Perkembangan Literasi Dakwah: dari Khitabi Menuju Youtubi

Perkembangan Literasi Dakwah: dari Khitabi Menuju Youtubi

Kita tentu tidak mau, bukan, kalau Youtube hanya diisi dengan ujaran kebencian dari dakwah-dakwah ustadz gadungan?

Perkembangan Literasi Dakwah: dari Khitabi Menuju Youtubi

Pergeseran teknologi informasi dari tradisional ke digital turut membawa perubahan besar pada cara berdakwah. Jika dahulu orang-orang belajar ilmu agama dari kyai-kyai kampung dan pondok pesantren, kini mereka bisa mempelajarinya dengan lebih mudah. Hanya dengan bermodalkan gawai yang terhubung ke internet, mereka bisa belajar Islam dari ulama-ulama di berbagai penjuru dunia.

Dalam Kajian Rumahan yang diselenggarakan di Jakarta, Habib Husein menyatakan bahwa saat ini diperlukan ulama yutubi. Loh, apa itu ulama yutubi? Ya, ulama yang menyampaikan ilmu agama melalui YouTube.

Dahulu dikenal ada ulama khithobi, ulama yang menyampaikan ilmu dengan cara berkhutbah atau dengan lisan. Ada pula ulama kutubi, ulama yang berdakwah melalui pena yang digoreskan dalam lembaran-lembaran kitab.

Seiring berjalannya waktu, dibutuhkan pula ulama yutubi, ulama yang berdakwah melalui situs media berbagi (Media-Sharing Sites) YouTube. “Memang seharusnya tidak perlu ada ulama yutubi. Tapi zaman sudah berubah,” ucap Habib Husein.

Idealnya, setiap orang yang ingin belajar agama secara mendalam harus nyantri terlebih dahulu. Karena ketika nyantri, kita tak hanya belajar Islam secara kognitif, melainkan juga belajar etika, adab dan akhlak. Seseorang tidak bisa dikatakan pintar apabila tak beradab dan berakhlak, karena output dari ilmu adalah akhlak yang mulia.

Namun, perkembangan zaman tak bisa kita hentikan dan mau tak mau kita terjebak dalam arus tersebut. Saat ini gawai adalah benda yang tak bisa lepas dari insan-insan kota. Orang-orang bahkan menghabiskan waktu lebih lama di depan gawai dibandingkan di depan al-Qur’an. Jika para ulama tidak terjun ke YouTube, strategi apa yang dapat dilakukan untuk bisa menjaring masyarakat, terutama generasi milenial?

Nadirsyah Hosen pernah berkata “Barangsiapa yang tak bisa mengikuti perkembangan zaman, maka ia akan menjadi fosil.”

Lalu apa sebenarnya keistimewaan berdakwah melalui YouTube?

Dari berbagai macam jejaring sosial, YouTube adalah salah satu media yang digandrungi banyak orang. Berdasarkan survei Alexa.com, hingga saat ini YouTube menduduki urutan kedua situs terpopuler di dunia. (Lihat  www.Alexa.com “YouTube.com” terakhir diakses pada Senin, 18/11/2019)

Bahkan survei yang dirilis We Are Sosial pada 2018 menunjukkan bahwa YouTube merupakan platform media sosial yang paling aktif digunakan di Indonesia. Menandingi Facebook yang berada di urutan kedua, dan Whatsapp di urutan ketiga. (We Are Sosial “Digital Report” part 2 South East, h.52)

YouTube memang memiliki keistimewaan. Namun berdakwah dan belajar agama melalui YouTube juga tak absen dari kekurangan. Dakwah digital dihadapkan pada realita-realita baru.

Salah satu karakter dari media sosial adalah simulasi sosial. Term simulasi dapat dipahami dari pemikiran Jean Baudrillard dalam karyanya yang berjudul “Simulation and Simulacra”.

Baudrillard mengungkapkan gagasan simulasi bahwa kesadaran akan sesuatu yang real di benak khalayak semakin berkurang dan tergantikan dengan realitas semu. Kondisi ini disebabkan oleh imaji yang disajikan media secara terus-menerus. Sehingga khalayak seolah-olah tidak dapat membedakan antara realitas yang nyata dan yang ada di layar.

Sebagaimana yang diungkapkan Baudrillard, begitu pulalah gambaran yang terjadi di media sosial. Interaksi yang ada di media sosial memang tampak seperti realitas, namun interaksi yang terjadi sebenarnya hanyalah simulasi yang terkadang bisa sangat berbeda dengan realitas sesungguhnya.

Misalnya pengguna YouTube bisa merepresentasikan dirinya menjadi siapa saja di akun YouTube miliknya. Seseorang yang hanya tahu satu ayat Al-Qur’an bisa mengaku-ngaku sebagai ustadz/ustadzah di YouTube, tentu saja, dengan bermodalkan pakaian muslim serta surban dan kopiah atau kerudung, juga dengan materi dakwah yang sebenarnya ia dapatkan dari internet.

Realitas semu ini bisa membingungkan khalayak dan tentu saja akan memunculkan pertanyaan di benak mereka, “Apakah ini ustadz sungguhan atau ustadz gadungan?,” “Apakah ustadz ini layak kita jadikan panutan?,” “Bagaimana cara memilih ustadz yang tepat di YouTube?,” dan pertanyaan-pertanyaan lainnya.

Mengenai hal ini, Nadirsyah Hosen mengingatkan agar memilih ustadz yang punya sanad keilmuan jelas. Jelas siapa gurunya, jelas apakah sanad ilmunya bersambung hingga ke Rasulullah SAW dan jelas ia menimba ilmu di mana. Jangan sampai memilih ustadz gadungan yang hanya belajar Islam dari Syekh Google saja.

Ungkapan Gus Nadir ini mengingatkan saya pada salah satu pembahasan dalam etnografi virtual, yaitu apakah realitas online seseorang berkaitan dengan realitas offlinenya?

Mengetahui realitas offline adalah hal yang penting dalam kajian ini. Cara mengetahuinya tentu saja dengan pengamatan secara langsung, baik dengan cara bertemu secara tatap muka maupun bertanya pada orang-orang terdekatnya.

Selanjutnya apa urgensi dakwah melalui YouTube?

Ya, pokoknya sudah saatnya ustadz-ustadz sungguhan banting setir berdakwah di YouTube. Apakah kita rela bila YouTube hanya diisi oleh ustadz-ustadz kagetan yang punya spirit “Sampaikanlah dariku walau satu ayat,” padahal mereka belum mengerti pula maksud dari potongan hadis tersebut.

Ah kita tidak mau bukan kalau Youtube hanya diisi dengan ujaran kebencian dari dakwah-dakwah ustadz gadungan?

Wallahu a’lam.

 

Artikel ini diterbitkan kerja sama antara islami.co dengan Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kemkominfo