Kalimat “Allah menyukai witir” (يحب الوتر) diucapkan oleh Rasulullah dalam dua konteks–paling tidak yang saya ketahui.
Yang pertama adalah dalam konteks shalat witir.
إن الله وتر يحب الوتر فأوتروا يا أهل القرآن
“Sesungguhnya Allah itu witir (“fard”, “one and only”). Allah menyukai witir. Maka, kerjakanlah shalat witir, wahai ahlul quran (kaum mukmin)” (HR. Tirmidzi).
Makna kalimat يحب الوتر (menyukai witir) dalam hadis riwayat Imam Tirmidzi itu, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Tuhfah al-Ahwadzi (syarah kitab Jami’ al-Tirmidzi) adalah يثيب عليه ويقبله من عامله atau kurang-lebih artinya “Allah akan membalas-kebaikan atas witir dan akan menerima witir itu dari orang yang menjalankannya”.
Dari penjelasan dalam kitab syarah itu, makna yang paling masuk akal untuk kata الوتر (witir) dalam kalimat يحب الوتر (menyukai witir) adalah “shalat witir”, bukan “bilangan ganjil”. Apalagi kalimat berikutnya adalah tentang seruan menjalankan shalat witir.
Maka, pemahaman hadis di atas–الله ورسوله اعلم–adalah “Sesungguhnya Allah adalah satu-satunya. Allah menyukai shalat witir. Maka, kerjakanlah shalat witir, wahai ahlul quran (orang-orang beriman)”.
Yang kedua, Rasulullah menyampaikan “Allah menyukai witir” (يحب الوتر) dalam konteks penjelasan tentang Asmaul Husna, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.
لله تسعة وتسعون اسما مائة إلا واحدا لا يحفظها أحد إلا دخل الجنة وهو وتر يحب الوتر
“Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama. Orang yang mampu ‘menjaganya’ akan masuk ke surga. Allah itu satu-satunya. Allah menyukai ‘witir’.”
Nah, dalam hadis inilah الوتر dalam kalimat يحب الوتر (menyukai witir) bisa bermakna “bilangan ganjil” (lawan kata “genap”).
Hal itu sebagaimana penjelasan al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari dan Imam al-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim. Menurut mereka, perihal Allah menyukai bilangan ganjil bisa dimengerti dari beberapa pensyariatan ibadah atau penciptaan makhluk yang memiliki unsur bilangan ganjil. Shalat wajib ada lima waktu, thawaf ada tujuh putaran, sa’i dilakukan tujuh kali, lemparan jamrah dilakukan tujuh kali, hari tasyrik berlangsung tiga hari berturut-turut, seminggu ada tujuh hari, langit diciptakan tujuh tingkatan, dan lain-lain.
Pemaparan al-Hafidz Ibnu Hajar dan Imam al-Nawawi tersebut adalah “penjelasan isyarat” dari makna “Allah menyukai bilangan ganjil”, bukan penjasan yang deskriptif. Boleh saja menjelaskan sebuah makna tertentu dengan “penjelasan isyarat” asal memiliki unsur-unsur kebenaran dalam dirinya.
Maksud “penjelasan isyarat” adalah ketika, misal, Anda membayangkan bertanya kepada kepada al-Hafidz Ibnu Hajar dan Imam al-Nawawi tentang arti kalimat “Allah menyukai bilangan ganjil”, lalu kedua tokoh kita itu menjawab, “Arti kalimat ‘Allah menyukai bilangan ganjil’ adalah … itu lho … lihat, ibadah yang Allah syariatkan: shalat wajib ada lima waktu, thawaf ada tujuh putaran, tasyrik ada tiga hari, dan lain-lain. Itulah arti dan tanda Allah memyukai bilangan ganjil.”
“Penjelasan isyarat” seperti itu sah-sah saja, dengan catatan tadi itu: ada unsur-unsur kebenaran di dalamnya. Dalam contoh kasus pemaparan al-Hafidz Ibnu Hajar dan Imam al-Nawawi adalah benar bahwa shalat fardu adalah syariat Allah, benar bahwa jumlah shalat fardu ada lima yang merupakan bilangan ganjil. Maka, ketika shalat lima waktu digunakan untuk menjelaskan makna “Allah menyukai bilangan witir” maka hal itu benar.
Tapi, kebenaran dalam “penjelasan isyarat” tidak bisa kuat karena tidak “jami’ mani’”. Dalam ilmu mantik, sebuah definisi atau pengertian atau penjasan itu benar dan kuat jika ia “jami’ mani’”.
Lalu, apa penjelasan atau arti yang “jami’ mani’” dari kalimat يحب الوتر (Allah menyukai bilangan ganjil” dalam konteks hadis Asmaul Husna di atas? Hanya Rasulullah sebagai pengucap kalimat sabda itu yang tahu–juga Allah sebagai yang disebut dalam kalimat itu. Kita hanya bisa menakwilkan dan memahami sesuai kemampuan, tentunya dengan penjelasan yang memiliki unsur-unsur kebenaran sehingga penjelasan itu bisa dipertanggungjawabkan.
Maka, jadi terasa memprihatinkan kala hari-hari ini beredar gambar yang menampilkan hadis syarif, sabda mulia Nabi tentang “Allah menyukai bilangan ganjil”, namun dikaitkan dengan perkara politik, dikaitkan dengan nomor urut calon gubernur DKI. Digunakan untuk kepentingan politik. Sesuatu yang sama sekali tidak memiliki unsur-unsur kebenaran yang layak dikaitkan dengan kebenaran sabda mulia Nabi tersebut.
Penjelasan al-Hafidz Ibnu Hajar dan Imam al-Nawawi yang memiliki unsur-unsur kebenaran saja belum menjadi penjelasan yang kuat, yang “jami’ mani’”, maka bagaimana Anda akan menjelaskan makna hadis “Allah menyukai bilangan ganjil” kaitannya dengan nomor urut calon gubernur DKI?! Memiliki unsur-unur kebenaran yang selaras dengan kebenaran sabda Nabi itu saja tidak, apalagi terkait.
Lalu, apa penjelasan paling masuk akal untuk gambar hadis “Allah menyukai bilangan ganjil” yang beredar dan dikaitkan dengan nomor urut calon gubernur DKI? Tidak lain dan tidak bukan: politisasi sabda Nabi. Sabda Nabi digunakan untuk kepentingan sesaat yang sama sekali tidak terkait. Setelah kepentingan selesai, sabda itu dicampakkan.
Jika politisasi sabda Nabi ini dianggap sepele tapi disebarkan secara masif dan dianggap benar, khawatir saja nanti sabda itu selanjutnya digunakan untuk komodifikasi. Dibisniskan. Digunakan untuk legitimasi jualan. Dari politisasi ke komodifikasi.
Kan lucu jika produsen minuman Larutan Cap Kaki Tiga menyatakan bahwa produknya itu dicintai Allah karena nama produk tersebut mencantumkan kata “kaki tiga”.