Ketiga, menjafi teladan
Terminologi keteladan dalam Al-Quran disebutkan dengan kata uswah. Disebutkan di dalam surat al-Ahzab (33) ayat 21 bahwa”Sesungguhnya telah ada bagi kamu para Rasulullah suri tauladan yang baik bagi orang yang mengharap Allah dan hari kiamat, serta yang berzikir kepada Allah yang banyak.”
Kata uswah berasal dari kata asa. Kata ini bermakna qudwah yang berarti panutan atau teladan. Al-Ishfihani menjelaskan bahwa uswah adalah suatu keadaan di mana seseorang berada di dalamnya dalam hal mengikuti lainnya, baik atau jelek, menyenangkan atau membahayakan. Dengan kata lain adalah sesuatu pada diri seseorang yang bisa diambil sebagai contoh bagi orang lain.
Dari telaah karya Muhammad Fuad Abdul Baqi, sebagaimana dikutip oleh Waryono Abdul Ghafur, kata uswah disebut dalam Al-Quran sebanyak tiga kali. Semuanya diberi predikat hasanah. Selain terdapat dalam ayat di atas, dua ayat lainnya terdapat dalam QS al-Mumtahanah (60) ayat 4 dan 6. Dua ayat tersebut mengkisahkan keteladan yang ada pada Ibrahim dan nabi-nabi yang lahir berikutnya.
Keteladanan dari para nabi adalah akhlaknya. Tanpa akhlak manusia tak ubahnya seperti binatang atau bahkan lebih sesat. Karena itulah misi utama seorang nabi yang harus diteruskan oleh seorang pemimpin adalah untuk menyempurnakan Akhlak.
Keteladanan tersebut tercermin dalam ketabahan dan kegigihan Nabi Nuh dalam berdakwah, sifat pemurah dan ketekunannya bermuhajadah mendekatkan diri kepada Allah seperti nabi Ibrahim, rasa syukur dan pengormatan terhadap nikmat Allah seperti nabi Dawud, menghindari nikmat dunia yang berlebihan seperti Zakariya, Yahya dan Isa, kesabaran Yusuf, kekhusyuan doa Nabi Yunus, keberanian Musa, kepandaian beretorika Harun dan seterusnya.
Keempat, amar makruf nahi munkar
Di dalam Al-Quran, tidak kurang dari 38 kata al-ma’ruf dan 16 kata al-munkar. Al-ma’ruf adalah perbuatan yang dipandang baik menurut akal atau agama. Sedangkan al-munkar berarti setiap perbuatan yang oleh akal sehat dipandang buruk, atau akal tidak memndang buruk atau baik, tetapi agama (syariat) memandangnya buruk.
Ibnu Taimiah berpendapat bahwa amar ma’ruf nahi munkar adalah sebab dan sekaligus tujuan diutusnya para rasul dan diturunkannya Kitab Allah. Adapun perintah wajibnya melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar dapat dijumpai dalam QS Ali Imran (3) ayat 104:
وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى ٱلْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنْكَرِ وَأُوْلَـٰئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ
Dan hendaklah ada di antara kalian sekelompok orang yang mengajak kebaikan, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Amar ma’ruf dan nahi munkar adalah tugas kembar yang harus dipikul oleh seorang pemimpin secara simultan dan siap untuk merespons tugas-tugasnya dalam segala bidang kehidupan, dengan catatan sesuai dengan kadar dan kemampuannya.
Oleh Imam Ghazali sebagaimana dikutip dalam buku Koruptor Itu Kafir menyebutkan bahwa doktrin amar ma’ruf nahi munkar merupakan kutub terbesar agama.
Artinya, bahwa masalah tersebut merupakan pokok dan mesti ada sebagai ciri dan watak dasar dari umat Islam yang dapat menentukan eksistensi dan kemuliaan umat.
Oleh karena itu, seorang pemimpin harus dapat menjalankan amar ma’ruf dan nahi munkar dengan menggunakan wewenang dan kekuasaannya. Bukan malah sebaliknya.
Kelima, musyawarah
Akar kata musyawarah yang sudah menjadi bahasa Indonesia tersebut adalah syura yang berarti menampakkan sesuatu atau mengeluarkan madu dari sarang lebah.
Maka musyawarah berarti menampakkan sesuatu yang awalnya tersimpan atau mengeluarkan pendapat yang baik kepada orang lain. Prinsip musyarawarah dapat dijumpai dalam QS Ali Imran (3) ayat 159:
Maka disebabkan oleh rahmat dari Allah-lah engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap kasar, niscaya mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka. Mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlan dengan mereka dalam urusan (tertentu).
Ayat ini adalah satu di antara ayat-ayat lain yang secara langsung menjelaskan tentang musyawarah. Dua ayat lainnya terdapat dalam QS al-Baqarah (2) ayat 233 yang menjelaskan tentang bagaimana seharusnya suami istri saat mengambil keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak.
Ayat berikutnya adalah terdapat dalam QS. al-Talak (65) ayat 6. Dalam ayat ini tidak menggunakan kata musyawarah tapi dengan kata I’tamaru yang kemudian melahirkan kata muktamar.
Rasulullah Saw pernah melaksanakan musyawarah. Di antaranya yang terdapat dalam QS al-Syura (42) ayat 38. Dalam ayat ini dijelaskan tentang keadaan kaum muslim madinah yang bersedia membela nabi sebagai hasil kesepakatan proses musyawarah.
Ayat ini menunjukkan bahwa musyawarah dapat menjadi solusi dalam menyelesaikan problematika yang terdapat dalam masyarakat.
Maka dari itu, seorang pemimpin yang meenguasai banyak hal harus menjadi pelopor musyawarah dalam menyelesaikan berbagai persoalan rumit dalam kelompok yang dipimpinnya.
Bukan hanya dengan pendapat pribadi yang kemudian hari menjadi keputusan yang otoriter dan merugikan orang banyak.
Wallahu A’lam.