Label Sesat Itu Subyektif

Label Sesat Itu Subyektif

Label Sesat Itu Subyektif

Adakah “kesesatan teologis” yang bersifat intrinsik, inherent, dan universal? Saya rasa tidak ada. Label “sesat” itu sangat subyektif dan bahkan kadang bersifat politis. Anda menganggap orang lain atau pemeluk agama lain sebagai “sesat”. Pada saat yang sama, mereka juga menganggap anda sebagai “sesat”.

Sebagian umat Islam menuduh umat Kristen itu “domba-domba yang tersesat”. Sebagian umat Kristen juga menganggap umat Islam sebagai “onta-onta yang tersesat”. Sebagaian umat Katolik mungkin menyesatkan kaum Protestan. Demikian pula sebaliknya. Sebagian umat Katolik dan Protestan mungkin menyesatkan kelompok Kristen Anabaptis. Begitu pula mungkin sebaliknya.

Sebagian umat Islam atau umat Kristen mungkin menganggap pengikut agama-agama suku sebagai “sesat” bin “kafir” karena “menyembah” batu, pohon, gunung, arwah, dlsb. Tetapi pada saat yang sama, mungkin mereka juga menganggap kaum Muslim dan Kristen sebagai “sesat” dan “kafir” (seandainya mereka mempunyai kosa kata “sesat” dan “kafir”). Kita mungkin menganggap mereka aneh dalam beragama dan ritual, tetapi mereka juga memandang kita aneh dalam beragama dan ritual.

Sejumlah kelompok Sunni atau Wahabi ada yang menganggap pengikut Shiah atau Ahmadiyah sebagai “sesat”. Tetapi sadarkah kita bahwa mereka juga menganggap kelompok Sunni (apalagi Wahabi) sebagai “sesat”. Kita boleh saja mengklaim label “sesat” itu mendapat dukungan dan “endorsement” dari Tuhan dan teks suci. Tetapi umat agama lain juga mengklaim hal yang sama. Jadi, label “sesat” itu sangat subyektif sekali.

Oleh karena itu, daripada kita menghabiskan energi untuk saling menyesatkan yang tidak berguna, bukankah akan lebih baik jika kita saling memahami keunikan, keragaman, dan kelebihan agama dan sekte lain? Daripada saling mengafir-sesatkan satu sama lainnya, bukankah akan lebih mulia dan bermartabat kalau kita menyikapi kemajemukan agama dan aliran keagamaan itu dengan sikap toleran dan saling menhormati?

Daripada saling menyesatkan dan mengorek-orek “kelemahan teologis” umat lain, bukankah akan lebih bijak kalau kita introspeksi dan “mengevaluasi” kelemahan dan kekurangan konsep-konsep teologi kita? Daripada sibuk mengafir-sesatkan umat agama / sekte lain, bukankah akan jauh lebih produktif dan bermanfaat jika kita “menggauli” dan menggandeng mereka untuk melakukan kerja-kerja bersama demi kemaslahatan, keadilan, dan kemakmuran bersama? Selamat berakhir pekan.

Jabal Dhahran, Arab Saudi