Maher At-Thuwailibi merupakan pendakwah yang dikenal dengan makian dan omongan kasar. Ada banyak video bertebaran di media sosial yang membuktikan kalau Maher seringkali melontarkan kata-kata yang tidak sesuai dengan adab Islam dan etika yang diajarkan Rasulullah. Ketika ditanya kenapa suka berkata kasar, Maher berdalih kalau apa yang dilakukannya itu adalah ajaran dari Rasulullah itu sendiri. Dia mengutip pernyataan Rasulullah yang menyebut kelompok Khawarij sebagai Kilabunnar, anjing neraka
Pertanyaannya bisakah hadis tersebut dijadikan landasan untuk berkata kasar seenaknya kepada orang yang beda pendapat dengan kita?
Pertama yang perlu ditegaskan bahwa pernyataan yang dikutip Maher itu masih diperdebatkan para ulama apakah itu betul-betul perkataan Nabi atau tidak. Dalam hal ini ulama beda pendapat, ada yang menshahihkan dan ada pula yang mendhaifkan.Namun, yang ingin dibahas dalam tulisan ini, benarkah jika hadis tersebut dijadikan legitimasi tentang kebolehan berkata atau bersikap kasar kepada orang–orang yang berbeda pendapat dengan kita?
Setidaknya ada beberapa poin yang perlu diperhatikan dalam hadis tersebut:
Pertama, hadis tersebut bersifat futuristik dan bernilai sebagai pengingat bagi kaum muslimin agar berhati–hati dengan kaum khawarij yang menghalalkan darah saudaranya sesama muslim jika ia berbeda pandangan dengan mereka dalam permasalahan yang masih debatable dan bersifat ijtihadi.
Yang kedua, penyematan kata “كلاب النار” kepada kaum khawarij apakah bisa dikategorikan statemen kasar dari Nabi SAW tanpa melihat konteks fungsi kata tersebut dalam kebudayaan Arab ketika itu, dan tanpa mengetahui cara berbicara Nabi SAW dalam masalah mimik wajah serta intonasi suaranya.
Lalu yang ketiga, jika memang statemen tersebut merupakan statemen kasar Nabi SAW kepada suatu kelompok, apakah ia bersifat khusus bagi kaum khawarij, atau boleh disematkan kepada siapapun yang “diduga” merugikan umat islam, meskipun tidak sampai menghalalkan darah mereka misalnya, apalagi kita mengetahui diantara fungsi “أل للتعريف” adalah memberi makna kekhususan bagi jenis kata benda yang disandarkan kepadanya “أل” tersebut. Maka, jikapun diperkenankan menyematkan statemen yang “diduga” kasar itu kepada kelompok tertentu, maka hanya kelompok yang tergolong khawarij saja yang diperbolehkan.
Sedangkan yang kita temui akhir–akhir ini para penceramah yang gemar menggunakan kata–kata kasar, dengan mudahnya menggunakannya kepada orang–orang yang bukan khawarij, dan bahkan jika diupayakan dengan logika analogi pun mereka yang diumpat oleh penceramah–penceramah tersebut sangat jauh dari kriteria–kriteria sifat kaum khawarij.
Ala kulli hal, yang pasti gaya kasar yang mereka lakukan dalam berceramah, banyak sekali membuat kaum muslimin malu dengan statusnya sebagai muslim. Hal ini terbukti dari kejadian yang dialami salah seorang kerabat penulis yang mulai ragu dengan islam karena isi ceramah–ceramah para orator agamis yang tampak bengis.
Yang perlu kita ingat, nilai–nilai kebaikan yang disampaikan dengan cara yang santun lebih mudah diterima nurani, dibandingkan jika disampaikan secara beringasan. Toh, untuk apa kita beringasan memaksa orang–orang untuk mengikuti ijtihad kita, yang kemungkinan kelirunya lebih besar dibanding dengan kemungkinan benarnya, padahal masalah kecondongan hati, merupakan otoritas Zat yang berkuasa membolak–balikkan hati.