Lawan Corona dengan Shalat Berjamaah di Masjid, Tepatkah Ajakan Ini?

Lawan Corona dengan Shalat Berjamaah di Masjid, Tepatkah Ajakan Ini?

Lawan Corona dengan Shalat Berjamaah di Masjid, Tepatkah Ajakan Ini?

Islam itu mudah, jangan dipersulit. Ini Nabi sendiri yang mengatakannya. Ada banyak keterangannya dalam hadis, silahkan dibaca sendiri. Salah satunya, Nabi mengatakan, “Siapa yang mempersulit agama, dia akan kalah” (HR: Bukhari). Maksudnya bagaimana? Islam menawarkan banyak kemudahan, sehingga kalau ada yang mempersulit, dia akan bosan dan capek sendiri. Misalnya, kalau shalat wajib ngak bisa berdiri, dibolehkan duduk, tapi kalau ngak mampu berdiri, tapi dipaksakan berdiri, orang yang melakukan itu akan capek sendiri dan pada akhirnya dia juga akan memilih kemudahan di dalam beragama.

Tapi anehnya sekarang, sebagian orang justru suka yang sulit-sulit, bukan malah milih yang mudah. Kesannya, semakin susah dan payah beribadah keimanannya dianggap paling tinggi. Contoh, kalau kebakaran dan gempa bumi, maka orang yang tetap melanjutkan shalatnya dianggap lebih tinggi imannya, ketimbang orang yang membatalkan shalat untuk menyelamatkan dirinya. Tak jarang orang membatalkan shalat demi menyelamatkan diri itu dihina dan dicemooh, “Kok kamu batalin shalat, kamu lebih takut gempa dibanding Tuhan?”

Padahal yang menyelamatkan diri justru lebih benar secara Islam. Karena menyelamatkan nyawa, meskipun dalam kondisi beribadah, itu lebih diutamakan. Sebab tujuan utama syariat Islam adalah menjaga nyawa manusia. Menurut saya, orang yang tetap shalat, padahal dia tahu lagi kebakaran dan gempa bumi, dan dia sadar kalau dia tidak membatalkan shalatnya bahaya akan menimpa dirinya, itu orang yang tidak mengerti agama.

Dulu ada seorang sahabat yang sedang shalat, kemudian untanya kabur. Dia membatalkan shalat dan langsung mengejar untanya. Orang-orang mencemooh, “Dia membatalkan shalat demi mengejar untanya”. Sahabat itu langsung kaget, “Seumur-umur baru kali ini saya dikomentari kayak gini”. Karena sudah lama bergaul dengan Rasulullah, sahabat ini memperkirakan andaikan Rasulullah ada, maka yang dilakukannya itu tidak salah. Sebab, rumahnya sangat jauh, kalau dia tetap melanjutkan shalat, perjalanan pulangnya makin lama dan bagaimana nasib keluarganya nanti kalau terlambat pulang.

Apa yang dilakukan sahabat Nabi ini dibenarkan secara hukum islam. Karena menolak kemudharatan itu lebih diutamakan ketimbang mengambil kemaslahatan, atau dalam kaidah lain, mengambil kemaslahatan yang lebih besar itu lebih diutamakan dibanding mengambil kemaslatan yang lebih kecil dalam situasi tertentu.

Contoh lain, dalam hadis riwayat Abu Daud dikisahkan, ada seorang sahabat yang tubuhnya terluka, kemudian dia mimpi basah. Dia bertanya kepada sahabat lain, “Apakah saya boleh tayammum?”. Sahabat yang ditanya menjawab, “Kami tidak melihat ada keringanan padamu”. Sahabat yang terluka itu akhirnya mandi, dan meninggal. Mendengar kejadian ini, Rasulullah marah, dan berkata, “Kalian telah membunuhnya. Kalau kalian tidak tahu, lebih baik bertanya dulu. Karena sebetulnya dia boleh tayamum.” (HR: Abu Daud)

Sebenarnya, masih banyak contoh lain dalam hadis-hadis Rasulullah terkait nyawa manusia lebih didahulukan ketimbang ibadah formal. Ini bukan berati kita mendahulukan nyawa, ketimbang Allah. Bukan seperti itu pemahamannya. Mengerjakan ibadah itu ada banyak alternatifnya, ada banyak keringanannya, tapi kalau nyawa kita hanya diberi satu kali. Jangan sampai lantaran kurangnya pengetahuan kita terhadap agama, itu merusak diri kita sendiri dan mencelakakan orang lain.

Karena itu, sangat disayangkan bila ada orang yang mengatakan, “Takut kepada Allah, jangan takut kepada Corona”, “Lawan Corona dengan shalat berjamaah di masjid”, dan himbauan serupa lainnya. Himbauan seperti ini menunjukkan orang yang mengatakannya tidak paham mendalam soal Islam.

Kalau memang pakar kesehatan sudah merekomendasikan agar kegiatan berkumpul dengan banyak orang, termasuk shalat berjemaah di masjid, bahkan shalat Jum’at sekalipun, perlu dibatasi, kenapa kita masih tetap saja ngotot untuk melakukannya? Sementara di dalam Islam ada banyak keringanan dan kemudahan. Apalagi para ulama, tidak hanya di Indonesia, tapi juga di belahan dunia lainnya, sudah mengeluarkan fatwa boleh shalat Jum’at diganti dengan shalat Dzuhur di wilayah yang terkena Corona, dan untuk sementara shalat di rumah lebih baik di masjid.

Apakah orang yang mengeluarkan pernyataan itu nanti bertanggung jawab kalau virusnya menyebar ke mana-mana? Apalagi sampai memakan korban. Merujuk pada hadis tadi, kalau ada orang yang mati karena kebodohan kita, itu sama saja dengan membunuhnya. Mari kita berhati-hati mengeluarkan pernyataan, apalagi kalau bukan ahli di bidangnya.