Banyak anggapan buruk mengenai negara dengan mayoritas Muslim. Salah satu anggapan buruk tersebut adalah kuatnya patriarki di sana. Kuatnya patriarki tentu saja berbarengan dengan terkekangnya kebebasan perempuan. Terlebih, banyak yang menyatakan bahwa hukum Islam tidak menguntungkan perempuan.
Pandangan tersebut umumnya berasal dari negara-negara Barat. Terlebih lagi negara Barat memiliki hegemoni dalam kebudayaan dan pengetahuan di dunia. Dominasi ini membuat perspektif lain menjadi termarjinalkan. Hasilnya adalah hegemoni Barat terus direproduksi dan semakin menguat. Hal ini yang disebut dengan Orientalisme oleh Edward Said.
Salah satu bukti nyata dominasi Barat adalah kuatnya pandangan feminis liberal dan Barat dalam pergerakan feminisme dunia. “Teori feminis adalah sebuah generalisasi mengenai kehidupan sosial dan pengalaman manusia yang dikembangkan dari perspektif terpusat pada wanita” (Ritzer, 2015: 377). Hal ini karena selama ini perempuan dianggap sebagai nomor dua dibanding laki-laki, sehingga feminis berusaha memberi perspektif lain.
Sayangnya feminisme memiliki kelemahan. Salah satunya, diungkapkan Judith Butler dalam Gender Trouble, adalah feminisme mereduksi permasalahan perempuan. Padahal terdapat konteks yang berbeda-beda dalam kehidupan tiap perempuan, termasuk pula konteks kultural perempuan. Hal ini yang disorot oleh Abu Lughod dalam tulisan-tulisannya.
Lila Abu-Lughod adalah profesor antropologi dan direktur dari Institute for Research on Women and Gender di Columbia University. Ia banyak menuliskan mengenai perempuan Muslim. Tulisan Abu-Lughod banyak mengkritisi pandangan feminis Barat. Salah satu tulisannya yang fenomenal adalah “Do Muslim Women Really Need Saving?”.
Dalam tulisannya itu, Abu-Lughod menyatakan bahwa feminis di Barat tidak paham akan konteks perempuan Muslim di Afghanistan. Bersamaan dengan kampanye “War on Terrorism” yang dilancarkan Amerika Serikat, muncul pula feminis-feminis Barat yang bertindak selayaknya pahlawan dan juru selamat bagi perempuan Muslim di Afghanistan. Hal inilah yang dikritik oleh Abu-Lughod.
Feminis Barat menganggap penggunaan burqa oleh perempuan Muslim di Afghanistan sebagai bukti patriarki. Penggunaan burqa dianggap paksaan dari pihak Taliban yang saat itu menguasai Afghanistan. Burqa dianggap sebagai suatu simbol penindasan perempuan yang dilakukan Taliban.
Tetapi, Abu Lughod membantah keras. Ia menegaskan bahwa burqa adalah bagian dari budaya masyarakat Afghanistan. Menggunakan burqa membuat perempuan dapat pergi ke berbagai tempat tanpa terlihat mencolok. Selain itu Abu Lughod menyatakan bahwa penggunaan burqa tidak sama dengan hilangnya hak mereka untuk bertindak. Penggunaan burqa adalah suatu pengaruh kebudayaan mereka sendiri.
Konteks kultur membuat mereka memilih untuk mengenakan burqa. Abu Lughod sebagai seorang antropolog memandang adanya konteks relativisme budaya yang membuat pandangan feminis Barat menjadi bias. Seorang perempuan juga harus ditempatkan dalam konteks budayanya, bukan budaya pengamatnya. Namun, feminis Barat malah melakukan hal yang sebaliknya dan justru menempatkan perempuan Muslim dalam anggapan ideal mereka.
Abu Lughod juga menyatakan bahwa pengunaan pakaian tertutup mengalami perkembangan. Para wanita Muslim terpelajar menggunakan mode pakaian tersebut sebagai tanda kesalehan. Ia mengutip etnografi dari Saba Mahmood (2001) bahwa penggunaan pakaian tersebut sebagai keinginan mereka untuk dekat dengan Tuhan.
Di esai lain, Abu Lughod menulis esai yang membahas hak wanita Muslim. Esai berjudul The Active Social Life of “Muslim Women’s Rights” melihat fenomena di Mesir dan Palestina. Ia melihat bagaimana perempuan di Mesir dan Palestina membentuk NGO (Non-Government Organization) untuk menuntut hak legal mereka dengan menggunakan dalil dalam Al-Quran. Hal ini, disebut oleh Abu Lughod, menunjukkan bahwa yang mengekang mereka bukanlah Islam tapi manusia.
Wallahu A’lam.