Liburan Berkualitas ala Ibnu Arabi

Liburan Berkualitas ala Ibnu Arabi

Liburan Berkualitas ala Ibnu Arabi
ilustrasi abu nuwas

 

Akhir-akhir ini dunia sosial media kita kembali menyuguhkan wajah tak ramah dan tak elok dipandang. Sebuah pemandangan yang dipenuhi dengan perdebatan-perdebatan “tak cukup penting”. Beberapa menit pasca tragedi kudeta Turki kemarin misalnya, sejumlah pegiat sosial media kembali beradu argumen dan terpolarisasi pada dua pihak; pro dan kontra kudeta. Efek dari perdebatan tersebut pada akhirnya menggiring pada membanding-bandingkan presiden Turki dengan Presiden Jokowi.

Melihat fenomena yang terjadi hanya beberapa pekan pasca liburan dan lebaran ini saya termangu. Bertanya-tanya. Ada apa dengan liburan dan lebaran kita kemarin? Apakah kualitas liburan kita kurang mengasyikkan sebagai efek dari kemacetan parah dari tragedi brexit? Apakah lebaran kita juga tidak sempurna? Lebih jauh lagi, apakah maaf-maafan kemarin hanya sekadar seremonial yang tak berbekas dan tak berdampak?

Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana agar kualitas liburan kita menjadi istimewa? Berdampak baik bagi kehidupan kita di kemudian hari? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari kita simak penggalan kisah travelling dari sufi terbesar umat Islam, Syaikhul Akbar Muhyiddin Ibn Arabi.

Adalah Sadik Yalsizucanlar, seorang penulis dari Turki dalam bukunya berjudul The Traveller, mengisahkan dengan baik tentang perjalanan Ibn Arabi. Buku yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Mizan ini bukan hanya merekam kisah travelling Ibn Arabi ke berbagai penjuru dunia. Lebih dari itu, buku ini juga menceritakan perjumpaan-perjumpaan Syaikh al-Akbar Ibn Arabi dengan para filsuf dan sufi besar di zamannya seperti Ibn Rushdi dan Jalaludin Rumi.

Dikisahkan dalam buku tersebut bahwa Ibn Rushdi telah menanti kedatangan Ibn Arabi selama bertahun-tahun. Dalam perjumpaan tersebut, Ibn Rushdi terperangah akan peringai dan semburat cahaya yang muncul dari wajah Ibn Arabi. Hingga membuat Ibn Rushdi termangu dan mampu memulai pembicaraan.

Sang musafir (Ibn Arabi) menghela nafas panjang, memecah keheningan. “Ya,” katanya. Sang filsuf (Ibn Rushdi) mendesah lega. “Ya,” ulangnya, sementara hatinya diliputi kegembiraan. Sudah bertahun-tahun ia menantikan kunjungan Sang Musafir dan ingin mendengar kata (“ya”) tersebut. Kini, dengan harapan yang terpenuhi, ia merasa puas sekaligus bungah. Beban pengharapan telah terlepas dari bahunya. Ia merasa seringan burung. (hlm.2)

Selain perjumpaan dengan Ibnu Rushdi, dalam pelancongannya Ibn Arabi juga berjumpa dengan tokoh-tokoh besar lainnya, seperti filsuf agung Jalaludin Rumi. Khusus untuk yang disebut terakhir ini, Ibn Arabi telah lama berkeinginan untuk menjumpainya.

Dikisahkan, pada saat Ibn Arabi tiba di kota Konya (kota temapat tinggal Rumi), ia berencana untuk menginap di losmen-kafilah Madrasah Altinapa. Rencana Ibn Arabi tersebut didengar oleh Sultan Konya. Sang Sultan mengira Ibn Arabi yang telah masyhur itu tidak mendapatkan perlakuan yang baik, maka sang Sultan menunggu kedatangan Ibn Arabi di gerbang utama kota Konya. Sang Sultan bermaksud menyambut Ibn Arabi dan mengajaknya ke istana untuk menjamunya. Namun apa yang terjadi?

“Ibn Arabi menolaknya. Ia menjawab (ajakan sang sultan), “Madrasah cocok untuk imam, khanakah untuk syaikh, istana untuk sultan, losmen untuk pedagang, pondokan darwis kecil untuk darwis yang terobsesi cinta ilahiah, dan losmen-kafilah untuk orang miskin.” (hlm.307)    

Setelah beberapa hari tinggal di losmen-kafilah, Ibn Arabi berjumpa dengan sang sufi agung Jalaludi Rumi di pekarangan Sahipata.

“Keduanya kaya oleh misteri yang dianugerahkan Allah kepada mereka. Mereka saling berpandangan seakan melihat cermin. Masing-masing melihat dirinya sendiri dalam diri orang yang satunya. Rumi memanggil Ibn Arabi, “sultanku,” dan Ibn Arabi memanggil Rumi, “Sultan yang dicari oleh para sultan.” Selama berhari-hari, mereka saling mengajukan pertanyaan serta menceritakan temuan-temuan dan pencerahan-pencerahan mereka. Semakin banyak bicara, pertanyaan semakin berlipat ganda dan membersihkan mereka. Pertemanan yang bermanfaat berkembang di antara keduanya.” (hlm.307-308)

Penggalan kisah-kisah perjumpaan sang sufi besar dengan sejumlah tokoh besar di zamannya dalam pelancongan-pelancongannya sungguh patut menjadi teladan. Pelancongan yang berkualitas. Bagaimana dengan liburan kita kemarin?