Kita tentu gembira dengan keputusan seorang atlet Wushu berprestasi, Lindswell Kwok untuk menjadi seorang mualaf. Sebagaimana pengakuannya bahwa keputusannya untuk menjadi muslimah sudah melewati pertimbangan dan perenungan yang panjang. Dengan demikian, ia sudah menimbang matang-matang keputusannya untuk menjadi seorang muslimah.
Kini Lindswell sedang dalam posisi sebagai seorang pemula yang secara pelan-pelan berusaha mempelajari agama yang baru ia peluk tersebut. Posisi itu tentu bukanlah suatu hal yang mudah. Ia harus memulai mempelajari Islam dengan segala kompleksitasnya dari nol. Ia harus meraba-raba sedikit demi sedikit puzzle-puzzle Islam yang berserakan.
Persis sejak Islam pertama kali didakwahkan oleh nabi Muhammad Saw pada abad ke-7 yang lalu. Kini wajah Islam tampak beraneka rupa dan bentuk. Begitu banyak peristiwa sejarah yang mempengaruhi dinamika perkembangan Islam dan sekaligus mempengaruhi kompleksitas bentuk Islam saat ini.
Bagi seseorang yang baru mengenal Islam –seperti Lindswell- untuk memahami kompleksitas Islam tersebut membutuhkan tingkat kejelian dan kejernihan berfikir yang tinggi. Apalagi, belakangan, Islam dihadapkan kepada persoalan konservatisme. Pada dasarnya, konservatisme dalam Islam ini hanyalah salah satu varian saja dalam ragam penafsiran dan praktik berislam. Akan tetapi, persoalannya adalah kubu konservatif ini adalah kelompok yang paling getol menampakkan diri di ruang publik. Hingga kemudian, seolah-olah Islam yang dikenal oleh publik awam adalah jenis Islam yang seperti ini.
Termasuk juga, belakangan ini yang menjadi sponsor utama kampanye-kampanye yang mengajak kalangan non muslim untuk melakukan perpindahan agama untuk masuk kedalam agama Islam adalah kelompok konservatif. Barangkali, ketertarikan Lindswell untuk memeluk Islam sedikit banyak pasti dipengaruhi oleh kegiatan kampanye-kampanye ini.
Permasalahan utama dari berislam ala kubu konservatif ini adalah kecenderungan berislam mereka yang mengorientasikan kepada ekspresi Islam yang jauh dari sisi dalam batin manusia dan spiritualitas Islam. Mereka lebih menekankan bahwa berislam adalah berurusan dengan hal-hal yang sifatnya ritual formal semata. Bagi mereka berislam tak lain hanyalah ritual formal yang kurang menekankan aspek-aspek kejiwaan dan spiritualitas pemeluknya.
Kecenderungan berislam yang lebih menekankan aspek-aspek formal dalam Islam tersebut belakangan menemui persoalan. Kecenderungan mereka untuk lebih menekankan aspek formal tersebut kemudian berwujud kepada ekspresi Islam yang lebih menonjolkan sisi fisik Islam. Bagi mereka berislam tak lain hanya terkait dengan sisi tampilan luar Islam saja.
Kemudian, bagi mereka urusan Islam lebih berkaitan dengan seberapa panjang jenggot yang dimiliki. Seberapa panjang jilbab yang dipakai. Seberapa banyak kata-kata berbahasa arab yang diucapkan. Semua yang berkaitan dengan Islam bagi mereka kemudian hanya berkaitan dengan tampilan-tampilan fisik yang serba hitam putih saja. Mereka kemudian lupa, bahwa berislam adalah juga berkaitan dengan urusan spiritual, batin dan cinta kepada tuhan. Bukan semata fisik dan formal saja.
Implikasi paling jauh dari model berislam ala kalangan konservatif ini adalah menutup diri dari lingkungan sekitarnya yang beraneka ragam tradisi. Persoalan kecenderungan berislam secara tertutup inilah yang menjadi tantangan Lindswell dalam menghayati Islamnya kedepan.
Lindswell awal-awal ini tentu akan belajar mengidentifikasi mana yang merupakan tradisi dan ajaran Islam dan mana yang bukan.
Penalaran model diferensiasi atau pembedaan ini (jika ini Islam, maka itu bukan Islam) seringkali menjebak mekanisme berfikir seseorang. Yang terjadi kemudian seolah-olah segala sesuatu itu bersifat hitam dan putih.
Begitu pula dengan Islam. Bagi Lindswell yang baru mengenal Islam, kecenderungan memahami Islam dengan cara berfikir demikian hitam dan putih tersebut begitu besar.
Terlebih lagi kalangan yang selama ini mendorong banyak kalangan untuk melakukan hijrah atau perpindahan agama adalah kelompok konservatif yang mempunyai mekanisme berfikir secara hitam dan putih.
Jika kemudian Lindswell mampu keluar dari perangkap-perangkap menalar Islam yang serba hitam dan putih ala kaum Islam konservatif. Keputusan Lindswell untuk memeluk Islam tersebut akan membawa angin segar yang menambah ragam tradisi dan budaya ekspresi berislam di Indonesia.
Latar belakang kehidupan Lindswell dengan kehidupan sebelumnya: sebagai perempuan yang berkarir dalam dunia olahraga dan sekaligus ia memiliki pengalaman kebudayaan pernah hidup dalam agama yang sebelumnya, akan memperkaya eksperimen interaksi keagamaan yang multikultural di Indonesia.
Kombinasi latar belakang Lindswell yang menarik tersebut jika mampu ditampilkan Lindswell dalam style dan sikap berislamnya saat ini dapat mendobrak kejumudan tradisi berislam kalangan muslim Indoneisa yang dihadapkan kepada persoalan konservatisme.
Selama ini, dalam tafsiran mainstream kalangan muslim di Indoensia bahwa perempuan hanya berkaitan dengan kegiatan sekunder dalam kehidupan kemasyarakatan kita.
Jika kemudian Lindswell mampu menampilkan diri sebagai seorang muslimah dan sekaligus sebagai perempuan karir cum mempunyai pergaulan yang terbuka dengan berbagai kalangan, termasuk komunitas agama yang ia anut sebelumnya. Tentunya hal itu merupakan sebuah wajah baru Islam yang sangat menyegarkan di tengah terpaan badai konservatisme.
Kita sangat menanti tampilnya wajah baru Islam yang menyegarkan tersebut. Sekaligus kita juga berharap bahwa keputusan Lindswell untuk memeluk Islam tidak jatuh kepada konservatisme dan sekaligus menundukkan segala kehidupannya selama ini yang penuh keterbukaan dan sebagai perempuan yang tidak hanya berkutat dengan aspek-aspek domestik kehidupan.
Kita semua sangat tidak berharap Lindswell setelah memeluk Islam malah menjadi perempuan yang tertutup dan terbatasi. Kita tunggu saja bagaimana hasilnya. Semoga Lindswell berhasil, sebab islam adalah jalan cinta. Wallahua’lam