Makna Iman Pada yang Ghaib dalam al-Qur’an

Makna Iman Pada yang Ghaib dalam al-Qur’an

Makna Iman Pada yang Ghaib dalam al-Qur’an

Iman pada yang ghaib tertulis dalam awal Surah Al-Baqarah. Disebutkan, “Al-ladzina yuminuna bil-ghaib (orang-orang yang beriman kepada yang gaib)”. Syekh al-Thahir bin ‘Asyur mendefinisikan gaib yaitu ma la yudriku al-hiss, sesuatu yang tidak dapat diakses/ditangkap pancaindera. Tidak bisa dilihat, diraba/dipegang, dirasakan, dicium, dan didengar. Tapi eksistensinya ada.

Imam Fakhruddin al-Razi juga berpendapat bahwa ghaib adalah ma ghaba ‘an al-hissiy (sesuatu yang tersembunyi dari indera). Lawan katanya adalah al-syahid, yaitu ma hadhara (sesuatu yang hadir).

Imam al-Razi ketika mengartikan ghiyabah yang seakar kata dengan gaib yaitu segala sesuatu yang tersembunyi dan tertutupi. Seperti kacang tertutup oleh kulitnya disebut ghiyabah. Dan segala sesuatu yang gelap tak tertembus indera adalah gaib.

Di antara yang gaib yang dikabarkan dalam al-Quran yaitu Allah, Malaikat, jin, ruh, hari kebangkitan kubur (ba’ts), alam kubur, alam makhsyar, surga-neraka, kiamat, setan, dan yang lainnya. Dan Imam al-Razi menyatakan bahwa hal gaib sebagian telah dikabarkan eksistensinya oleh dalil (ma ‘alaihi dalil) dan sebagian hal gaib yang lain tidak dikabarkan oleh dalil (ma laysa ‘alaihi dalil).

Ghaib bukan lawan kata dari wujud, melainkan lawan kata dari syahid atau hadir, yaitu sesuatu yang dapat ditangkap panca indera. Jadi sejatinya yang gaib dan yang hadir adalah eksistensinya sama sama wujud (ada).

Saya teringat masa kecil sewaktu sekolah madrasah diniyah di depan rumah saya dan waktu di Lirboyo, ketika ustaz/guru ngabsen; “si fulan?” Kalau si fulan ada di kelas akan jawab, “hadir!”. Tapi kalau tidak ada, teman-teman menjawab, “tidak hadir pak”, “gaib pak”.

Sedangkan wujud (ada) lawan kata dari ‘adam (tidak ada). Sehingga yang gaib adalah eksistensi yang benar benar ada (wujud). Dan yang wujud bisa gaib dan bisa hadir. Tapi bagi orang yang tidak iman, mengira yang gaib adalah tidak ada (‘adam). Karena itu, al-Quran menekankan agar iman kepada yang gaib.

Adanya yang gaib adalah konter narasi bagi mereka yang menganggap yang tak tampak dan tak tertangkap indera sebagai yang tidak ada. Dan yang gaib pada waktunya akan tampak nyata, baik di tampakkan di dunia maupun kelak di akhirat.

Saya pernah membaca kitab fakal (astronomi), bahwa ilmu Tuhan diturunkan rubu’ (seperempat) atau 25% di alam semesta ini. Karena itu ada alat rubu’ sebagai alat fakal tradisional untuk memprediksi berbagai hal yang terkait astronomi.

Seperempat itu pelan-pelan ilmu Tuhan sedikit demi sedikit diturunkan. Sehingga hal yang dulu dianggap tidak dan hampir mustahil ada, dengan ilmu pengetahuan dan penemuan penelitian bisa menjadi wujud nyata. Ilmu Allah adalah yang gaib, yang pelan pelan dan sedikit demi sedikit diturunkan ke umat manusia dengan pengetahuan dan riset.

Saking tak terbatasnya ilmu Allah, digambarkan dalam al-Quran bahwa jika saja semua air dijadikan tinta dan semua pepohonan dijadikan pena untuk mencatat ilmu Allah niscaya tidak sanggup. Saking tak terbatasnya. Dan ilmu Allah yang tak terbatas diturunkan sedikit demi sedikit pada umat manusia dan terejawantak dalam semesta, sebab semesta adalah media untuk dipelajari dan ditafakkuri agar tercipta atau melahirlan ilmu pengetahuan.

Sehingga ilmu Allah yang maha tak terbatas adalah gaib. Hanya sedikit saja ilmu Allah yang menjadi tidak gaib sebab sudah diturunkam pada wahyu untuk Nabi dan ilmu pengetahuan pada umat manusia.

Ada juga yang gaib bisa diindera oleh orang-orang tertenu. Seperti Nabi bisa mengindera jin. Karenanya Allah berfirman, “Tidak aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu”. Umat Islam berarti terdiri dari jin dan manusia. Begitu juga umat agama lain. Jin–sebagaimana manusia–ada yang baik dan ada yang jahat.

Jin arti katanya adalah yang tersembunyi. Karenanya, bayi yang masih ada di dalam kandungan disebut janin, karena juga tersembunyi. Syekh al-Thahir bin ‘Asyur bekata dalam kitab Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, bahwa Al-Quran secara spesifik/khusus menyebutkan iman pada yang gaib, sebab inti dan pokok keyakinan segala sesuatu yang dikabarkan para Rasul yang sebagian besar adalah gaib seperti wujud Allah, malaikat, surga-neraka, dan hal gaib lainnya.

Meyakini bahwa di balik alam materi terdapat alam imateri yang tak tampak. Dan ayat ini hendak membantah kalangan materialisme (al-madiyun)–yang dalam Al-Quran disebut kalangan al-dahriyun–yang menyatakan bahwa tidak ada alam lain di balik alam materi.

Ibnu Asyur juga berkata makna dari ayat tersebut adalah orang-orang yang beriman pada segala sesuatu yang dikabarkan Rasulullah yang berupa alam imateri dan tidak tampak (ghairi ‘alam al-syahadah), seperti iman kepada Allah, malaikat, ba’ta, ruh, dan yang lainnya.