Dalam tulisannya yang bertajuk Lagu Aisyah: Antara Propaganda dan Gejala Islam Konservatif, Mohammad Ma’ruf Malik Al-Faroby mengatakan lagu Aisyah adalah salah satu bentuk fenomena (pemahaman) ke-setengah-setengahan, alias hanya memotret fisiknya dibanding kecerdasannya.
Kesetengah-setengahan itu, dengan lirik puitik, aura video-clip warm, dan tonal irama yang mendayu, memperlakukan Sayyidah Aisyah sebagai komoditas budaya populer yang bias kapital. Muatan liriknya ada tiga: kecantikan fisik, romantisme percintaan dan keelokan nasab Sayyidah Aisyah.
Budaya populer punya sejarah yang panjang, tapi ia setidaknya telah populer dan mulai berkelindan dengan komersialisasi dan industri di awal abad 20. Format kebudayaannya dikonstruksi berdasarkan kehendak pasar produksi (industri hiburan). Praktik produksi kebudayaannya memfabrikasi segala pola pikir masyarakat.
Artinya, kesadaran dan konstruk ideologi masyarakat diseragamkan oleh kehendak pasar. Artikulasi budaya populer selalu kental dengan division of labour atau pembagian kerja, baik itu berdasarkan kelas sosial, gender, ataupun ras. Tataran tersebut adalah jantung kapitalistik milik budaya populer.
Di setiap artefaknya, budaya populer selalu mengandung klasifikasi sosial (kelas, gender ataupun ras). Ketika mengonsumsi budaya populer, orang dengan identitas kelas/gender/ras tertentu akan merefleksikan diri dan memosisikan peran sosialnya berdasarkan narasi yang disuguhkan oleh artefak tersebut.
Muatan ideologis tentang bagaimana kelas sosial/gender/ras tertentu harus mengonsep diri, bersikap dan berperan di kehidupan sosial diartikulasikan melalui dinamika wacana, permainan simbol dan tanda, dan gramatika antar identitas (orang kaya-orang miskin, pria-wanita, hitam-putih, dst.). Oleh karenanya, apapun yang ada dipermukaan budaya populer akan terlihat baik-baik saja, sebab banalitas ideologinya beroperasi di balik suguhan wacana, simbol/tanda dan gramatika tadi.
Kuasa penggerak budaya populer beroperasi melalui modal, libido, dan bahasa. Di lokus modal, kuasa itu mengalkulasi untung-rugi, membicarakan hal apa yang bisa dikomodifikasi, dan siapa yang bisa dieksploitasi.
Di lokus libido, kuasa itu menghadirkan diri tanpa disadari oleh seseorang melalui keinginan libidinal ataupun fantasi fisik, dari hal sekasar ungkapan “yuk skidipapap…”, hingga hal sehalus ungkapan “kulit kamu putih ya…” ataupun ungkapan “Semoga disegerakan sama dia…”
Sedangkan di lokus bahasa, kuasa itu hadir melalui tanda, simbol, gestur dan puitika kata-kata ataupun puitika gambar. Ketika tiga lokus ini mengendap di dalam artefak budaya populer, maka modus penindasan dan penimpangan kapitalistik terhadap kelas sosial/gender/ras tertentu akan terkemas seakan-akan alami.
Kealamian yang sebenarnya palsu itu akhirnya membangun batas antara mana perilaku yang ‘alami’ (padahal palsu) yang dianggap konstruksi sosial positif, dan mana perilaku yang ‘tidak alami’ yang dianggap racun sosial. Saat kealamian yang sebenarnya palsu ini berhasil meyakinkan konsumen, maka penindasan dan penimpangan yang ada di baliknya akan diikhlaskan oleh konsumen tersebut. Hegemoni, begitu kira-kira sebutannya. Orang mengikhlaskan penindasan dan penimpangan sebab sihir realitas palsu berbasis kenikmatan libidinal.
Sekilas, tidak ada yang salah dari lirik lagu Aisyah, dan memang sewajarnya demikian seorang muslim seharusnya memuji Sayyidahnya. Tapi, innallaha la yandzuru ‘ala tsaubakum, sesungguhnya Allah tidak pernah memandang kamu berdasarkan pakaian mu. Apalagi tubuh?
