Lima Hal Ini Tidak Penting, Tapi Sering Kita Lakukan

Lima Hal Ini Tidak Penting, Tapi Sering Kita Lakukan

Lima Hal Ini Tidak Penting, Tapi Sering Kita Lakukan
Foto: Pixabay

Laris manisnya buku Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat, pendekatan yang waras demi menjalani hidup yang baik karya Mark Manson, dalam setahun terakhir, setidaknya memberi tahu kita tentang satu trend, yaitu munculnya kesadaran dari khalayak umum bahwa mereka merasa sudah cukup lama tenggelam dalam mengurusi hal-hal yang tak perlu. Frasa “mengurusi” dalam hal ini mungkin lebih dominan dalam aktivitas berfikir. Artinya, mereka merasa telah banyak memikirkan hal-hal yang tak perlu. Sehingga membuat mereka kelelahan dan tidak maksimal dalam melakukan suatu pekerjaan positif, yang seharusnya bisa mereka lakukan. Lalu mereka pun merasa perlu untuk bersikap “masa bodo”.

Lalu apa hal-hal yang tak perlu tersebut? Saya belumlah membaca buku tersebut secara keseluruhan. Namun, saya ingin mengulas trend tersebut melalui kacamata Islam. Dan menunjukkan bagaimana hal-hal yang sebenarnya tak perlu kita pikirkan, bahkan dilarang oleh Islam, telah membuat pikiran kita kelelahan. Tak hanya kelelahan, tapi juga memancing sikap seperti sikap radikal atau kaku dalam beragama. Suatu sikap yang sudah diperingatkan oleh Nabi Muhammad, untuk tidak perlu dilakukan. Lalu apa saja hal-hal yang tak perlu tersebut?

Memikirkan prilaku buruk yang dilakukan oleh orang lain

Mungkin banyak yang akan mendukung bahwa hal itu memang tidak perlu dilakukan, tapi memikirkan prilaku buruk orang lain entah disengaja atau tidak telah menjadi makanan sehari-hari. Mungkin itu tidaklah buruk kalau tujuannya positif seperti mencari cara terbaik untuk mengingatkan si pelaku, tapi menjadi tak perlu kalau hanya sekedar menjadi pergunjingan; menjadikannya bahan pembicaraan tatkala mengobrol dengan orang lain.

Melakukan atau memikirkan sesuatu tentunya harus melihat apakah sesuatu itu bermanfaat atau tidak untuk dilakukan atau dipikirkan. Kalau tidak ada manfaatnya, untuk apa dilakukan atau dipikirkan? Dan disini kita perlu insyaf untuk tak perlu berlebihan mencari alasan mengada-ada seperti mengatasi ketakutan kalau-kalau kita menjadi objek prilaku buruk tersebut. Sebab sikap hati-hati lebih dari cukup daripada memikirkan individu. Karena yang berbahaya bukanlah individual seseorang, tapi prilaku buruk tersebut. Dan prilaku itu bisa dilakukan oleh siapa saja. Entah yang sebelumnya sudah diketahui melakukannya maupun belum.

Mengurusi apa yang menjadi kewenangan Allah

Seorang dai yang popular sebab rekaman pengajiannya populer di Youtube, Gus Baha’, menceritakan adanya fenomena muslim mengurusi apa yang menjadi kewenangan Allah. Salah satunya adalah kejadian yang beliau alami sendiri, adanya suatu masyarakat yang enggan mensalati orang yang baru saja meninggal sebab meminum minuman keras oplosan. Menurut beliau, sikap yang ditunjukkan oleh masyarakat tersebut tidak boleh dilakukan. Karena disolati maupun tidaknya disolatinya seseorang tidak boleh digantungkan dengan keadaan mati orang tersebut, melainkan harus melihat apakah orang itu muslim atau bukan. Demikianlah fiqh Islam mengatur.

Dari sini kita bisa belajar bagaimana tindakan buruk seseorang tidak boleh membutakan kita akan syariat yang berlaku. Apalagi menutup kemungkinan bahwa seusai ia bertindak buruk, ia berbuat baik yang kemudian menghapus dosa dari prilaku buruk yang sudah ia lakukan. Siapa yang tahu orang yang meninggal saat meminum minuman keras, ia tidak sempat mengucapkan kalimat syahadat saat meninggal? Sehingga kita bisa memastikannya meninggal dalam keadaan su’ul khatimah.

