Ahmad Hassan (1887-1958) dikenal piawai dalam berdebat semasa hidupnya. Ia pernah berpolemik dengan Ahmadiyyah, Nahdlatul Ulama, Baalawi, dan kelompok Islam lainnya. Ia seringkali tampil debat terbuka mewakili Comite Pembela Islam dan Persatuan Islam (Persis).
Tidak hanya terampil berdebat, Ahmad Hassan juga produktif menulis. Buku dan artikelnya sangat banyak. Ia menjadi penulis tetap majalah Pembela Islam yang diterbitkan pertama kali tahun 1929 oleh Comite Pembela Islam di Bandung. Majalah ini pada mulanya terbit satu kali sebulan, namun sejak bulan Januari tahun 1931 terbit satu bulan dua kali.
Kolom Ahmad Hassan dalam majalah Pembela Islam diberi nama Soal-Jawab. Isinya jawaban dari pertanyaan masyarakat tentang hukum Islam, mulai dari yang berkaitan dengan ibadah sampai muamalah. Soal-Jawab yang terdapat dalam Pembela Islam dapat dikategorikan sebagai fatwa atau pandangan fikih Ahmad Hassan.
Pada masa itu, fatwa menjadi ciri khas majalah atau media keislaman. Inilah yang membedakannnya dengan majalah dan surat kabar yang lain. Mereka tidak hanya sekedar menyampaikan informasi dan berita terkini, tetapi juga memproduksi materi fikih, fatwa, atau hukum Islam. Media tidak hanya digunakan sebagai saluran informasi, namun juga sebagai media dakwah dan pendidikan
Ahmad Hassan memiliki metodologi tersendiri dalam menjawab masalah keagamaan. Ia tidak terikat pada pandangan fikih tertentu, atau yang sering disebut dengan istilah madzhab. Pandangannya lebih banyak merujuk pada al-Qur’an dan hadis, ketimbang pendapat ulama fikih. Karena itu, fatwa yang disampaikan Ahmad Hassan kadang berbeda dengan pendapat ulama yang mengidentifikasikan dirinya sebagai pengikut madzhab.
Fatwa Ahmad Hassan tentang Cincin Emas
Salah satu fatwa Ahmad Hassan yang cukup unik dan berbeda dengan pandangan umum ulama di Indonesia adalah tentang kebolehan laki-laki memakai cincin emas. Jamak diketahui, dalam madzhab Syafi’i terutama, laki-laki diharamkan memakai cincin emas dan hanya dibolehkan untuk perempuan. Namun menurut Ahmad Hassan, merujuk pada beberapa dalil, hukumnya tidak sampai pada level haram, tetapi makruh.Pandangannya itu tertulis dalam majalah Pembela Islam no. 56 yang terbit kisaran tahun 1933.
Ahmad Hassan mengawali tulisannya dengan mengutip hadis tentang larangan makan dan minum dari piring atau gelas yang terbuat dari emas. Larangan ini tidak dapat ditakwil, artinya hukumnya sudah mutlak haram, kecuali dalam kondisi darurat. Sementara terkait memakai cincin emas bagi laki-laki, sekalipun ada dalil yang melarangnya, tetapi larangan itu tidak tegas dan tidak dibarengi dengan ancaman yang berat.
Sebagaimana diketahui, dalam kajian Ushul Fikih kalau ada ayat atau larangan yang tidak terlalu tegas atau tidak dibarengi dengan ancaman dan hukuman yang berat, ini menjadi salah satu tanda bahwa apa yang dilarang itu tidak sampai pada tahap keharaman, tetapi hanya makruh. Penalaran semacam inilah yang digunakan Ahmad Hassan ketika membaca hadis-hadis yang berkaitan dengan cincin emas.
Dalam Shahih al-Bukhari, tulis Ahmad Hassan, terdapat riwayat yang menjelaskan bahwa Rasulullah SAW pernah memakai cincin emas. Tapi karena banyak sahabat yang mengikuti Rasulullah: mereka ikut-ikutan pakai cincin emas, Rasulullah mencopot cincinnya dan mengatakan, “Aku tidak akan pakai cincin ini lagi.” Sahabat yang mendengar ucapan Nabi itu langsung melepas cincin emasnya.
