Lawan Narasi Intoleran dan Anti Kebangsaan di Ruang Maya

Lawan Narasi Intoleran dan Anti Kebangsaan di Ruang Maya

Narasi intoleran belakangan ini marak di ruang maya–sosial media. Lalu, apakah kita tinggal diam bila melihat narasi-narasi tersebut.

Lawan Narasi Intoleran dan Anti Kebangsaan di Ruang Maya

Mengapa pembakaran bendera HTI oleh oknum Banser sangat viral hingga hari ini? Peristiwa tersebut diidentikkan dengan pelecehan terhadap kalimat tauhid dan panji liwa serta rayahnya Rosul. Peristiwa ini memancing aksi demonstrasi dan menuntut pembelaan kalimat tauhid dan panjunya Rosul oleh golongan-golongan umat islam tertentu. Sebenarnya apa yang terjadi?

Kalau kita ingat aksi 212 atau 411 yang dilakukan waktu itu, model dan kronologinya mirip-mirip dengan aksi bela tauhid. Mekipun pergerakan dan jumlah massa tidak semasif aksi 212 dan 411, tapi cukup menjadi peringatan dan tamparan keras bagi kita semua, bangsa Indonesia khususnya umat Islam agar sadar bila pihak-pihak yang ingin mengganti sistem negara dan pancasila (khususnya golongan Islam garis keras atau radikal menpunyai pengaruh yang ukup kuat).

Kalau kita jeli melihat, aksi-aksi tersebut ditunggangi para agen-agen Islam radikalis. Kamu bisa lihat kembali secara teliti atau riset kecil-kecilan bila ternyata para agen Islam garis keras telah menyemai pengaruhnya. Bahkan mereka sudah tidak segan membawa symbol-simbol mereka ketika melakukan aksi.

Kita selami dulu, sebenarnya apa motivasi mereka melakukan agenda-agenda radikalisme temasuk ingin mengganti sistem negara dan pancasila. Meurut Buya Syafi’i Ma’arif, Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, dalam buku Ilusi Negara Islam, setidaknya ada tiga teori yang menyebabkan adanya gerakan radikal dan tumbuh suburnya gerakan transnasional ekspansif.

Pertama terorisme atau radikalisme terjadi sebab pelarian kaum muslimin tertentu karena gagal menghadapi arus modernitas. Lalu, mencari afirmasi dari teks agama. Sehingga melahirkan pemahaman terhadap teks-teks agama secara rigid, tidak melihat historis, asbabun nuzul dan konteksnya sehingga memicu pemahaman yang sempit dan radikal. Ini sangat berbahaya bagi kelangsungan si pemeluk agama dan agama itu sendiri. Sebab pemahaman yang sempit bisa melahirkan terorisme. Dan terorisme dikutuk dunia. Alhasil nama Islam buruk di mata dunia.

Kedua, sebagai bentuk kesetiakawanan dan solidaritas yang sempit serta eksklusif terhadap sesama Islam (negara Islam). Mengingat negara-negara muslim seperti Timur Tengah banyak yang menjadi korban keberingasan negara barat. Berawal dari seperjuangan dan solidaritas yang sempit serta eksklusif orang-orang tadi melakukan pembenaran tindakan radikal hingga terorisme.

Dan yang terakhir, karena ketidakpuasan terhadap kinerja aparatur negara maupun sistem negara yang tidak kunjung juga mengentaskan kemiskinan dan menciptakan kedamaian bagi warga negara. Alih-alih menciptakan kesejahteraan yang terjadi justru sebaliknya, hilangnya mata pencaharian dan minimnya lapangan kerja di era globalisasi ini. Yang miskin semakin miskin dan yang kaya semakin kaya.

Dasar-dasar teori penyebab munculnya radikalisme hingga terorisme ini dapat kita jadikan acuan sebagai kerangka berpikir kita. Nyatanya fenomena-fenomena seperti modernitas, solidaritas sosial sesama umat Islam hingga belum sesuainya kinerja pemrintah terlebih dalam menyejahterakan rakyat terjadi pada masa-masa ini. Akan tetapi sebagai bentuk respon tehadap fenomena-fenomena tadi kemudian kita menjadi radikal bahkan melakukan teror hingga ingin mengganti sistem dan dasar negara tentu bukan cara yang bijak dan dapat dibenarkan.

Penulis jadi teringat dengan cerita yang disampaikan Pak Hamli, seorang direktur pencegahan terorisme BNPT saat ia mengikuti sebuah acara yang di dalamnya hadir ulama-ulama MUI dan para pemuda. Beliau ditanya oleh seorang ulama MUI, bukankah sebenarnya radikalisme dan terorisme terjadi karena konspirasi global.

Ia berusaha menjelaskan karena beliau takut yang hadir waktu itu banyak juga anak muda akan memahami radikalisme dan terorisme merupakan bagian konspirasi global. Dulu saat terjadi perang Afganistan dengan Uni Soviet, Amerika membuat propaganda bila perang Afganistan melawan Uni Soviet adalah perang Komunis melawan umat Islam. Karena sejujurnya Amerika takut bila Uni Soviet menang paham komunis akan menjalar ke negara-negara Asia.

Akhirnya propaganda dan provokasi Amerika berhasil. Umat Islam dari berbagai belahan datang ke Afganistan dengan motivasi untuk berjihad melawan komunis. Bahkan tidak sedikit yang berasal dari Indonesia.

Nah, bagaimana kasus pembakaran bendera HTI yang diidentikkan dengan pembakaran kalimat tauhid bahkan panji Nabi yang berupa Liwa dan Royah? Narasi-narasi yang dibuat terutama di media maya yang berafiliasi terhadap kelompok Islam garis keras banyak yang demikian. Sehingga ini mendorong umat Islam yang tidak tahu-menahu menjadi terprovokasi dan ikut mengecam. Dampaknya apa bagi bangsa dan negara? Kalau peristiwa seperti itu sering dipakai buat provokasi dan propaganda tidak menutup kemungkinan negara kita akan sama dengan Timur Tengah. Ini tidak berlebihan.

Masih menurut Pak Hamli, orang-orang seperti mereka (Islam garis keras) menyasar golongan umat Islam yang rentan atau mengambang (atau dapat disitilahkan umat Islam yang polos). Mereka berusaha merangkul dan meraih simpatik pada golongan umat Islam yang rentan atau mengambang dengan narasi-narasi yang sudah digoreng sedemikian rupa. Efeknya nanti umat-umat Islam dibuat terpecah belah dan bertentangan. Sel-sel umat Islam yang sebelumya tidur dibangunkan.

Jangan memandang golongan umat Islam garis keras sepele. Walaupun salah satu mereka seperti HTI sudah masuk organisasi massa yang dilarang. Peristiwa aksi bela tauhid yang kemudian banyak diarahkan ke dalam gerakan aksi politik ini menjadi bukti, sekalipun sudah dilarang sel-sel mereka masih hidup. Bahkan narasi-narasi yang anti terhadap kebangsaan masih tumbuh subur di ruang maya kita. Apakah hal ini masih kita biarkan saja?

Ahmad Solkan, penulis adalah alumni PP at-Taslim Soditan Lasem Rembang dan saat ini melanjutkan kuliah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta serta aktif di LPM Paradigma UIN Sunan Kalijaga