Dalam ajaran Islam, kita dilarang oleh Kanjeng Nabi Muhammad Saw untuk bersikap “asy-syamaatah” kepada orang lain, khususnya kepada sesama umat Islam. Asy-Syamaatah adalah kegembiraan atas adanya masalah atau cobaan yang menimpa orang lain.
Kita dilarang bersikap demikian karena itu menyakiti saudara kita dan menambah penderitaannya. Allah Swt telah menegaskan ancaman-Nya kepada orang-orang yang menyakiti saudara-saudaranya dalam surat Al-Ahzab 58:
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, tanpa ada kesalahan yang mereka perbuat, maka sungguh mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.”
Nabi Muhammad juga telah menegaskan bahwa kesempurnaan Iman seseorang itu tergantung “Cintanya” terhadap saudaranya yang harus sama dengan cintanya kepada dirinya sendiri.
Kanjeng Nabi juga mewanti-wanti kita agar tidak pernah memperlihatkan syamaatah terhadap masalah orang lain, karena itu bisa berbalik kepada kita sendiri. Wal Iyaadh Billah.
Rasulullah Saw bersabda:
لا تظهر الشماتة لأخيك، فيعافيه الله ويبتليك.
“Janganlah kau tunjukkan kegembiraan atas masalah orang lain, (kalau demikian) maka Allah akan membebaskannya dan memberikan cobaan kepadamu.”
Rasul juga mengingatkan agar kita tidak mudah mencaci dan/atau menyebarkan aib, kasus, maupun dosa orang lain, karena hal itu bisa berakibat sebaliknya, dalam bahasa jawa disebut kuwalat (kualat).
Dalam sebuah riwayat al-Baghowi, dari Muadz bin Jabal, Rasul Saw bersabda:
من عير أَخَاهُ بذنب، لم يمت حَتَّى يعمله
“Barang siapa mencaci saudaranya karena dosa (yang diperbuatnya), maka dia pasti akan mengerjakan dosa tsb sebelum mati,” Wal Iyaadh Billah.
Para Ulama Salaf Shalih sangat berhati-hati untuk tidak menunjukkan as-syamaatah (perasaan senang atas musibah orang lain), bahkan diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Az Zuhd, bahwa Abdullah bin Mas’ud pernah berkata:
لَوْ سَخِرْتُ مِنْ كَلْب، لَخَشِيتُ أَنْ أَكونَ كَلْبًا.
“Andaikata aku menghina seekor anjing, pasti aku takut menjadi anjing.”
Ibnul Qoyyim juga pernah berkata dalam Madaarijus Saalikin:
وَكُلُّ مَعْصِيَةٍ عَيَّرْتَ بِهَا أَخَاكَ فَهِيَ إِلَيْكَ
“Setiap kemaksiyatan yang kau cacat saudaramu karenanya, maka kemaksiyatan tsb akan kembali padamu.”
Dalam situasi yang dipenuhi dengan berita pengumbaran aib di mana-mana ini, alangkah baiknya jika kita berhati-hati untuk tidak ikut menyebarkan aib orang lain, atau ikut senang atas tertimpanya saudara kita dengan kasus-kasus tertentu.
Salah satu cara yang direkomendasikan oleh Ibnul Qoyyim untuk menanggapi berita-berita seperti itu adalah dengan berucap:
ُغَفَرَ اللهُ لَنَا وَلَه
Ghafarallahu lana wa lahu
“Semoga Allah mengampuni kami dan dia.”
Semoga Allah juga menyelamatkan lisan dan “tulisan” kita dari tindakan menyebarkan aib-aib orang lain.
Wallahu A’lam.