Kemudian dalam riwayat yang lain, masih dalam Shahih al-Bukhari, Rasulullah juga pernah menggunakan cincin yang terbuat dari perak. Namun karena banyak sahabat yang mengikutinya, beliau mencopotnya dan para sahabat juga mengikutinya: mereka melepas cincinnya dan tidak menggunakannya lagi. Setelah itu, Rasulullah tidak pernah mememakai cincin lagi dan cincin perak hanya digunakan untuk stempel surat Rasulullah yang dikirim kepada raja-raja, sebagai ganti tanda tangan.
Sejarah mencatat, stempel yang berbentuk cincin perak itu masih terus digunakan sampai masa Khalifah Utsman bin Affan. Khalifah berikutnya, Ali bin Abi Thalib, tidak pernah memakai stempel itu, karena cincin Rasulullah tersebut hilang pada masa Utsman bin Affan: cincinnya jatuh di telaga dan sudah dicari berhari-hari tidak ketemu.
Dalil berikutnya yang dikutip Ahmad Hassan adalah penjelasan Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari Jilid 10 halaman 246 bahwa para sahabat pernah memakai cincin emas. Kutipannya sebagai berikut:
وقد جاء عن جماعة من الصحابة لبس خاتم الذهب. من ذلك ما اخرجه ابن ابي شيبة من طريق محمد بن ابي اسمعيل أنه رأى ذلك على سعد بن أبي وقاص وطلحة بن عبيد الله وصهيب وذكر ستة أو سبعة
Artinya:
“Terdapat informasi bahwa sebagian sahabat Nabi memakai cincin emas. Di antaranya informasi yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah, dari Muhammad bin Abi Ismail, yang melihat Sa’ad bin Abi Waqqash, Thalhah bin Ubaidillah, Shuhaib, dan sahabat lainnya (memakai cincin emas), ia menyebut sekitar 6 atau tujuh sahabat.”
Dalam riwayat lain disebutkan:
اخرج ابن أبي شيبة بسند صحيح عن أبي السفر قال: رأيت على البراء خاتما من ذهب
Artinya:
“Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan melalui sanad yang shahih dari Abi al-Safr bahwa ia berkata, ‘Saya menyaksikan al-Barra’ memakai cincin emas.’”
Riwayat ini juga diperkuat oleh riwayat Ahmad:
أخرج أحمد من طريق محمد بن مالك: قال رأيت على البراء خاتما من ذهب فقال: قسم رسول الله قسما فألبسنيه فقال: البس ما كساك الله ورسوله
Artinya:
“Ahmad meriwayatkan dari Muhammad bin Malik bahwa ia melihat al-Barra’ memakai cincin emas, kemudian dia berkata, ‘Rasulullah pernah membagi suatu bagian. Beliau memakaikan pada saya ini (cincin emas) sambil berkata, ‘Pakailah apa yang sudah dipakaikan Allah dan Rasul-nya.’”
Sahabat lain yang menyaksikan al-Barra’ masih memakai cincin emas, memintanya untuk mencopot cincin itu. Al-Barra’ menolaknya dengan menyatakan:
كيف تأمرونني أن أضع ما قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: البس ما كساك الله ورسوله
Artinya:
“Patutkah kamu menyuruh aku mencopot cincin yang Rasulullah SAW berkata, ‘Pakailah cincin yang dipakaikan oleh Allah dan Rasul-Nya?’”
Berdasarkan beberapa dalil di atas, Ahmad Hassan menyimpulkan bahwa memakai cincin emas bagi laki-laki tidaklah haram. “Saya rasa cukup untuk menunjukkan bahwa larangan memakai cincin mas itu bukan haram, karena kalau larangan itu haram tentu tidak dipakai oleh sahabat yang bukan satu atau dua orang,’” Ungkapnya.