Pesantren adalah institusi yang dinyatakan oleh Gus Dur: sebuah subkultur. Peranannya bisa dinilai begitu dinamis. Pesantren banyak dipahami sebagai tempat pengajaran Islam berbasis kitab-kitab klasik. Era kiwari, pesantren tidak hanya dipahami sebagai tempat pendidikan agama Islam. Kini pesantren juga menjadi sentra penting pemberdayaan masyarakat di bidang ekonomi, sosial, bahkan juga politik.
Berdasarkan data PDPP Direktorat Pendidikan Pesantren, total pesantren yang terdata adalah 26.952 pesantren. Dengan turut memertimbangkan besarnya jumlah santri yang belajar di sana, besaran angka ini menunjukkan pesantren adalah eksponen penting di masyarakat.
Komunitas pesantren mencakup kiai dan dewan pengajar, santri, serta masyarakat sekitar yang berinteraksi dengan elemen pesantren. Di masyarakat kiai dan santri tidak akan lepas dari masalah-masalah sosial dan kebutuhan masyarakat yang dinamis. Salah satunya adalah dalam bidang kesehatan.
Banyak isu kesehatan perlu mendapat perhatian saat ini. Kesehatan reproduksi, pernikahan dini, perilaku hidup bersih dan sehat, penggunaan obat tidak rasional, sunat perempuan, dan banyak problem lainnya menjadi sorotan. Pada siapa masyarakat menanyakan masalah kesehatan, kaitannya dengan halal-haram atau perspektif agamanya? Tentu ke para ulama dan kiai pesantren.
Bisa dibayangkan, bahwa kiai atau santri akan memercayai penjelasan kitab kuning Ta’limul Muta’allim tentang pentingnya berlapar-lapar dan tidak memakan daging ikan atau hewan, dibanding sosialisasi gerakan makan ikan dari mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti atau kebutuhan gizi harian. Hal ini tampaknya menunjukkan suatu problem: ada ketidaksamaan paradigma antara pelaku layanan kesehatan dan otoritas ulama, termasuk dari kalangan pesantren.
Pesantren sebenarnya sudah memulai diskusi isu-isu kesehatan diri, yang bahkan lebih sensitif, secara detail. Kitab-kitab fikih dasar seperti Mabadiul Fiqhiyyah, Safinatun Naja, menjadi acuan dalam pengajaran seputar nifas, haid, serta aturan-aturan dalam hubungan seksual dan pernikahan. Pada kelas yang lebih tinggi, kitab Fathul Muin, Fathul Qarib, juga kitab-kitab spesifik seperti Qurrotul Uyun atau Uqudul lil Jain fi Bayan Huquq al Zaujain, mengajarkan bagaimana hal-hal yang mesti ditempuh pria maupun perempuan dalam melakukan relasi-relasi asmara dan pernikahan.
Ragam kitab di atas menunjukkan bahwa kitab yang dikaji di pesantren telah mengandung materi pendidikan reproduksi dan pubertas – dalam hal ini, pendidikan seputar baligh, ibadah dan muamalah lainnya. Hal ini adalah modal penting literasi komunitas pesantren. Di pesantren, persoalan-persoalan reproduksi tersebut lebih berani didiskusikan dengan gamblang. Terlepas dari beberapa konten yang dinilai patriarkal, bias gender, hal ini meniscayakan bahwa pesantren memiliki modal informasi untuk mengetahui apa yang relevan untuk komunitas mereka.
Tradisi pesantren salah satunya dibentuk oleh otoritas teks dari tradisi kajian dan pengamalan kitab kuning. Materi ajar kitab kuning sudah mengulas sedikit banyak hal terkait masalah kesehatan. Hanya saja, setidaknya ada dua permasalahan: pertama, relevansi isi teks dengan situasi saat ini; kedua, sikap kiai dan santri terhadap otoritas teks. Peranan kiai sebagai pengajar utama khazanah kepesantrenan memegang peran yang sangat penting dalam mengelaborasi aspek literasi ini kepada masyarakat yang diasuhnya.
Kitab kuning pada dasarnya memiliki wacana yang kaya akan masalah-masalah kesehatan dewasa ini. Salah satu usaha menjembatani teks turats dengan isu kesehatan kontemporer adalah penerbitan buku Fikih Disabilitas di lingkungan NU. Kajian yang disusun oleh kiai-kiai NU dan LSM pemerhati disabilitas ini berusaha menyajikan paradigma tentang inklusivitas terhadap penyandang disabilitas dari khazanah kitab kuning.
Sintesa otoritas teks kitab kuning, kepatuhan santri pada kiai, serta keterbukaan wawasan pemimpin pesantren, akan menentukan keberhasilan literasi kesehatan melalui akomodasi khazanah kepesantrenan. Selain itu, literasi kesehatan di pesantren memerlukan perbaikan akses terhadap informasi kesehatan. Merebaknya hoaks atau misinformasi terapi atau masalah kesehatan tertentu, membuat pesantren bisa mengambil perannya untuk memberdayakan masyarakat di bidang kesehatan, termasuk dalam literasinya.
Sahal Mahfudh, menyebutkan bahwa khazanah turats yang kaya mestinya diarahkan dan mampu merespon masalah-masalah keumatan, termasuk masalah kesehatan. Dengan demikian, akan tercipta suatu kultur pengetahuan kesehatan yang baik di dalam pesantren dan bersumber dari khazanah internal mereka sendiri.
Forum Bahtsul Masail bisa jadi salah satu modal komunitas pesantren dalam literasi isu-isu terkini, tak terkecuali kesehatan. Isu-isu seperti pernikahan dini, narkoba, kekerasan dalam remaja, juga bahkan perkara seksualitas dan gender, bisa lebih digali dalam Bahtsul Masail dengan turut menyajikan pandangan ahli kesehatan. Komunitas pesantren akan mendapat keuntungan: pengetahuan baru seputar kesehatan, serta pemahaman bagi ahli kesehatan bahwa pesantren sangat heterogen dalam pemikiran dan intelektualitas.
Setidaknya literasi kesehatan di komunitas pesantren yang baik akan berdampak sebagai berikut. Pertama, kualitas kesehatan masyarakat pesantren diharapkan meningkat. Kedua, kiai dan santri yang memiliki peran dakwah di masyarakat bisa getok tular paradigma sehat yang berasal dari khazanah literasi turats, diikuti binaan dari ahli kesehatan setempat. Ketiga, otoritas teks yang begitu besar di pesantren dihadapkan dengan isu kesehatan kontemporer, akan berdialog dan saling akomodasi antara keduanya.
Mengingat pengaruh banyak pesantren yang kuat di kalangan akar rumput, agaknya literasi kesehatan komunitas pesantren yang lebih baik, akan turut memengaruhi kualitas kesehatan masyarakat sekitarnya. Mungkinkah?