Penghargaan diberikan kepada Latifa ibn Ziaten, seorang perempuan yang getol lawan radikalisme di Perancis. Bersama dengan Sekjen Perserikatan Bangsa–Bangsa, Antonio Guterres ia menerima penghargaan Zayed Award for Human Fraternity atas perjuangannnya melawan radikalisme utamanya kepada kaum muda.
Penghargaan Zayed Award for Human Fraternity terinspirasi oleh Dokumen Persaudaraan Manusia, yang ditandatangani oleh Imam Besar Al-Tayeb dan Paus Francis pada 4 Februari 2019 di ibu kota UEA.
Latifa Ibn Ziaten dikenal sebagai aktivis perdamaian di Perancis. Perempuan asal Maroko ini gencar mempromosikan moderasi beragama dan berkampenye kepada anak muda. Latofa adalah pendiri Yayasan Imad Ibn Ziaten untuk perdamaian. Yayasan yang dibangunnya bertujuan untuk membantu kaum muda di daerah tertinggal dan mempromosikan dialog antar agama dan melawan radikalisme di Perancis.
“Upayanya dan berdedikasinya yang mendorong kaum muda dan mempromosikan saling pengertian, yang timbul dari tragedi pribadi yang sangat besar, Itulah yang membuat dia dikagumi ,” ungkap Antonio Guterres.
Namanya Latifah mencuat setelah putra pertamanya bernama Imad wafat di tangan teroris Mohamed Merah dalam rangkaian penembakan di kota Toulouse dan Montauban di barat daya Prancis antara 11 dan 22 Maret 2012. Putranya adalah seorang tentara Perancis.
Sang pembunuh adalah warga negara Prancis asal Aljazair yang memproklamirkan dirinya sebagai jihadis. Kala itu Merah membunuh tujuh orang, termasuk tiga anak, dan melukai lima lainnya sebelum dia dibunuh oleh polisi setelah pengepungan di apartemennya.
Ketika Ibn Ziaten mengunjungi Les Izards di Toulouse, tempat Merah tinggal, Latif terkejut. Ia menemukan sekolompok anak muda memuji si pembunuh sebagai pahlawan Islam. “Saya mendapat kesan mereka membunuh anak saya lagi.”
Kemudian Latif berpesan “ Kamu adalah penyebab penderitaan saya, tapi saya ingin mengulurkan tangan. Aku ingin membantumu,” katanya saat itu.
Namun salah seorang dari mereka berkata, “Kami sudah mendengar ini berkali-kali dan kami tidak percaya lagi.”
Kejadian tersebut kemudian menjadi titik balik Latifa. Ia mengambil tindakan positif dan memutuskan untuk bertindak melawan radikalisasi. Yang membuatnya tidak menyerah pada keadaan dan kebencian adalah cinta tanpa syarat untuk putranya. Ziaten mengatakan bahwa dia memiliki lima anak, “Tetapi dengan kematian Imad, saya kehilangan separuh dari saya.”
Sejak saat itu Latifa Ibn Ziaten pantang menyerah melakukan upaya mencegah kaum muda tebak dalam radikalisasi. “Ada banyak sekali pekerjaan yang harus dilakukan dengan kaum muda dari pinggiran kota, di Prancis, tetapi juga di Eropa,” kata perempuan yang lahir 1 Januari 1960 ini.
Pada tahun 2016 pada peringatan kematian putranya, Latifa dianugerahi Légion d’honneur oleh presiden Perancis Francois Hollande. Latif juga pernah dicalonkan untuk hadiah Nobel Perdamaian oleh L’Hospitalité d’Abraham, sebuah organisasi berbasis di Lyon yang didedikasikan untuk dialog antaragama, terutama antara Muslim dan Kristen.