Lima Ulama yang Pernah Dijebloskan Penjara oleh Khalifah

Lima Ulama yang Pernah Dijebloskan Penjara oleh Khalifah

Walaupun dalam penjara, para ulama ini masih tetap belajar, mengajar dan menulis.

Lima Ulama yang Pernah Dijebloskan Penjara oleh Khalifah
Ilustrasi seorang ulama yang sedang mempelajari kitab.

Perbedaan pendapat antara satu orang dengan orang lain terkadang tidak hanya berakhir di perdebatan, tapi juga bisa membuat seseorang menjadi seorang pesakitan, dijebloskan dalam penjara. Hal seperti ini sering terjadi pada masa kekhilafahan, baik Umayyah maupun Abbasiyah dan juga masa-masa setelahnya.

Jika pada saat ini banyak yang teriak kriminalisasi ulama karena ulama dijebloskan ke penjara, padahal jelas-jelas bersalah dan bisa dibuktikan dalam persidangan, justeru pada masa kekhilafahan Umayyah, Abbasiyah, dan masa-masa setelahnya, ada beberapa ulama yang bisa dijebloskan ke penjara hanya karena berbeda pendapat dengan khalifah, dan terkadang tanpa persidangan.

Anehnya, mereka yang saat ini sering teriak kriminalisasi ulama, malah lebih meninggi-ninggikan sistem kekhilafahan dan teriak-teriak anti demokrasi.

Abdul Aziz al-Badri dalam al-Islam baina al-Ulama wa al-Hukkam menulis lima orang ulama yang pernah dipenjarakan oleh khalifah atau pemerintahan saat itu.

Pertama, Imam al-Sarkhasy.

Al-Sarkhasy tiba-tiba dipenjara oleh pemerintahan saat itu karena nasehatnya yang tidak mengenakkan bagi raja. Yang menarik bagi al-Sarkhasy adalah, ketika ia dipenjarakan di bawah tanah, ia masih tetap menulis dan mengajar. Ia mengajar murid-muridnya yang berada di atas penjara bawah tanah, sedangkan ia berada di bawah tanah.

Karya yang ia hasilkan di bawah penjara mencapai tiga puluh jilid. Salah satu kitab yang ia hasilkan dalam penjara adalah Syarh al-Iqrar al-Mustamil min al-Ma’ani ala ma Huwa al-Asrar.

Kedua, Ibn Taymiyah.

Justru di dalam penjara, Ibn Taymiyah dapat menghasilkan tafsirnya yang fenomenal dan beberapa kitab-kitabnya yang lain. Bahkan Ibn Taymiyah wafat ketika ia masih berada dalam penjara. Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, salah satu ulama yang juga dipenjara bersama Ibn Taymiyah di sebuah benteng, menuturkan bahwa Ibn Taymiyah pernah berkata, “al-Mahbus man habasa qalbuhu an rabbihi, wa al-Ma’sur man asarra hawahu.” (orang yang terpenjara adalah orang yang hatinya tercegah dari Tuhan-nya. sedangkan orang yang tertawan adalah orang yang ditawan oleh hawa nafsunya).

Ketiga, Ibn al-Qayyim al-Jauziyah.

Ia adalah murid Ibn Taymiyah, bahkan ia tergolong murid yang memiliki hubungan erat dengan gurunya tersebut, sampai-sampai ia pun bersama Ibn Taymiyah saat ia dipenjara. Dialah yang menceritakan segala hal terkait Ibn Taymiyah saat dipenjara. Salah satunya, ia sempat bercerita bahwa selama dipenjara Ibn Taymiyah selalu membaca wirid, “Allahumma ainni ala dzikrika wa syukrika wa khusni ibadatik.”

Keempat, Ibn Qutaibah.

Ibn Qutaybah dipenjara karena ia berselisih dengan sahabat Ahmad bin Thulun, salah satu penguasa Mesir pertama dinasti Ibn Thulun. Sebagaimana ulama yang lain, ia menghabiskan waktunya di penjara untuk belajar dan menulis berbagai karya.

Kelima, Abu Hanifah. Kisah Abu Hanifah yang dipenjara karena tidak mau sependapat dengan Khalifah al-Manshur terkait khalqiyat al-quran, tentu sudah kita ketahui semua. Tidak hanya dipenjara, ia bahkan dilarang untuk mengajarkan hadis.

Suatu hari Abu Hanifah didatangi oleh ibunya, sang Ibu berkata, “Wahai Abu Nu’man (Abu Hanifah), seharusnya ilmu yang kamu miliki dapat memberikan manfaat kepadamu, bukan malah membuatmu dipenjara seperti ini.” Mendengar perkataan ibunya tersebut, Abu Hanifah menjawab, “Wahai ibu, aku bisa saja jika aku ingin hidup bahagia dan bergelimang harta melalui ilmu yang kumiliki. Tapi aku ingin Allah SWT mengetahui bahwa aku menjaga llmu yang kumiliki dan tidak menjerumuskannya dalam kehancuran.”

Dari lima kisah ulama ini bisa kita simpulkan bahwa zaman dahulu, walaupun masa kekhalifahan nasib ulama tidak lebih baik dari masa sekarang. Terlebih bagi ulama yang memiliki masalah dengan khalifah. Mereka langsung dijebloskan ke dalam penjara karena berbeda dengan khalifah, baik pandangan keagamaan, ideologi, dan lain sebagainya.