Bagi masyarakat Tunisia, penyambutan hari-hari besar Islam seperti Maulid Nabi dan bulan suci Ramadhan sering kali dimeriahkan dengan melakukan ziarah ke kota Kairouan. Adat istiadat ini telah mengakar dan tumbuh menjadi momentum sakral khususnya saat menyambut kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana ziarah tidak hanya menjadi konsumsi batiniah masyarakat sekitar saja, namun orang-orang dari luar kota pun rela menempuh perjalan berkilo-kilo meter demi hadir di momen setahun sekali itu. sahabat Abu Zam’ah
Salah satu yang menjadi tujuan utama para pezirah mengunjungi kota ini adalah makam sahabat Abu Zam’ah al-Balawi. Letaknya tidak berjauhan dengan Masjid Agung Kairouan. Sehingga selain dapat melakukan ziarah, pengunjung juga dapat merasakan langsung bagaimana rasanya melangsungkan shalat di masjid yang disebut-sebut sebagai masjid teragung keempat di dunia Islam itu.
Nama Kairouan, tentu sudah tidak asing di telinga masyarakat muslim terlebih bagi para pegiat sejarah Islam. Ya, bermula dari kota inilah perlahan-lahan ajaran Islam menyebar ke segala penjuru Afrika, kecuali Mesir yang sudah berislam sebelum keislaman Tunisia. Masuknya Islam ke jajaran wilayah Laut Mediterania serta Eropa seperti Italia, Spanyol dan Portugal pun tidak terlepas dari peran vital peradaban maju kota tersebut.
“Kairouan merupakan markas utama syiar Islam terhadap masyarakat Amazigh. Saat itu tantangan yang dihadapi para mujahidin Arab cukup berat yakni harus mampu megalahkan imperium adidaya Bizantium selaku penguasa pesisir Afrika Utara dibantu oleh komunitas Barbar yang menguasai wilayah pedalaman.
Sebab letak Kairouan yang strategis, berada di tengah, jauh dari laut serta dekat dengan pemukiman warga, maka kota ini dipilih sebagai pusat studi Islam sekaligus pusat pertahanan muslim persis seperti makna dari kata Kairouan itu sendiri yaitu tempat berkumpulnya tentara, tempat menyimpan senjata atau markas militer”. Begitulah ungkapan salah satu dosen Universitas Ez-Zitouna Tunisia, Salahuddin al-‘Amiri saat memberikan mata kuliah Hadharah Islamiyah (Peradaban Islam) terhadap murid-muridnya, termasuk penulis.
Sidi Sahbi begitu nama Sahabat Abu Zam’ah Al Balawi diserap ke dalam lahjah Arab Tunisia. Beliau adalah salah satu pejuang muslim Arab yang ikut menyumbangkan jiwa dan raganya dalam upaya pembebasan tanah Afrika. Beliau tergabung dalam korps militer bersama 10.000 prajurit lainnya di bawah jenderal Muawiyah bin Hudaij al-Kindi menuju salah satu basis pertahan Romawi yang terletak di sekitar Al Jamm.
Al Jamm, wilayah di kota Mahdiah Tunisia ini tidak hanya menjadi saksi sejarah kemegahan Romawi dengan adanya ampiteater termegah kedua dunia yaitu Amphithéâtre d’El Jem. Namun di tempat ini pula sejarah besar umat Islam digoreskan. Ya, di sinilah salah satu titik utama kemenangan muslim atas Bizantium yang kemudian imbasnya adalah kesuksesan muslim untuk pertama kalinya menduduki sejumlah kawasan penting Tunisia seperti Sousse oleh Abdullah bin Zubair, Jalloula dan Binzert oleh Abdul Malik bin Marwan.
Suka cita atas kemenangan telak ini tidak diraih secara cuma-cuma. Ada darah yang mengucur deras dari tubuh para sahabat bahkan nyawa sekalipun rela dilepas demi tersebarnya nilai-nilai luhur ajaran Islam menggantikan kesewenang-wenangan dan kolonialisme yang kerap kali hadir dalam tubuh pemerintahan otoriter Romawi. Namun begitu, kemenangan ini harus dibayar mahal oleh gugurnya sejumlah sahabat dan tabi’in ternama, satu di antaranya adalah As-Sahabi Al-Jalil Abu Zam’ah al-Balawi Radhiyallahu ‘anhu.
Abu Zam’ah Ubaid bin Arqam al-Balawi, itulah nama lengkapnya. Meski begitu, masyarakat Kairouan kerap menjulukinya dengan nama Sahib Syai’rat. Sebab, konon beliau bertugas sebagai tukang cukur Nabi Muhammad SAW yang membawa beberapa helai rambut Rasulullah SAW dalam perjalanannya menuju benua hitam.
Dalam kitab-kitab rijalul hadis (kitab yang berisi nama-nama periwayat hadis), disebutkan beliau adalah sahabat Nabi yang ikut serta dalam prosesi Baiat-Ridwan. Yaitu ikrar di bawah sebatang pohon guna memeperteguh iktikad muslimin saat hendak melaksanakan ziarah menuju Baitullah. Sedangkan soal kiprahnya di dunia militer, tidak hanya berkutat di Tunisia, melainkan pernah berpartisipasi juga dalam penaklukan Mesir bersama Amr bin Ash. Sebagaimana tertulis di sebilah papan di depan makam beliau di Kairouan.
Tahun 34 H, menjadi akhir hayat Abu Zama’h al-Balawi. Beliau wafat di Jalloula, sekitar 30 mil dari Kairouan. Jasadnya kemudian dibawa dan dimakamkan di sebuah kawasan yang kini dikenal dengan sebutan balawiyah di kota Kairouan. Makamnya sudah ada jauh sebelum berdiri dan berkembangnya kota ini menjadi kota metropolitan.
