarah menjadi suatu yang sangat penting dan mengharukan, ketika dikenang. Peristiwa masa lalu yang begitu penting dan menentukan sangat layak untuk dikenang. Lirik pada baris kedua ini merupakan pernyataan bagaimana tanah air itu berlaku dan akan tetap penting selama perjalanan hidup seseorang.
Baris ketiga dan keempat memiliki makna tentang seseorang dari suatu bangsa, yang dalam keadaan tertentu terpaksa ataupun sengaja berada jauh dari negeri asalnya namun tidak memutuskan ikatan yang begitu suci dengan tanah airnya.
Penyebutan kalbu menandakan bahwa tanah air bukan objek material, tapi pengalaman hidup yang tidak boleh dihilangkan. Sesuatu yang tidak bisa dihilangkan dengan perubahan fisik. Sesuatu yang sangat suci, yang berasal dari dalam. Artinya, meskipun kita berada jauh dari negeri sendiri/ tanah air, kita tetap menanamkan sesuatu yang suci tersebut, yakni pengetahuan bahwa kita memiliki tanah air, kita memiliki tempat berpulang, meskipun kita sangat jauh, namun tanah air yang disimpan ditempat terdalam (kalbu) tersebut, tidak akan begitu saja hilang.
Baris kelima memiliki maksud untuk menjawab prilaku manusia Indonesia yang terekam dalam baris pertama hingga keempat. Artinya, setelah ia berjanji tidak akan melupakan, berjanji akan terus mengenang, bahkan bila jarak antara orang tersebut dengan tanah airnya jauh, tanah air tetap sesuatu yang tidak akan hilang karena satu alasan: “tanahku yang kucinta” karena ia cinta tanah airnya.
Baris keenam merupakan penekanan pada rasa cinta. Selain cinta tanah air tersebut begitu berharga untuknya. Pernyataan “kuhargai” tidak dalam pengertian denotatif tentang harga dan ukurannya. Penyataan “engkau kuhargai” berfungsi untuk membatasi makna “..yang kucintai.” Harga, selain menunjukan suatu ukuran tertentu, berfungsi untuk menunjukan suatu objek dan ruang yang bisa diisi oleh banyak orang. Artinya seseorang tersebut mencintai tanah airnya, karena tanah air begitu berharga baginya dan bagi orang-orang sebangsanya.