Makna Rahmatan Lil ‘Âlamîn dalam Al-Qur’an, QS. Al-Anbiyâ’ Ayat 107

Makna Rahmatan Lil ‘Âlamîn dalam Al-Qur’an, QS. Al-Anbiyâ’ Ayat 107

Jargon rahmatan lil ‘alamin seringkali kita dengar di berbagai forum, pengajian maupun khutbah Jumat. Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin. Apa sih makna tersebut di dalam al-Qur’an?

Makna Rahmatan Lil ‘Âlamîn dalam Al-Qur’an, QS. Al-Anbiyâ’ Ayat 107
Ya Allah semoga Engkau berkenan membukakan hikmahMu padaku, membentangkan rahmatMu padaku dan mengingatkanku terhadap apa yang aku lupa, wahai Dzat yang memiliki keagungan dan kemuliaan.

Rahmatan lil ‘âlamîn adalah prinsip utama dalam Islam. Secara spesifik al-Qur’an menyebut istilah tersebut dalam QS. Al-Anbiyâ’ ayat 107. Namun, dalam kehidupan umat islam sendiri, istilah tersebut mengalami berbagai pemaknaan. Tidak jarang umat islam, bahkan yang mengatasnamakan Islam sekalipun, justru tidak mencerminkan dari nilai yang dikehendaki oleh semangat rahmatan lil ‘âlamin itu sendiri. Untuk itulah, mengapa kita perlu untuk bertanya, apa itu rahmatan lil ‘âlamín?

Nabi Muhammad diutus Allah tidak lain dan tidak bukan hanya untuk menjadi rahmatan lil ‘âlamín. Redaksi yang Al-Qur’an gunakan adalah sebagai berikut,

 

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

 

Artinya: “tidaklah saya (Allah) mengutusmu melainkan sebagai rahmatan lil ‘âlamîn.

Kata al-’âlamîn adalah bentuk plural dari kata ‘âlam. Dalam madzhab ahlussunnah wal jamâ’ah, ada sebuah definisi bahwa ‘âlam adalah mâ siwâ Allah (segala sesuatu selain Allah). Untuk itu, ‘âlamîn adalah setiap hal apapun yang ada di jagad raya ini selain Allah. Sebagaimana ketika kita mengartikan kata ‘âlamîn dalam surat al-Fâtihah dengan “seluruh alam”.

Namun, ketika mendefinisikan kata ‘âlamîn dalam surat Al-Anbiyâ’ ini, setidaknya para ahli ta’wil terpecah menjadi dua kelompok. Pertama, mereka mengartikan kata ‘âlamîn sebagaimana makna diatas. Kedua, mengartikan kata ‘âlamîn dengan “hanya orang-orang yang beriman dan percaya kepada Nabi Muhammad Saw”. Ketika Al-Thabarî dalam tafsirnya dihadapkan oleh dua pendapat ini, beliau menyebutkan bahwa yang paling utama, atau kira-kira yang paling mendekati kebenaran, adalah pandangan yang pertama, yakni tidak membatasi hanya bagi orang-orang yang beriman.

Apabila yang dimaksud dari kata ‘âlamîn adalah seluruh makhluk yang ada di alam raya ini, bagaimana makna yang dikehendaki oleh kata rahmat? Apakah kata rahmat tidak memiliki hubungan dengan konsekuensi nanti di akhirat, dalam artian tentang surga dan neraka?

Ibnu Hajar Al-’Asqalânî dalam Fath Al-Jawâd menyebutkan statement menarik terkait masalah ini. Menurutnya, rahmat bagi orang yang beriman berkaitan dengan hidayah yang telah Allah berikan hingga dengan hidayah tersebut orang-orang muslim mulai menapaki jalan menuju keselamatan abadi, yakni surga.

Sementara, rahmat bagi orang-orang munafiq adalah jaminan terjaganya nyawa mereka. Hal tersebut bisa diperhatikan lebih lanjut dalam pembahasan terkait keputusan Nabi mengapa tidak menghukum mati orang-orang munafiq. Sedangkan rahmat bagi orang-orang non-muslim adalah menghadang agar Allah tidak mengadzab atau menjatuhkan bencana selama mereka masih hidup. Tidak seperti umat-umat sebelum Nabi Muhammad diutus.

Terkait dengan makna rahmat yang ketiga, Allah memberi legitimasinya dalam Al-Qur’an. Dalam konteks ini, Allah berfirman,

وَ مَا كَانَ اللهُ يُعَذِّبَهُم وَ اَنتَ فِيهِم

Artinya: “tidaklah Allah akan mengadzab mereka sedangkan engkau (Muhammad) berada diantara mereka” (QS. Al-Anfâl: 33).

Yang disampaikan oleh Ibnu Hajar diatas juga diamini oleh Imam Al-Thabarî dalam tafsirnya, Tafsir Al-Thabarî. Singkatnya, apa yang menjadi misi Nabi Muhammad adalah terciptanya kehidupan sosial yang saling menghargai dan tidak terjadi penindasan kepada sesamanya. Begitu juga, agar manusia mau memperhatikan dan menghargai hak hidup makhluk lainnya, seperti pohon, hewan, dll. Istilah yang biasa disebut namun jarang dihayati dan direalisasikan adalah hablu minallah, hablu minannâs, dan hablu minal ‘âlam.

Dengan ini, ketika berbicara tentang rahmat didunia tidak ada kaitannya dengan surga dan neraka. Bentuk kehidupan yang saling menghargai tanpa memperdulikan suku, agama, bahasa, dan warna kulit. Itu semua adalah sifat rahman-nya Allah. Dengan sifat ini, Allah tidak membedakan perbedaan-perbedaan identitas yang ada pada diri setiap manusia. Kehidupan di dunia adalah berhubungan dengan rasa kemanusiaan. Perihal pilihan untuk menerima Islam sebagai agamanya, itu adalah hidayah. Wallahu a’lam bish-shawab.

A. Ade Pradiansyah, penulis adalah penikmat kajian tafsir al-Qur’an.