Lebaran kali ini saya pulang lebih awal. Dua minggu sebelum lebaran saya sudah di rumah. Alhamdulillah, sekarang saya pengangguran. Walhasil tak perlu lebih lama menjadi Homo Ciputatensis yang menghabiskan Ramadan dengan menggantungkan sahur pada nasi bungkus Wajung Pojok langganan dan mengisi ngabuburit dengan kemacetan yang tak bakal khatam. Tidak juga mesti membusuk berlebaran di Ciputat seperti tiga tahun yang lalu.
Sebaliknya, saya bisa menikmati masakan rumah khas ibu saya, meskipun sederhana, setiap sahur dan berbuka. Bisa tarawih berjamaah dengan seluruh keluarga di mushola dekat rumah. Dan bisa kembali melakukan Tinjau, yang sudah empat tahun ke belakang saya absen.
Tinjau adalah sebuah budaya di kampung saya, yakni mengunjungi sanak saudara yang lebih tua setiap kali menjelang lebaran dengan membawa makanan atau kebutuhan pokok sebagai oleh-oleh. Meskipun, yang lebih diutamakan tentu saja silaturahminya.
Akibat absen selama empat tahun, saya punya beban moril yang berat. Banyak pakde, bude, pak lik, bu lik hingga mbah de atau mbah lik saya yang menanyakan. Karena, sepanjang sebelum menjadi Homo Ciputatensis, saya termasuk yang tak pernah absen. Bukannya sombong, tapi kegiatan ini memang saya anggap sangat penting. Mengingat, dalam setahun mungkin hanya pada kesempatan ini saya bisa merasakan hangatnya silaturahmi.
Ada tiga tujuan utama: satu mbah dan dua pakde, dan dua tujuan sekunder: dua sepupu yang baru menikah, pada Tinjau tahun ini. Tidak terlalu banyak seperti tahun-tahun sebelumnya, sebab sudah banyak kerabat tua yang wafat. Dan bagi mereka, saya meninjaunya ke pesarean mereka.
“Kamu tumben kok bisa tinjau?” Pertanyaan seperti itu yang pertama ditujukan saat Tinjau. Lalu menyusul pertanyaan tentang kabar dan hal-hal lain. Sungguh saya merasa sangat asing. Rasanya menyedihkan.
Namun kesedihan itu segera hilang, tatkala terpikirkan betapa terasingnya mereka di usia tua bila yang muda tak mau menyambangi. Keterasingan yang lama hingga maut menjemput. Sedangkan keterasingan saya hanya sesaat, hanya sebagai buah dari kecemasan.
Lebaran memang saatnya melebur satu sama lain. Tua, muda, kaya, miskin, semua melebur dalam kemenangan dan kebahagiaan yang sama. Tak ada yang merasa ditinggalkan, terasing dan merasa kalah. Dan Tinjau, bagi saya, adalah sebuah cara melebur.
Saya pikir Tinjau juga menguatkan makna lebaran sebagai sebuah hari raya kemanusiaan, seperti halnya kata Nurcholis Majid. Sebab inti dari kemanusiaan adalah memanusiakan manusia. Tidak membiarkan seseorang menjadi liyan (other) di tengah sebuah kumpulan, hanya karena merasa lebih terbatas dari yang lain.
Lebih dari itu, Tinjau juga mengajarkan cara balas budi. Darah muda yang kata Bung Rhoma berapi-api itu, yang kerap merasa paling kuat dan paling benar, mestilah sadar bila suatu saat akan menjadi tua juga. Mesti sadar juga bila kekuatan mereka pun tak lepas dari peran (kasih sayang dan pengorbanan) mereka yang lebih dulu hidup. Sehingga menundukkan diri di hadapan yang tua menjadi sebuah keharusan.
Apapun itu, lebaran sudah di depan mata dan tanggung jawab Tinjau saya sudah rampung. Tak ada yang tertinggal satu pun. Akhirnya saya bisa mengucap selamat jalan pada Ramadan dengan senyum yang sedikit lebih lebar, walau hati tetap tak rela ditinggal bulan penuh rahmat ini. Minal aidzin wal faizin~
Foto di sini