Lima Kasus Intoleransi Selama 2015

Lima Kasus Intoleransi Selama 2015

Banyaknya kasus intoleransi relasa antar-agama masih menjadi persoalan serius di Indonesia.

Lima Kasus Intoleransi Selama 2015

Banyaknya kasus intoleransi sepanjang tahun ini menandakan bahwa persoalan hubungan antar agama masih menjadi kendala. Untuk itulah, berdasarkan laporan sementara dari The Wahid Institute terkait kebebasan beragama, berikut ini merupakan lima kasus intoleransi yang menjadi persoalan serius sepanjang tahun 2015.  

Pertama, insiden Tolikara, Papua. Hal ini terjadi saat kegiatan salat Id yang dilakukan oleh umat Muslim dan pertemuan para pemuka masyarakat gereja diadakan pada saat yang bersamaan. Akibat dari serangan tersebut, 38 rumah dan 63 kios terbakar dan 153 penduduk mengungsi 

“Budaya Papua tidak mengajarkan orang untuk mengganggu, apalagi membakar tempat ibadah,” papar Peter Neles Tebay, Koordinator Jaringan Damai Papua, sebagaimana dikutip CNN Indonesia (20/7).

Menurutnya, pembakaran mushala ini di Tolikara adalah peristiwa pertama dalam sejarah Papua di mana sebuah tempat ibadah dibakar. Setelah ditelisik lebih lanjut, ternyata yang terbakar bukanlah sebuah musholla, melainkan kios buah dan apinya merembet ke mana-mana. Namun, isu ini telah menjadi viral di dunia digital dan memancing perdebatan di pelbagai media, serta menjadi salah satu catatan intoleransi paling serius sepanjang tahun ini.  Apalagi, sebenarnya toleransi antar warga di Tolikara sudah terbangun sejak lama. 

Kedua, bentrok antar warga di Singkil, Aceh. Sebagaimana dilaporkan Kompas (10/13), insiden ini dipicu pembakaran sebuah rumah yang dianggap tak memiliki izin untuk digunakan sebagai tempat ibadah.  Rumah ibadah itu adalah GHKI Desa Sukamakmur dan sekitar 500-an orang mendatangi rumah ibadah yang berada di Desa Sukamakmur, Kecamatan Gunung Meriah. Warga langsung membakar tempat ibadah itu, padahal tempat ibadah itu sudah dijaga petugas kepolisian.

Presiden Jokowi sendiri menaruh perhatian serius terhadap kasus ini. Melalui Tim Komunikasi Presiden, Ari Dwipayana dalam keterangan pers sebagimana dikutip dari Antara (10/11) mengatakan, presiden memerintahkan Menko Polhukam Luhut B Pandjaitan dan Kepala Kepolisian RI Jenderal (Pol) Badrodin Haiti untuk menangani penyelesaian peristiwa tersebut.

“Presiden meminta agar peristiwa itu tidak merembet kemana mana dan bisa diselesaikan dengan baik dan adil," kata Ari.

Ketiga, Pengusiran Jemaat Ahmadi di Duren Sawit. Peristiwa ini terjadi ketika masjid tempat biasanya melakukan ibadah disegel oleh pemerintah . Selain itu, sejumlah warga Bukit Duri mengusir jemaat Ahmadiyah yang semula akan melakukan salat Jumat di Masjid An-Nur, tempat ibadah mereka di Tanjakan Batu, Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan. 

"Ini masjid kami. Kami biasa beribadah di sini. Kalian harus hormati kami yang akan melakukan ibadah dong," kata Andang Budi Satria,  Komisi Hukum Jemaat Ahmadiyah Indonesia, sebagimana dikutip dari CNN Indonesia (8/7). 

Menurut laporan media itu juga, ketika warga Bukit Duri mengusir jemaat, tak terlihat ada satu pun polisi mengamankan. Polisi baru datang setelah jemaat diusir

Keempat, Pembakaran tempat ibadah Penghayat Kepercayaan Sapto Dharma, Rembang. Peristiwa ini terjadi pada selasa siang, tempat ibadah penganut Penghayat Kepercayaan di Dukuh Blando, Desa Plawangan, Kecamatan Kragan, itu dibakar saat sedang dalam proses pembangunan.

“Saya ditekan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan Forum Umat Islam Desa Plawangan supaya menghentikan renovasi pembangunan sanggar,” kata Ketua Persatuan Sapta Darma (Persada) Kabupaten Rembang, Sutrisno, sebagaimana dikutip dari Tempo (9/2). 

Hal ini tentu saja mencederai undang-undang. Menurut Direktur Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang, Tedi Kholiludin,  menyayangkan pembakaran tempat ibadah tersebut. Ia yang juga turut mendampingi Penghayat ini juga mengingatkan pemerintah terkait tindakan sekelompok orang yang mengaku sebagai Forum Umat Islam ini. Apa lagi ada aturan jelas berupa peraturan besama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor: 43 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Kelima, Pelarangan hari Asyura di Bogor. Kasus intoleransi ini terkait Surat Edaran No 300/321-Kesbangpol tentang Himbauan Pelarangan Perayaan Asyura (Hari Raya Kaum Syiah) Bogor tertanggal 22 Oktober 2015 yang dikeluarkan oleh wali kota Bogor, Bima Arya. Tentu saja ini membuat perdebatan panas di publik, baik yang pro maupun kontra.  

The Wahid Institute dalam siaran persnya menyangkan sikap pemerintah kota Bogor, khususnya Bima Arya, yang terkenal sebagai sosok muda yang inspiratif, demokratis dan menjanjinkan di masa depan. Kebijakan ini menambah daftar panjang peraturan dan kebijakan-kebijakan diskriminatif di Indonesia. Lembaga yang didirikan oleh Presiden ketiga Indonesia, K.H. Abdurrahman Wahid, itu juga mengimbau masyarakat untuk tidak menjadikan kebijakan tersebut sebagai legitimasi dan alasan dalam melakukan intimidasi, penyebaran ujaran kebencian, bahkan kekerasan terhadap komunitas Syiah di negeri ini. 

Sebenarnya, masih banyak lagi kasus intoleransi, seperti penyegelan masjid Ahmadiyah di Tasikmalaya, kasus buku sekolah yang mengajarkan kekerasan, bahkan pembunuhan terhadap orang yang di luar agama dan masih banyak yang lain. Intoleransi ini merupakan penyakit dan semakin menunjukkan jalan bahwa mimpi Indonesia sebagai sebuah negara yang toleran dan melindungi segenap warganya masih membutuhkan jalan panjang. Anda setuju? (dpr/ SindikasiDamai)