Belakangan heboh mempermasalahkan hal temeh tentang penyebutan “Al fatekah” Bapak Jokowi di pembukaan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Nasional XXVII di Kota Medan, Sumatra Utara (Sumut), Minggu (7/10/2018) malam.
Saya heran loh orang-orang ini banyak yang sudah kehilangan kesantaiannya. Masa iya kaya logat “Al fateka” aja sampai perlu dibuat urusan panjang. Masa iya kita harus jelaskan bahwa itu cuma nama surah, tidak merusak esensi al Qur’annya.
Hidup kurang santai atau tidak suka sosok yang berbicara memang kadang membuat kita lupa bahwa Allah itu maha penyayang, tidak akan tersinggung dengan okkots (sebutan orang Bugis-Makassar bagi salah ucap). Dalam bahasa dalil saya kira populer; Innama ‘amalu binniah (semua tergantung niatnya).
“Cuman saya khawatir, kalau yang seperti ini dianggap sesuatu yg benar, bisa saja ke depan banyaklah orang yg membaca ayat Al Qur’an seenak perutnya sesuai dgn dialek bahasa/sukunya, padahal Al Qur’an itu berbahasa Arab,” kata saudara saya di grup WhatsApp keluarga.
Saudara saya itu barangkali lupa bahwa sejak zaman Rasulullah perbedaan cara ngaji al Qur’an sudah ada. Ini ngaji loh gaes, bukan penyebutan nama surah doang.
Menurut catatan sejarah, timbulnya penyebaran qira’at dimulai pada masa tabi’in, yaitu pad awal abad II H, tatkala para qari’ tersebar di berbagai pelosok. Mereka lebih suka mengemukakan qira’at gurunya. Kemudian cara bacanya diajarkan turun temurun, sehingga kita tahu qira’at tujuh, qiraat sepuluh atau qiraat empat belas.
Penyebabnya transformasi bahasa dan akulturasi akibat bersentuhan dengan bangsa-bangsa bukan arab. Bisa juga suku satu dengan suku lainnya memiliki lahjaah (dialektik) bahasa yang berbeda, terutama dalam pengucapannya (mereka memiliki bahasa sampai puluhan dialek).
Kira-kira samalah ketika orang Jawa bilang “Alkhamdulilah robbil ngalamin”, ya karena dialeknya gitu.
Berbeda dalam Islam adalah sesuatu yang baik, karena memang Tuhan menciptakan kita dengan perbedaan-perbedaan, Bro. Kita harus menerima tiap perbedaan bukan malah mencari-cari kesalahan yang berbeda, lantas merasa paling benar.
Jika sudah merasa paling benar, maka akan ngeyel alias sekuat apapun kamu menjelaskan dan seotentik apapun referensi yang kamu berikan untuk membantah argumen si Paling Benar, tidak akan berpengaruh. Doakan saja, semoga urat-uratnya berhenti tegang ketika berhadapan hal-hal yang tidak biasa dia temui. Wallahu ‘alam bishawab.