Larangan Ngopi Semeja dengan NonMuhrim: Lagi, Agama Dipolitisasi

Larangan Ngopi Semeja dengan NonMuhrim: Lagi, Agama Dipolitisasi

Bagaimana bisa larangan ngopi semeja dan begitu tidak menghargai perempuan itu terjadi di bumi Aceh

Larangan Ngopi Semeja dengan NonMuhrim: Lagi, Agama Dipolitisasi
Ilustrasi: www.triptrus.com

Aneh betul peraturan yang dikeluarkan Bupati Bireuen, Saifannur. Warung kopi, cafe dan restoran di daerahnya harus sesuai dengan syariat Islam. Saya tidak tahu syariat Islam yang mana yang dia maksud. Kalau syariat adalah melarang laki-laki dan perempuan makan dan minum satu meja kecuali bersama muhrimnya, maka itu hanya satu pandangan fiqh saja. Satu syariat (jalan) saja dari banyak jalan beragama. Satu saja dari beragam suara ulama memandang masalah ini.

Aneh betul. Sebab seperti yang disebutkan KH Faqihuddin Abdul Kodir, sekelas Imam Malik (fuqoha, gurunya Imam Syafi’i) saja membolehkan seorang perempuan makan atau minum bersama laki-laki yang bukan mahram. Dengan catatan, hanya jika kegiatan tersebut lumrah terjadi di masyarakat.

Kita semua sudah mafhum bahwa di Indonesia, termasuk di Aceh sekalipun, hal demikian lumrah adanya. Laki-laki dan perempuan makan bersama dengan siapapun. Ini sudah biasa terjadi dan tidak bertentangan dengan moral publik.

Nah, kalau Imam Malik saja membolehkan, lha kok ini pejabat negara kelas kabupaten yang belum tentu mafhum tentang ajaran agama, berani sekali mengeluarkan peraturan dengan mengatasnamakan agama. Sungguh gegabah.

Jadi apa yang sebenarnya terjadi? Lalu saya pun menduga-duga, jangan-jangan ini hanya masalah politik saja. Tak ada sangkut pautnya dengan agama. Tapi memang agama kerap kali dieksploitasi, diperas-peras, menjadi jalan pintas bagi politisi untuk meraih simpati publik.

Kalau iya, yang model begini saya sudah tidak aneh lagi. Saya pun mencoba membaca peristiwa geger-geger ‘ngopi semeja’ di Bireuen, Aceh ini dengan jalan sedikit memutar. Semoga pembaca tetap setia saya ajak muter-muter dulu.

Diakui atau tidak, dalam hidup bernegara, dengan sistem demokrasi, agama memang tersudut dalam ruang gelap. Ini tidak lepas dari role model demokrasi yang dipraktikkan di Barat yang kemudian diadopsi mentah-mentah Indonesia semasa Orde Baru. Agama hanya boleh ada di dalam urusan personal warga, di ranah privat. Pemerintah dan negara, sebagai institusi publik, tidak boleh membawa-bawa agama ke dalam wilayahnya.

Tugas pemerintah adalah mengayomi dan melindungi seluruh warganya, apapun agamanya. Peraturan yang dibuat oleh pemerintah adalah demi kesejahteraan untuk semua warganya, tanpa pandang apa agamanya. Pemisahan dua kutub antara agama dan negara ke dalam ruang privat dan publik ini lazim disebut sekulerisme.

Sekulerisme yang kaku seperti demikian sejatinya mengandung masalah serius. Agama, sebagai sebuah keyakinan tidak mungkin dilepaskan dari individu warga. Dan pembatasan agama pada ruang privat sama saja dengan memaksa para pemeluk agama untuk absen dari pembangunan bangsa. Orde Baru telah lama tumbang, tapi ekses-ekses negatif sekulerisme yang kaku masih kita rasakan bahkan sepertinya akan mencapai puncak dalam waktu yang tak lama lagi.

Mereka tidak bisa menjadi masyarakat yang baik menurut ajaran agamanya dan berkontribusi bagi bangsanya. Lama-lama, pemeluk agama pun gerah. Agama membutuhkan ruang untuk membuktikan pada publik bahwa ajarannya masih bekerja dengan baik. Bahwa ajaran-ajarannya benar-benar mempunyai manfaat di tengah kehidupan. Tanpa itu, agama bukanlah agama.

