Pagi hingga siang ini, Kamis (15/08/2013), warga memadati jalan Jlamprang Kelurahan Krapyak Kecamatan Pekalongan Utara Kota Pekalongan Jawa Tengah. Deretan pedagang yang membuka kios-kios “tiban” di sisi kanan-kiri jalan kian menambah keramaian itu. Griya-griya penduduk pun tampak riuh oleh kunjungan sanak kerabat yang notabene berasal dari kelurahan atau desa lain.
Kemeriahan ini hanya terjadi sekali dalam setahun, tepatnya pada 8 (delapan) Syawwal Hijriah, sepekan setelah umat Islam melangsungkan perhelatan sakral Idul Fitri. Warga Pekalongan menyebutnya sebagai “Syawalan”. Masyarakat dari segenap kelompok usia tumplek blek memadati jalanan sekadar untuk cuci mata maupun bersilaturahmi dengan sanak kerabatnya yang berada di kelurahan Krapyak.
Salah satu momen yang cukup menarik dari “pesta rakyat” ini adalah pemotongan lopes raksasa. Lopes adalah nama makanan yang bahan utamanya adalah beras ketan yang ditumbuk halus dan diaduk bersama santan. Makanan ini direbus dalam keadaan terbungkus daun pisang dengan ukuran sebesar lontong.
Tak seperti lazimnya yang dibungkus dalam ukuran kecil, lopes yang dibuat untuk perayaan ini berukuran besar dengan panjang dua meter dan lingkaran berdiameter kurang lebih satu meter yang dimasak dengan tungku besar. Biaya pembuatan lopes ditarik dari iuran bersama masyarakat Krapyak. Lopes lantas dipotong kecil-kecil untuk didistribusikan merata ke semua penduduk dan pengunjung. Inilah ciri unik Syawalan yang tidak ditemukan di daerah lain.
Seremonial pemotongan lopes dengan pemotong pertama kali adalah pejabat walikota Pekalongan menjadi semacam acara inti dari pesta ini sekaligus sebagai pembuka dari seluruh rangkaian tradisi syawalan.
Hingga kini penulis belum mendapatkan keterangan valid dari sumber yang berkompeten tentang kapan Syawalan pertama kali dilangsungkan dan mengapa lopes yang dipilih sebagai simbol. Yang terang warga menyatakan tradisi ini telah berlangsung sejak sekian puluh tahun silam.
Dengan penduduk yang hampir 99% memeluk Islam sebagai agamanya dan mayoritas berafiliasi kultural pada Nahdlatul Ulama (NU), gaya hidup masyarakat Krapyak kental nuansa islami. Jika mengikuti narasi besarnya Clifford Geertz (1960), masyarakat Krapyak tepat diklasifikan sebagai masyarakat santri, karena ketaatan mereka dalam menjalankan perintah agama Islam. Dan Syawalan ini merupakan bagian dari ekspresi keberagamaan mereka.
Setelah merayakan Idul Fitri dengan berkunjung ke rumah saudara dan tetangga, makan-minum sepuasnya, dan lain sebagainya, pada hari berikutnya atau tanggal 2 Syawal, tidak serta merta masyarakat Krapyak terhanyut dalam kesenangan ini. Sebagian warga justru kembali menjalankan puasa selama enam hari –hingga tanggal 7 Syawal— yang diyakini memiliki keistimewaan.
Hal ini merujuk pada hadits Rasul yang menyatakan bahwa “Barang siapa yang menjalankan puasa enam hari pada bulan Syawal maka seakan-akan telah menjalankan puasa selama satu tahun.”
Karenanya, jika Idul Fitri yang dilaksanakan setelah puasa sebulan penuh dirayakan ala kadarnya selama sehari, Syawalan, dalam pandangan masyarakat Krapyak menjadi “lebaran kedua” pascaibadah puasa enam hari.
Tanpa menafikan sakralitas "lebaran pertama" alias Idul Fitri, kemeriahan Syawalan lebih terasa daripada “lebaran pertama”. Sebab, bukan hanya dirayakan oleh masyarakat setempat, namun melibatkan ribuan orang dari segala pejuru wilayah di Pekalongan.
Barangkali dalam pandangan kelompok tertentu, pesta rakyat ini akan dikategorikan sebagai bid'ah atau bahkan musyrik, lantaran bisa saja Lopes disakralkan. Tetapi pesta rakyat ini secara ekonomi menguntungkan bagi kelompok grass root. Selain itu di dalamnya juga ada unsur penguatan tali silaturahim. Selain itu masyarakat Pekalongan tidak pernah menyebut Syawalan sebagai ritus ibadah. Tradisi ini hanya ekspresi budaya yang berkelit kelindan dengan ekspresi keagamaan.