Terma living hadis mungkin bukan lagi menjadi terma yang asing didengar, terlebih bagi cendekiawan dan peminat kajian studi Al-Quran maupun studi hadis. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya tulisan terkait dengan living Al-Quran maupun hadis, baik tulisan-tulisan yang membahas pengantar, metodologi, hingga penelitian living. Sebagaimana yang dijelaskan dalam buku Metodologi Penelitian Living al-Qur’an dan Hadis, terma living pada dasarnya merupakan terma yang dipopulerkan oleh dosen Tafsir Hadis. Seiring dengan berjalannya waktu, kajian ini mendapat perhatian dan menjadi salah satu kajian favorit dan menjadi tren penelitian dalam bidang studi Al-Quran maupun hadis.
Perjalanan kajian living menjadi tren penelitian tidak muncul secara tiba-tiba. Akan tetapi terdapat proses-proses yang kemudian kajian living menjadi salah satu tren dan arah baru penelitian Al-Quran dan hadis. Arah baru yang dimaksud yang menjadi tren pengkajian hadis saat ini, terutama di perguruan tinggi adalah pengkajian living hadis.
Pada masa mendatang, diprediksikan akan muncul tren kajian baru, mengingat dalam setiap masanya, tren kajian Al-Quran dan hadis berubah-ubah. Mulai dari penelitian terhadap kitab-kitab hadis klasik, kemudian muncul sebuah tren penelitian baru yang dipopulerkan oleh Syuhudi Ismail dengan penelitian kesahihan sanad dan matan hadis, dilanjutkan dengan tren pengkajaian ma’anil hadis atau hermeneutika hadis yang dipopulerkan Musahadi Ham.
Tren penelitian hadis (sebelum adanya tren ini), berangkat dari sebuah teks atau kitab hadis yang kemudian dikaji mulai dari metodologi, kualitas hadis, hingga pemaknaan atau kontekstualisasi terhadap suatu hadis.
Berbeda dengan sebelumnya, living hadis berangkat dari tradisi atau budaya sosial yang dilakukan oleh sekelompok orang atas resepsi dari sebuah teks yang dipercayai (diimani), baik itu resepsi dalam bentuk suatu aksi, atau kesadaran hati (pikiran). Meminjam istilah dari Ahmad Rafiq dalam disertasinya “the reception of the Qur’an is an act of receiving the Qur’an, so, there is an act of reading of the Qur’an as well as an act of believing in it”.
Pada dasarnya kajian living ini bukan barang baru, jauh sebelumnya sudah banyak dilakukan dengan menggunakan terma berbeda. Meskipun dengan terma yang berbeda, pada dasarnya titik tolak atau objek pengkajiannya adalah sama atau minimal sejenis. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam buku Living Hadis: Praktik, Resepsi, Teks, dan Transmisi dengan istilah tradisi Madinah, living sunnah.
Belakangan ini, pengkajian hadis sosial atau living hadis menjadi sebuah tren, terutama di kalangan civitas akademi perguruan tinggi. Bermula dari kajian living di perguruan tinggi yang dipopulerkan oleh Dosen Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan menerbitkan karya berupa buku pada tahun 2007 yang berjudul Metodologi Penelitian Living al-Qur’an dan Hadis, kemudian bermunculan berbagai karya penelitian lain dengan menggunakan metode (living) hingga kajian living menjadi salah satu tren kajian yang banyak dikaji akhir-akhir ini.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Ahmad Rafiq, bahwa tren penelitian ini muncul berawal dari kegelisahan para akademisi yang merasa penelitian dalam kajian hadis dipandang terlalu stagnan atau tidak ada perkembangan setelah tren penelitian hadis yang ditawarkan oleh Syuhudi Ismail dan Musahadi Ham. Dari kegelisahan tersebut kemudian muncul gagasan ide mengkaji hadis namun berangkat dari tradisi sosial.
Meskipun bukan penelitian yang baru, namun gagasan tersebut kemudian menjadi sebuah tren penelitian hadis (terutama di perguruan tinggi) selang beberapa tahun setelah dipopulerkan. Sebagai contoh sebagaimana hasil dari penelusuran pada halaman pertama di mesin pencarian Google Scholar dengan kata kunci living hadis dan living quran adalah “Living Hadis: Genealogi, Teori, dan Aplikasi”, karya dari Saifuddin Zuhri Qudsy tahun 2016; “Paradigma Umat Beragama Tentang Living Quran: Menautkan antara Teks dan Tradisi Masyarakat”, karya Dewi Murni tahun 2016; “Pemaknaan Ayat al-Quran dalam Mujahadah: Studi Living Qur’an di PP Al-Munawwir Krapyak Komplek Al-Kandiyas”, karya Moh. Muhtador tahun 2017; dan masih banyak lagi yang lain.
Selain itu, ada yang perlu digaris bawahi juga terkait dengan kajian living hadis adalah tentang teori dari Pierre Bourdieu yang ia tawarkan, yakni (Habitus X Modal) + Ranah = Praktik.
Adapun yang menarik di sini adalah peran dari agen yang sangat penting dari sebuah praktik dalam suatu tradisi. Informasi dari agen ini seakan menjadi sepiring nasi yang akan disantap pada siang hari saat perut terasa sangat lapar. Jika tidak ada penjelasan informasi dari agen, maka dalam penelitian tersebut seakan membuat penelitian terasa hampa seperti hampanya perut tanpa diisi dengan nasi.
Baca tulisan Zia Al-Ayyubi lainnya di tautan ini