Pun, predikat-predikat ‘cantik putih, pipi merah, bekas bibir’ bukan tanpa implikasi. Wacana dan jalinan relasi kuasa yang ada di balik predikat-predikat itu melanggengkan subordinasi perempuan-perempuan kulit selain putih dan selain pipi merah.
Dengan kata lain, Sayyidah Aisyah telah direkonstruksi ulang yang sekilas terkesan sangat solehah tapi sekaligus eksklusif terhadap perempuan selain kulit putih dan selain pipi merah. Rekonstruksi tersebut menandakan bagaimana delusi kesolehan libidinal memotori ketimpangan gender.
Relasi Kanjeng Nabi dan Sayyidah Aisyah pun direduksi sebatas, maaf, imajinasi pemuas fantasi patriarkis. Banyak ayat Al-Qur’an dan Hadist yang secara literal memang terkesan patriarkis. Kesan patriarkis itu berasal dari terbatasnya ketelitian mufassir—khususnya yang hanya mengandalkan cocoklogi—dalam memetakan mana lokus kultural, lokus normatif dan lokus syar’i dari sebuah ayat atau hadist.
Sahiron Syamsuddin dalam bukunya yang berjudul Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an (2018) mengemukakan pentingnya memproyeksikan penafsiran pada implikasi yang mampu memberikan keadilan bagi subjek yang bersangkutan.
Dalam penafsirannya tentang Surat An-Nisa ayat 34, Arrijalu Qowwamuna ‘alan nisa i’ dst. (ayat yang biasa dijadikan justifikasi praktik patriarki dan domestifikasi perempuan di kalangan konservatif) menurut Syamsuddin, ayat ini sebenarnya mengandung pesan bahwa siapapun boleh menjadi pemimpin keluarga selama ia adil dan kompeten.
Jika lagu Aisyah terinsiprasi dari riwayat-riwayat Hadist atau ayat-ayat Al-Qur’an, semoga saja inspirasinya tidak ditarik berdasarkan cocoklogi yang terkena bias romantisme libidinal masyarakat kapitalistik abad 21.
Lagu Aisyah memosisikan perempuan pada porsi kerja domestik. Alih-alih diposisikan sebagai subjek yang saling kooperatif satu-sama lain, Sayyidah Aisyah justru digambarkan sebagai objek ‘kedua’ yang tendensinya hanya sebagai pelengkap hidup Nabi. Lagu Aisyah mematri imajinasi baru tentang konsep ideal berumah tangga, yang soleh, bergaransi surga, namun tetap glowing sekaligus bias kapital.
Ada sekurang-kurangnya empat kode ideologi perempuan kapitalistik yang tersemat di lagu Aisyah: kode kecantikan, yakni tentang pentingnya perawatan tubuh/fisik; kode romantika, tentang pentingnya memilih laki-laki yang ‘pas’, memiliki social capital, mampu membahagiakan dan fisiknya erotik; kode kehidupan, yakni tentang pentingnya planning kebahagiaan dalam hidup seorang perempuan; dan kode kesetiaan yang saleh, yaitu tentang pentingnya setia, rajin ibadah namun tetap memprasyaratkan keberlimpahan sumber daya sosial dan biologis sebagai energi kesetiaannya.
Kuasa modal, libido dan bahasa bisa mengenakan topeng apapun, tidak terkecuali topeng agama. Sejak awal millennium, dunia anak muda telah diramalkan semakin ‘seksual.’ Di saat yang sama, arus konservatisme juga melambung. Dua hal ini berkelindan, dan jadilah aftefak-artefak pecintaan, fertilitas dan romantisme bertabur agama dibicarakan di banyak kesempatan; dan jadilah kesalehan voyeuristik lebih diminati sebagai ekspresi beragama anak muda dibanding perdebatan keilmuan.
Kapitalisme mendelusikan ketidak-adilannya lewat budaya populer, sedangkan orientasi Islam adalah menegakkan keadilan. Selain menindas perempuan, mereduksi Sayyidah Aisyah sebagai komoditas, jelas suatu hal peyoratif.
Diam-diam saya jadi penasaran, apa implikasi yang berfaedah dari “kulit putih, pipi merah dan bekas bibir” selain lonjakan permintaan skincare dan jalan tol modus akhi-akhi soleh?
BACA JUGA Apakah Lirik Lagu Aisyah Istri Rasulullah Sesuai dengan Hadis Nabi? Ini Penjelasan Ustadz Ahong ATAU Artikel-artikel Menarik Lainnya