Banyak orang yang salah memahami bahwa makan dan minum adalah bukan bagian dari aktifias syariat. Mereka salah karena dianggapnya bahwa makan dan minum merupakan urusan mubah semata. Padahal, dengan sedikit saja kita mengubah niat dalam melakukannya, maka kita sudah termasuk bagian dari menjalankan aktifitas syariat sehingga berpahala ibadah.
Sebagian dari para ulama generasi salafu al-shalih mengatakan:
إن الأكل من الدين وعليه نبه رب العالمين بقوله وهو أصدق القائلين كلوا من الطيبات واعملوا صالحا فمن يقدم على الأكل ليستعين به على العلم والعمل ويقوي به على التقوى فلا ينبغي أن يترك نفسه مهملاً سدى يسترسل في الأكل استرسال البهائم في المرعى فإن ما هو ذريعة إلى الدين ووسيلة إليه ينبغي أن تظهر أنوار الدين عليه
Artinya:
“Sesungguhnya aktifitas makan merupakan bagian dari agama. Untuk melakukannya, Tuhan Pemilik semesta alam telah memberkan tuntunan, dengan firman yang Maha Benar dalam segala Firman-nya: ‘Makanlah kalian dari segala yang baik-baik. Lalu lakukan amal yang baik.’ Berbekal firman ini, maka barangsiapa yang mendahului aktifitas makannya, karena niat mencari pertolongan dalam menuntut ilmu dan beramal kebaikan, serta niat mencari kekuatan untuk melaksanakan suatu ketaatan, maka tidak patut baginya membiarkan dirinya, aktifitas makannya, sebagai yang kosong dari niat kebaikan itu, sehingga lepas kendali menyerupai aktiftas makannya hewan di tempat gembalaan. Makan merupakan bagian dari sarana yang penting bagi agama. Ia bisa menjadi instrumen terbitnya sinar-sinar agama.” (al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt., Juz 1, halaman 1).
Mungkin ada yang bertanya, jika makan merupakan bagian dari syariat, lantas apa yang diurusi lewat persoalan makan dan minum ini?
Al-Ghazali lebih lanjut menjelaskan:
وإنما أنوار الدين آدابه وسننه التي يزم العبد بزمامها ويلجم المتقي بلجامها حتى يتزن بميزان الشرع شهوة الطعام في إقدامها وإحجامها فيصير بسببها مدفعة للوزر ومجلبة للأجر وإن كان فيها أوفى حظ للنفس
Artinya:
“Sesungguhnya yang dimaksud dengan sinarnya agama adalah penjagaan adab saat makan dan minum, memperhatikan sunnah-sunnah dalam makan dan minum, yang kesemua itu merupakan tugas penting bagi seorang hamba dan menjadi pengendali diri bagi orang-orang yang bertakwa, sehingga hidupnya seolah bertimbangkan pedoman syariat, bergerak mengendalikan syahwat makannya khususnya dari serangannya. Akhirnya jadilah ia sosok yang berhasil mempertahankan diri dari dosa akibat syahwat makan itu, sehingga menariknya kepada memperoleh pahala, bahkan meski harus mengikuti dorongan keinginan itu.” (al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt., Juz 1, halaman 1).
Makan dan minum merupakan hal yang diperbolehkan oleh syariat. Ia bisa menjadi pahala namun juga bisa sia-sia, tidak memiliki nilai pahala. Makan dan minum yang tidak bernilai pahala menyerupai makan dan minumnya hewan. Penyerupaan ini bukan dimaksudkan untuk li-taubikh (mejelekkan) melainkan untuk mengarahkan pentingnya niat dan tujuan dari dibolehkannya makan minum sehingga membedakan sosok individu manusia pembawa beban amanah syariat dengan hewan yang tidak diberi beban amanah. Beban amanah manusia itu terangkum dalam nash:
وما أمروا إلا ليعبد لله مخلصين له الدين حنفاء
ِArtinya:
“Tiada mereka diperintah melainkan agar menyembah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan ikhlas, pemilik agama yang hanif.” (Q.S. Al-Bayyinah [98] ayat 5]
Berbekal nash ini, maka hal yang dibenarkan oleh syariat adalah aktifitas makan dan minum itu digiring ke arah ibadah. Ia bisa menjadi instrumen bagi kuatnya seorang hamba dalam beribadah. Ia juga bisa menjadi instrumen dalam beramal dalam melakuka amal kebaikan dan ketaatan. Pemenuhan instrumen sudah pasti melihat hal yang dituju. Jika ibadah itu wajib, maka penyediaan instrumen menjadi wajib. Jika instrumen itu harus lewat makan dan minum, maka makan dan minum itu hukumnya menjadi wajib. Oleh karenanya, pahala makan mengikuti hukum yang diiringinya, sehingga berpahala ibadah wajib. Hal yang sama juga berlaku untuk aktifitas lain, seumpama belajar atau menjalankan ibadah sunnah. Pahala makan dalam hal ini sudah pasti mengikut pada aktifitas yang hendak dilaksanakannya.
Proses pengalihan aktifitas mubah menjadi aktifitas yang berpahala dengan dasar cantolan dalil nash seperti ini disebut sebagai cahaya-cahaya syariat. Cahaya lahir karena buah dari pemahaman seorang hamba terhadap maksud ia diciptakan dan hidup di dunia ini oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Tiada lain dari tujuan itu adaah dalam rangka beribada kepadanya. Oleh karenanya, segala daya upaya hendaknya diarahkan untuk memenuhi tugas dari Sang Khaliq itu. Wallahu a’lam bi al-shawab