Berita mengenaskan terkait Mahsa Amini sempat membuat saya terkejut. Bagaimana tidak, seorang perempuan ditangkap oleh aparat hanya karena jilbab yang dia kenakan dianggap tidak layak. Penangkapan itu, sialnya, justru meregang nyawa ketika ia masih dalam tahanan. Rupanya kabar ini pula yang memancing reaksi keras di masyarakat Iran, yang berujung unjuk rasa di beberapa kota hingga hari ini, yang juga menewaskan belasan orang.
“Kematian satu orang tragedi. Kematian jutaan orang, sekadar angka saja. Statistik saja.” Kata Josef Stalin. Entah berapa perempuan muslim harus mendapatkan perlakuan kasar, perundungan, hingga terbunuh karena permasalahan pakaian atau tubuh mereka. Jangan sampai gugurnya Amini hanya jadi monumen, yang dijadikan wadah kita menumpahkan kekesalan atau kemarahan.
Unjuk rasa untuk mendesak pemerintah Iran bertanggungjawab adalah langkah yang tepat. Namun, tak kalah penting, kita sebagai muslim tentu harus mulai melawan segala penindasan atas perempuan dalam bentuk apapun. Apalagi hingga hari ini pakaian perempuan masih dianggap menimbulkan banyak persoalan di banyak negara mayoritas muslim.
Mungkin, kasus Amini tidak lama lagi hanya akan tinggal kenangan atau dilupakan. Di era media sosial ini manusia lebih cepat “melupakan” karena kebanjiran informasi baru. Tapi, permasalahan tidak hanya soal “diingat/dilupakan”, akan tetapi apakah akan ada perubahan pasca kasus demi kasus perlakuan kasar yang diterima oleh banyak perempuan?
Pertanyaan ini mungkin sering terlintas di benak kita semua. Namun, hingga hari ini, mengapa masih saja terjadi kekerasan yang diterima perempuan, baik fisik mau mental. Teka-teki ini harus mulai kita pecahkan.
Sebab, sebagaimana kata-kata Rohana Kudus, “Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki, wanita tetaplah seorang wanita, dengan setiap kemampuan dan kewajibannya, yang harus berubah adalah wanita haruslah mendapatkan pendidikan dan perlakuan yang baik.” Jadi perlakuan yang baik seharusnya dapat menjamin keamanan dan kenyamana bagi para perempuan.
Terlebih, Islam dan agama-agama lainnya, sebagaimana fitrahnya, seharusnya dapat menjadi wadah yang nyaman dan mudah bagi siapapun, termasuk perempuan. Jadi, jangan sampai agama malah dijadikan dalih untuk menyudutkan siapapun yang sedang dalam kondisi lemah, apalagi perempuan.
Walaupun, kasus Amini kemarin masih memberikan peringatan kepada kita, bahwa perjuangan masih panjang untuk mewujudkan Islam sebagai jawaban bagi permasalahan perempuan. Padahal, kita mungkin sering mendengar wacana, “Islam adalah agama yang menghormati perempuan”. Lalu, jika kekerasan tersebut beririsan dengan narasi agama, maka biasanya kita berdalih oknum.
Padahal, kalau kita ingin menyelesaikan permasalahan kita harus mulai melakukan perlawanan bagi siapa saja yang memakai dalil agama, untuk melakukan kekerasan pada perempuan. Namun, tidak jarang permasalahan perempuan malah sering menjadi bertambah rumit jika masuk narasi agama. Sebab, jika beririsan dengan agama, ketika kita membela perempuan maka label dan stigma negatif melekat, karena dianggap mengkhianati agama, dan perempuan biasanya terjebak dalam posisi yang disalahkan. Akibatnya, perempuan cukup sulit mendapatkan pembelaan yang layak atas perlakuan tidak pantas kepadanya, mulai dari perundungan hingga kekerasan lainnya.
Kasus Amini memperingatkan kepada kita bahwa dalil soal standar pakaian yang beragam pun masih dirasa belum cukup untuk melindung kehormatan perempuan, termasuk nyawa mereka. Perempuan seakan ditempatkan dalam posisi selalu dirugikan jika dikaitkan dengan permasalahan pakaian, terlebih jika “tidak memenuhi standar”.
Banyak perempuan malah diserang balik dengan stigma atau label yang seringkali tidak berdasar, bahkan hingga mendapatkan perlakukan kasar, mulai dipaksa hingga dipukuli. Amini adalah salah satu korban dari kekerasan atas perempuan yang menggunakan dalil agama.
Tentu, gugurnya Amini menandai bahwa umat Islam masih memiliki persoalan serius terkait perempuan. Oleh sebab itu, jangan sampai kematiannya hanya menyisakan kisah tragedi yang lekas memudar. Rasanya terlalu naif, jika setiap ada permasalahan macam Amini ini kita hanya mengatakan kata belajar dari sana.
Kita sebagai umat Islam, khususnya Indonesia, seharusnya sudah cukup belajar dari berbagai persoalan yang selama ini kita hadapi. Sudahi sikap antipati dan menyalahkan perempuan atas permasalahan pakaian, mungkin langkah bisa kita ambil. Malah, kita sudah harus berani mengambil langkah untuk membela mereka, dan menjelaskan bahwa dalil agama tidak boleh sama sekali dijadikan dalih untuk melakukan kekerasan, apalagi sampai merenggut nyawa.
Kalaupun, perempuan masih dianggap “belum” memakai pakaian yang seharusnya dengan standar agama, tetap saja kekerasan tidak boleh dilakukan, baik fisik atau mental. Kita boleh saja tidak setuju dengan model atau standar pakaian yang dikenakan, namun tugas kita sebagai umat beragama adalah menjadikan agama sebagai wadah yang menenangkan bagi siapa saja, karna agama adalah bagian dari kemanusiaan.
Para pelaku kekerasan yang memakai dalil agama, sebagaimana teroris, seharusnya menjadi lawan bagi kita semua. Kehadiran mereka menjadi “musuh” bagi kemanusiaan. Kita harus mulai mempersempit ruang gerak bagi mereka, minimal dengan menyatakan bahwa apa yang mereka lakukan adalah kesalahan.
Para pendemo di Iran telah membuktikan diri. Mereka telah menyatakan bahwa Negara telah melakukan kesalahan, karena gugurnya Amini tidak boleh terjadi, apalagi jika hanya karena alasan ketidaklayakan pakaian yang dikenakannya. Negara malah seharusnya melindungi warganya, bukan malah menghilangkan nyawanya.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin