“I can’t breathe!” ucap seorang pria kulit hitam berusia 46 tahun di kota Minneapolis, Amerika Serikat. Pria paruh baya itu lehernya ditindih di aspal bersebelahan dengan ban belakang mobil Patroli oleh dengkul seorang polisi berkulit putih. Setelah mengerang kesakitan, ia akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya.
Kisah itu saya tonton melalui video yang beredar luas di media sosial. Pria Afrika-Amerika itu bernama George Floyd, sehari-hari ia bekerja sebagai petugas keamanan sebuah restoran di kota Minneapolis. Di mata tetangga, ia dikenal baik. Ia ditangkap karena dituduh bertransaksi dengan uang palsu sejumlah 20 dolar. Ia kemudian ditindih lehernya di aspal, meski ia sudah menyerah dan tak bersenjata.
Peristiwa itu merupakan sebuah tragedi kemanusiaan, kejam, dan layak kita kutuk sedalam-dalamnya. Tragedi itu lahir tak hanya disebabkan oleh sebuah tindakan yang menyalahi aturan hukum. Lebih dari itu, ia lahir dari pikiran sempit yang secara mendarah daging menjangkit sebagian penduduk negeri Paman Sam, yakni rasisme kepada warga negara kulit hitam.
Pada mulanya, negeri adidaya itu merupakan wliayah yang ditinggali oleh penduduk asli Indian. Kemudian, setelah wilayah itu ditemukan oleh para pelayar dari Eropa, hingga akhirnya berbondong-bondong datang gerombolan manusia Anglo-Saxon berkulit putih dari Inggris Raya untuk berkoloni di sana.
Pada zaman itu, Inggris Raya sedang pongah-pongahnya sebagai sebuah kerajaan penjajah global. Bahkan, pada abad 19 masehi ada sebuah diktum yang menggambarkan kedigdayaan “British Empire” itu, yakni “Matahari tak pernah terbenam di Kerajaan Inggris Raya.” Kerajaan itu menjajah hampir separo bagian bumi ini, membentang dari India hingga Amerika Latin, di sana Ratu Elisabeth berkuasa.
Penduduk Anglo-Saxon dari Inggris yang datang ke wilayahnya suku Indian itu sebenarnya tak sepenuhnya mewakili dari kerajaan, bahkan sebenarnya mereka datang untuk mendambakan sebuah tanah kebebasan dan kemerdekaan dari pemerintahan feodal ala kerajaan penjajah yang dipimpin Ratu Elisabeth itu.
Namun, di balik kemerdekaan hidup para Anglo-Saxon ini, mereka menyingkirkan suku asli Indian. Anglo-Saxon yang didik di Inggris Raya dengan kebudayaan modern yang mulai merekah itu, kemudian menganggap suku Indian ini sebagai manusia yang tak beradab dan memandang rendah kepadanya laksana binatang.
Begitulah asal mula bagaimana rasisme itu muncul di negeri penuh kebebasan itu. Meski belakangan banyak datang orang-orang dari Afrika yang juga berkulit hitam, suku Hispanik dari Amerika Latin yang berkulit kuning dan berbagai suku lain dari Asia dan segala penjuru. Namun, rasisme tetap saja bercokol dipikiran Anglo-Saxon itu. Anglo-Saxon berkulit putih dan selain itu berkulit berwarna: hitam dan kuning.
Anglo-Saxon paling awal menjadi bagian pembentuk negara dan paling awal membuat berbagai lini usaha, akhirnya mereka punya akses kekuasaan dan ekonomi yang lebih baik dibanding dengan penduduk suku lain yang datang belakangan.
Rasisme itu semakin parah setelah belakangan ada trend kedatangan para pengungsi dari Timur Tengah akibat perang. Para Anglo-Saxon ini takut lini kekuasaan dan usahanya terenggut oleh pendatang. Ketakutan itu menyebar luas diantara para kulit putih dan puncaknya adalah terpilihnya seorang Donald Trump, presiden paling kontroversial dalam sejarah Amerika Serikat.
Pria kulit putih itu selama kampanye selalu mendengung-dengungkan “American First” dan “Make American great again” untuk mendulang suara dari penduduk Anglo-Saxon yang sedang resah itu. Trump yang didukung oleh Partai Republik, partai yang aspirasi politiknya sangat konservatif dan pro rasis kulit hitam itu, akhirnya menang.
Kemenangan Trump itu mengukuhkan santimen rasisme di Amerika, para pendukung “white supremacist” semakin pongah. Dan itu berbanding lurus dengan semakin maraknya kasus penyerangan dan pembunuhan kepada warga kulit hitam. Narasi TV mencatat ada 5 warga kulit hitam yang tewas sejak Oktober 2019 hingga saat ini.
Peristiwa pembunuhan George Floyd merupakan sebuah tragedi kemanusiaan. Kejadian itu menyakiti hati nurani kita bersama dan perlu kita suarakan kalau demikian itu adalah kejahatan. Floyd tidak sendiri, kita bersama Floyd dengan mengutuk kejadian itu, tentu saja kita juga bersama para demonstran di Minneapolis yang saat ini sedang membara sembari meneriakkan kata-kata yang sama dengan Floyd “I can’t breathe!”
Kita dari Indonesia juga mesti satu suara bersama mereka. Kedukaan kita sama halnya seperti yang disuarakan oleh musisi Justin Bieber: “This is must stop. This makes me absolutely sick. This makes me angry this man DIED. This make me sad. Racism is evil, we need to use our voice! Please people. I’m sorry GEORGE FLOYD.” [rf]