Hati saya terenyuh saat melihat sebuah video yang menyebar di media sosial. Video itu memuat ucapan seorang anak laki-laki yang kehilangan ibunya pada bencana gempa dan tsunami Palu dan Donggala sepekan lalu.
“Tadi mamaku sudah mati, jadi saya tidak boleh nangis, saya harus berani. Mamaku sudah di atas sekali (surga). Tadi naik pesawat tak bisa lagi lihat mama, mama sudah di atas sekali. Kalau saya nangis mamaku nangis juga”, ucap sang anak.
Ketabahan dan ketegaran anak tersebut patut diapresiasi. Bukan hal yang mudah untuk bangkit dari bencana yang datang tiba-tiba. Hanya dalam hitungan menit, ia kehilangan orang-orang yang dicintai dan harta benda yang dimiliki.
Masih pekat rasanya ingatan tentang gempa tsunami Aceh pada 2004 lalu. Kini, bencana yang sama terjadi kembali, menenggelamkan kota dan menelan korban yang belum diketahui secara pasti jumlahnya.
Media massa memiliki peran besar dalam komunikasi bencana, dari mulai informasi prabencana, bencana, hingga pascabencana. Banyaknya pemberitaan bencana selain dapat memberi informasi, juga dapat membangun empati masyarakat untuk ikut berdonasi.
Namun perlu diketahui, bahwa para korban bukan hanya membutuhkan bantuan materil, tapi juga moril. Sayang, masih banyak media yang belum menerapkan jurnalisme bencana dengan baik. Beberapa media masih mengonstruksi berita bencana dengan bungkusan luka dan air mata.
Saat tragedi tsunami di Aceh beberapa tahun silam, puluhan berita kengerian dan menyedihkan ditampilan oleh media, sorotan kamera menangkap jelas ratusan mayat yang bertebaran di pinggir jalan, bahkan sosok tubuh tak bernyawa itu tak segan-segan disorot close up. Saya yang masih duduk di bangku SD kala itu masih ingat betul bagaimana kengerian bencana Aceh di tahun 2004 silam.
Penggambaran mengenai bencana tersebut justru mengaburkan tugas mulia jurnalisme bencana. Jurnalisme bencana seharusnya dimunculkan dengan gaya optimis, tidak berlarut-larut dalam kesedihan dan keterpurukan.
Ketentuan peliputan jurnalisme bencana tertuang dalam Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) BAB XVIII Prinsip-Prinsip Jurnalistik tentang Peliputan Bencana sebagai berikut:
(a) melakukan peliputan subjek yang tertimpa musibah dengan wajib mempertimbangkan proses pemulihan korban dan keluarganya
(b) tidak menambah penderitaan ataupun trauma orang dan/atau keluarga yang berada pada kondisi gawat darurat, korban kecelakaan atau korban kejahatan, atau orang yang sedang berduka dengan cara memaksa, menekan, dan/ atau mengintimidasi korban dan/atau keluarganya untuk diwawancarai dan/atau diambil gambarnya
(c) tidak mengganggu pekerja tanggap darurat yang sedang bekerja menolong korban yang kemungkinan masih hidup dan (e) tidak menggunakan gambar dan/atau suara korban bencana dan/atau orang yang sedang dalam kondisi menderita dalam filter, bumper, ramp yang disiarkan berulang-ulang.
Jurnalisme bencana yang optimis memang tidak mudah diwujudkan, apalagi dengan kemunculan jurnalisme warga (citizen journalism) yang juga dapat menjadi sumber informasi.
Yang membuat saya merasa samakin gerah, beberapa media justru mengaitkan bencana dengan azab Tuhan, seolah-olah bencana yang terjadi murni berdasarkan ulah dosa-dosa sang korban. Kalaulah dosa-dosa dapat segera mendatangkan azab, niscaya tak seorang pun tersisa di bumi karena tidak ada yang terlepas dari dosa.
Namun beberapa hari terakhir saya melihat beberapa media massa telah berbenah diri untuk memunculkan berita optimis yang membangun, misalnya “Palu bangkit”, “Donggala Bangkit”, “Bantu Palu Bangkit Kembali”, dan lain sebagainya.
Kita sebagai bangsa Indonesia memiliki kewajiban untuk merangkul saudara-saudara kita, tak peduli apapun suku dan agama mereka. Karena kita semua adalah Indonesia. Kali ini bukan saatnya untuk saling menyalahkan musibah yang terjadi.
Ucapan sang anak laki-laki di atas menjadi pemantik bagi kita untuk membangkitkan saudara-saudara kita yang terpuruk. “Mari bantu Palu dan Donggala bangkit!!”