Sudah bukan hal aneh jika kita gaduh akan hal-hal yang tidak substansial terkait hidup beragama. Belum lama ini kita dihebohkan dengan MUI mengharamkan menamakan makanan dengan nama-nama setan, pocong, jin dan semacamnya.
Sekarang para pejabat dihimbau untuk tidak mengucapkan salam semua agama oleh MUI Jatim, dengan argumen bahwa salam adalah doa, dan doa adalah ibadah, maka salam dengan cara agama lain adalah perilaku bidah dan syubhat dan membuat Allah murka.
Perlu kita ketahui, ada dua macam ibadah, Ibadah mahdah, Ibadah yang secara khusus memiliki syarat dan rukun, seperti shalat dan haji, dan Ibadah ghair mahdah, alias ibadah secara umum, senyum adalah ibadah, membersihkan rumah juga ibadah, termasuk juga berdoa, berdoa adalah ibadah umum, kita boleh mendoakan siapa saja.
Salam, sebagai fungsi utamanya, adalah untuk menyapa, Assalamualaikum bisa terasa terlalu eksklusif bagi non-muslim, maka dari itu salam dari agama lain menjadi opsi, agar umat lain merasa dianggap, diakui dan dirangkul. Kita tidak bisa menyangkal bahwa eksklusivisme dalam kehidupan umat Islam sudah mulai terlalu mencolok bahkan di kalangan umat muslim sendiri, enggan berteman dengan yang belum “hijrah” misalnya.
Beberapa tahun belakangan isu kemaslahatan sosial dan isu agama seringkali menjadi bahasan sensitif yang memicu konflik. Ilusi murka Allah dan laknat malaikat sering juga jadi motivasi, padahal tidak ada Nabi di antara kita, siapa yang bisa menjadi juru bicara malaikat dan Tuhan sekarang ini? Bukankah Allah, Tuhan kita yang Maha Penyayang itu menyayangi semua makhluknya?
Apa iya kita menjamin kemurkaan-Nya karena kita menyapa dan menyalami sesama manusia dengan keyakinan mereka untuk menghormati. Allah itu Maha Kuasa dan Maha Agung, tidak ada yang bisa menyakiti-Nya, sedangkan manusia hanya makhluk fana berjiwa rapuh yang kita sama-sama harus saling menjaga. Mau sampai kapan kita bertengkar atas nama Tuhan yang Maha Penyayang dengan cara kita yang penuh benci? Kapan kita akan mulai mengamalkan litaarafuu? (Q.S 49:13)
Allah tidak akan tersakiti dengan salam agama lain, keimanan kita juga tidak akan berkurang (karena menghargai pemeluk agama lain dengan salamnya), kemaslahatan hidup bersama menjadi fokus utama untuk kita, apalagi setelah banyaknya konflik yang dipicu masalah agama yang biasanya dimulai dari hal sepele.
Meskipun Tuhan Maha Segalanya, kita manusia diciptakan berakal, kita bisa menyakiti dan tersakiti, kita bisa meributkan dan mendamaikan. Tuhan tidak perlu kita lindungi, Dia pelindung alam semesta, kita yang perlu melindungi sesama.
Perihal salam dan sapa ini, rasanya tidak esensial untuk dipermasalahkan, masih banyak permasalahan lain yang lebih layak mendapatkan perhatian kita untuk melestarikan perdamaian. Jadi rindu Gus Dur, yang pernah bilang selamat pagi pun bisa jadi sama saja dengan Assalamualaikum. Jangan sampai kita terlalu terobsesi dengan identitas keislaman sehingga melukai kemanusiaan.
Wallahu a’lam.