Kita tidak sendirian. Negara-negara Barat seperti Jerman, Prancis, Amerika Serikat, dan lainnya juga sedang mencari titik seimbang baru. Saat imigran dari Timur Tengah membanjiri negara mereka, agama pun tidak bisa lagi mereka isolasi dalam penjara ‘wilayah privat’. Tapi kita pun tidak bisa melepaskan begitu saja agama ke ruang publik. Orang Eropa yang mengalami perang saudara yang berdarah-darah paham betul betapa bahayanya jika agama masuk ranah publik. Agama menjadi mudah dipolitisasi segelintir kelompok kepentingan.

Pada zaman ini, masyarakat dunia memang benar-benar membutuhkan cara-cara baru untuk menjembatani dua kutub ekstrem antara sekulerisme yang tidak mengakui peran penting agama dengan populisme-agama yang mengabaikan cita-cita demokrasi.

Orang-orang di Jerman misalnya, sudah menyadari tentang pentingnya wacana Pos-Sekulerisme. Mereka berusaha menyudahi sekulerisme yang kaku dan membuka ruang-ruang dialog baru antara negara dan agama. Lalu apakah kita sebaiknya meniru gerak perubahan seperti yang dilakukan orang-orang Jerman tersebut?

Tidak usah pergi terlalu jauh untuk mencontoh bangsa dengan dinamika sosial-budaya yang amat berbeda dengan kita. Nyatanya ada banyak contoh menarik yang bertebaran dalam khazanah pengetahuan Nusantara. Coba tengok misalnya dari cara Walisongo membuka ruang-ruang dialog baru, saat mereka mengajarkan Islam di bumi pertiwi. Mereka tidak memberangus budaya yang sudah ada, tapi kemudian memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam sistem budaya tersebut.

Wayang kulit yang amat digemari waktu itu tidak lalu dilarang, meskipun Walisongo tahu persis bahwa kesenian ini amat kental dengan budaya Hindu-India. Wayang tidak dilarang, bahkan ia diperkaya dengan cerita-cerita yang lebih atraktif. Struktur cerita wayang tidak diubah hanya beberapa bagian saja yang dirombak agar tidak bertentangan dengan Islam.

Drupadi dalam cerita Mahabharata dari India merupakan perempuan dengan lima orang suami. Dia adalah istri dari kelima kesatria Pandawa. Dalam cerita wayang versi Islam, Drupadi adalah istri dari (hanya) seorang lelaki bernama Yudistira. Sebab Islam tak mengenal poliandri. Bagian kecil cerita memang berubah tapi substansi ajaran moral dalam wayang bekerja dengan baik. Walisongo pun sukses dengan gemilang.

Itu contoh paling konkret dari masa lalu bangsa kita yang membantah asumsi teori Benturan Peradaban (Clash Civilization) Samuel P. Huntington. Bahwa di tanah air ini, pertemuan dua peradaban tidak mengakibatkan benturan yang merugikan, malah terjadi pergumulan yang intim di antara keduanya. Apa rahasianya?

Jawabannya karena Nusantara maupun Islam sama-sama mementingkan substansi dibandingkan bentuk permukaan. Orang-orang kita lebih suka menyerap nilai-nilai yang universal dibandingkan memaksakan praktik yang partikular.

Sampai di sini, saya ingin mengatakan bahwa hanya substansi ajaran agamalah yang sebaiknya dimasukkan ke dalam praktik kita bernegara dan berdemokrasi. Nilai-nilai kebaikan agamalah yang harusnya kita dorong untuk diperjuangkan para pejabat negara. Bukan praktik-praktik agama yang partikular, permukaan dan remeh temeh seperti larangan ngopi semeja berdua seperti di atas tadi.

Memaksakan ajaran-ajaran partikular ke dalam ranah publik selain berpotensi mendiskriminasi warga beda agama juga bisa mereduksi ajaran agama Islam sendiri yang amat kaya dan beragam. Aturan bupati ini contohnya, dia telah mengabaikan pendapat dari para ulama dan fuqoha yang berbeda. Dia mengeliminasi pendapat hukum agama dari Imam Malik, salah satu dari empat Imam Madzhab yang begitu disegani masyarakat Islam dunia.

Jadi, daripada membuat peraturan yang aneh-aneh, alangkah bijaknya jika bupati yang terhormat membuat peraturan yang memastikan perlindungan kepada semua warga sehingga mereka merasa aman.

Sekali lagi, larangan makan dan minum di Bireuen hanya sebentuk religiositas yang haus panggung untuk kepentingan politik prosedural-elektoral, bukan sebuah cita-cita substansial seperti keamanan dan keadilan. Padahal keamanan dan keadilan adalah prinsip yang sejalan dengan maqosdid syariah (tujuan-tujuan agama).

Terang sudah, yang dilakukan Bupati Bireuen itu murni politik. Tak secuilpun agama.[]