Tak ayal, para sejarawan mengungkap bahwa salah satu bangunan warisan sejarah Islam paling tua di Afrika Utara bukanlah masjid melainkan pemakaman, salah satunya adalah tempat peristirahatan terakhir Abu Zam’ah. Mengingat beliau hadir dalam ekspedisi kedua Afrika Utara. Hanya berselang beberapa tahun setelah operasi militer pertama yang dikepalai oleh Abdullah bin Abi Sarh pada tahun 27 H.
Seiring berjalannya waktu, karena memiliki nilai historis dan spritual tinggi, pemakaman ini mendapat perhatian penuh dari pemerintah lintas periode. Awalnya memang hanya berupa kuburan biasa, namun karena banyak masyarakat yang melakukan ziarah, maka dibangunlah infrastruktur-infrastruktur penunjang. Seperti yang dilakukan Hammouda Basya tahun 1085 H, ia mendirikan halaman di sekitar makam dan memeperindah bangunan dengan menempatkan kubah bercorak Andalusia tepat di atas makam. Sementara itu, Muhammad bin Murad tahun 1094 H membangun sebuah madrasah di dekat lokasi makam.
Lokasi ini kemudian menjadi viral khususnya di kalangan masyarakat Tunisia. Adapun tujuan kedatangan para travellers ke daerah ini pun beragam. Ada yang hendak berziarah, memanjatkan doa, ber-tabarruk atau sebagai wujud cinta terhadap Rasulullah SAW, ada juga yang memang menginginkan wisata religius, guna melihat secara langsung bangunan bersejarah serta kemegahan ibu kota muslim Afrika Utara zaman klasik itu. Mengingat Masjid Agung Kairouan sebagai icon peradaban abad pertengahan masih berdiri kokoh di kota ini.
Selain itu, di zawiyah ini juga berlangsung prosesi thuhur (khitan). Bagi mereka yang hendak berhaji atau berumrah pun tidak jarang mengunjungi makam ini sebelum bertolak ke Baitullah. Tidak ketinggalan kalangan jomblo turut hadir di tempat ini guna berdoa agar didekatkan jodohnya.
Uniknya, para pezirah di sini tidak hanya didominasi oleh kaum laki-laki. Tampak para kaum hawa pun hadir berinteraksi di tempat ini. Mengingatkan penulis pada geliat feminisme yang kerap kali digaungkan pemudi negeri subur ini, khususnya pasca kemerdekaan. Tidak lupa mereka membawa serta anak – anak untuk mengenal secara langsung tentang kekayaan khazanah Islam di bumi Ibnu Khaldun ini.
Tidak hanya diisi ziarah, acara di Zawiyah Sidi Sahbi ini juga menampilkan serentetan ritual keagamaan lainnya seperti membaca shalawat dan menggemakan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Tidak jarang juga syair – syair Arab diserukan sebagai bentuk pengingat sekaligus penyemangat.
Mereka sadar bahwa berkat wasilah perjuangan Abu Zam’ah dan para prajuritnya lainnya lah agama Islam bisa sampai ke negeri mereka. Negeri di ujung Afrika Utara yang letaknya berada ribuan kilometer dari tempat domisili Abu Zam’ah di Semenanjung Arab. Bukan hal mudah untuk dilakukan, terlebih pada zaman itu perjalanan ditempuh dengan berjalan kaki atau menaiki hewan. Jelas, belum ada teknologi canggih seperti mobil apalagi pesawat terbang. Tidak bisa dibayangkan bagaimana perjuangan lahir batin yang telah dilalui pejuang muslim ini.
Belum lagi harus berhadapan dengan negeri adidaya pemilik sejumlah wilayah besar dunia, Bizantium. Siapa yang tak tahu soal kekuatan tempur imperium yang sudah berdiri ribuan tahun ini ? Satu lagi, harus berjumpa dengan suku Amazigh, komunitas baru, memiliki cara pandang tersendiri serta adat istiadat khusus.
Resiko besar ini sudah ada di depan mata Abu Zam’ah. Namun begitulah beliau, tekad serta keyakinannya sudah bulat. Sebesar apapun tantangannya, beliau siap menjalaninya sebagai wujud pembaktian terhadap ajaran ilahi yang ia yakini.
Hal ini lah yang kemudian diambil sebagai contoh bagi masyarakat muslim Kairoaun. Beruntung, lokasi ini lantas tidak disembunyikan atau diasingkan dari masyarakat seperti beberapa kasus yang pernah terjadi. Melainkan tetap dirawat serta dijaga sebagai bekal keteladan bagi anak cucu penerus bangsa.
Kebersihan makam terjaga, harum khas bukhar merebak, serta suasana tenang diiringi lantunan ayat suci Al-Qur’an menghadirkan kekhusyuan hati para peziarah. Begitulah secuil nilai mahal yang penulis temui saat berkesempatan menziarahi makam beliau.
Di Tunisia sendiri, selain makam Abu Zam’ah masih ada satu makam Sahabat Rasul lainnya, yakni Sahabat Abu Lubabah al-Anshari. Makam beliau ada di kota Gabes, sekitar 404 km dari ibu kota Tunis. Kendati semangat masyarakat Kairouan untuk menghidupkan bulan suci Ramadhan terus bergelora, namun sebab adanya pandemi virus covid-19, tahun ini gelaran adat istiadat seperti ziarah dan shalat tarawih berjamaah dibatasi untuk sementara waktu. (AN)