Lebih memikirkan kewajiban orang lain daripada kewajiban diri sendiri

Diakui atau tidak, banyak dari kita melakukan hal tersebut. Sebab, kita merasa bahwa kewajiban kita bisa kita lakukan kapan saja dan bagaimana saja sesuai keinginan kita, tapi kewajiban orang lain harus kita awasi. Entah kenapa tiba-tiba kita mengangkat diri kita menjadi pengawas tak resmi, kadang dengan dalih demi kepentingan orang banyak. Lalu, apakah sikap ini dibenarkan oleh agama? Dan bagaimana ia bisa tahu bahwa mengawasi kewajiban orang lain lebih penting daripada mengawasi kewajiban diri sendiri?

Akibat buruk dari lebih sibuk memikirkan kewajiban orang lain daripada diri sendiri akan timbul tatkala kelalaian kita dalam menjalankan kewajiban itu menjadikan kita kurang mempertimbangkan beratnya melaksanakan kewajiban tersebut. Suatu contoh ringan, mengkritik sosok kepala desa yang dalam seminggu ia tidak pernah bisa berjamaah solat subuh selama 7 hari penuh. Padahal si pengkritik sendiri dalam seminggu hanya berjama’ah subuh 1 atau 2 kali. Dan hanya bermodal tindakan 1 – 2 kali ia menafikan beratnya untuk konsisten berjama’ah subuh dan menahan diri dari keinginan-keinginan sesaat seperti solat di rumah. Ia merasa sudah berpengalaman, dan lupa bahwa berjama’ah salat subuh tidak hanya berkutat dengan menahan rasa dingin serta kantuk yang sering menjadi perhatikan kebanyakan orang, tapi juga rasa bosan dan ingin sesekali tidak melakukan hal tersebut

Hal itu belum lagi saat “orang lain” tersebut memiliki medan atau keadaan yang lebih berat daripada si pengkritik. Seperti berjama’ah subuh di area Malang yang memiliki suhu dingin lebih dari daerah sekitarnya akan memiliki tingkat kesulitan yang berbeda dari daerah lain. Dan jangan lupa, Allah tidaklah memandang ibadah seorang muslim hanya dari jumlah ibadah, tapi dari kerasnya usaha yang ia lalui.

Memikirkan sesuatu yang bukan keahlian kita

Kebanyakan dari kita tahu bahwa media sosial seperti facebook selama beberapa tahun ini diisi oleh tanggapan-tanggapan dari orang yang bukan ahlinya. Hanya bermodal semangat membela agama semisal, hal itu menafikan akan pentingnya memiliki pengetahuan yang cukup akan sesuatu yang hendak kita bicarakan. Tentu kemudian yang muncul adalah tanggapan atau perdebatan-perdebatan tak berguna karena argumentasi yang mereka bangun untuk mempertahankan keyakinan mereka tidak didukung oleh data yang cukup.

Sebuah contoh kecil, menanggapi fenomena masyarakat yang melaksanakan salat tarawih super cepat dengan pandangan miring. Padahal pandangan miring itu hanya berdasar bahwa masyarakat tersebut melakukan sesuatu yang tidak seperti umumnya dilakukan. Ia lupa, apakah sesuatu yang tidak lazim akan selalu salah di mata syariat agama?

Memikirkan sesuatu yang belum jelas kebenarannya

Faktor terakhir ini lebih pada tergesa-gesa menerima sekaligus menanggapi informasi yang belum jelas kebenarannya. Tentu ini menjadi tidak berguna saat tahu bahwa infomasi tersebut ternyata adalah kabar bohong.

Lima hal di atas adalah sekian dari hal-hal yang yang sebenarnya tidak perlu kita masukkan ke dalam pikiran, sehingga memebuat kita kelelahan dan justru lalai dengan kebutuhan diri sendiri. Dampak negative dari “kelelahan” tersebut tentu saja sikap emosional yang membuat kita buta dan tuli akan keadaan maupun saran dari orang lain. Sikap emosional ini kemudian mendorong kita untuk melakukan tindakan-tindakan negative tak lazim yang sebenarnya membutuhkan cukup banyak keberanian dalam melakukannya. Seperti melakukan bom bunuh diri.

Lalu bagaimana cara mencegahnya? Tentu saja dengan mengedepankan sikap “bodo amat”. Kita mendorong diri kita untuk lebih perduli pada mengatasi prilaku buruk yang biasa kita lakukan, lebih perduli pada apa yang menjadi kewajiban kita sendiri, pada apa yang menjadi kewenangan kita, pada apa yang kita ketahui, dan pada apa yang sudah jelas kebenarannya. Sehingga diri kita pun sibuk melakukan hal-hal positif. Tidak menganggur dan kemudian “mencari-cari kesibukan” dengan melakukan hal-hal negative.