Moderasi beragama masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Kementerian Agama (Kemenag) pun bergerak cepat dalam menyusun implementasinya kepada warga. Kurikulum di sekolah, khususnya di Madrasah Aliyah, dan para guru sebagai lini depan dalam program pendedahannya di kalangan siswa pun langsung terlibat.
Menariknya, masih banyak dijumpai beragam persoalan kala implementasi di lapangan. Di tengah usaha pendedahan moderasi beragama di sekolah-sekolah, aya mendapatkan sedikitnya dua persoalan krusial yang saling berkelindan, yakni guru dan kurikulum.
Fakta ini saya dapatkan kala berbincang ke beberapa guru Madrasah Aliyah di kota saya beberapa waktu lalu. Sejak ditetapkan sebagai RPJMN, para guru “diminta” untuk memasukkan narasi moderasi beragama dalam modul ajar mereka. Sayangnya, mereka menghadapi beberapa kesulitan, mulai dari kurang memahami moderasi, menampakkan sikap resistensi, hingga mengabaikan perintah pendedahan tersebut.
Sedangkan, di ranah kurikulum, moderasi beragama justru semakin sulit diimplementasikan. Di tengah perubahan kurikulum, para guru juga dituntut memasukkan narasi moderasi di dalam modul ajar mereka. Kondisi ini membuat para guru kesulitan, karna selain kondisi di atas yang dialami, mereka juga tidak memiliki pengetahuan yang cukup terkait moderasi beragama.
Kurikulum, Penerapan Moderasi Beragama, dan Pembangunanisme
Cita-cita kurikulum Merdeka sangatlah mulia. Kurikulum Merdeka memberikan titik tekan dan fokus kepada peserta didik. Peserta didik menjadi sentral utama penerima manfaat kebijakan kurikulum ini. Pembelajaran berdiferensiasi diimplementasikan untuk mengakomodir keberagaman. Model penilaian autentik-komprehensif yang mengakomodir beragam kecerdasan, menghargai bakat, minat dan sisi kemanusiaan lain terus dikembangkan.
Namun, hingga hari ini, penerapan dan implementasi di lapangan masih terlihat sulit dan rumit. Masih banyak guru mengaku kebingungan dalam menghadirkan kurikulum merdeka dalam pengajaran sehari-hari. Ditambah, mereka disibukkan dengan beragam isian administrasi kompleks dan rumit.
Kala para guru juga dituntut untuk memasukkan narasi moderasi beragama di modul ajar mereka, tentu mereka semakin terjerumus dalam kebingungan. Posisi guru semakin terjepit dalam tuntutan, beban administrasi, hingga harapan tugas mulia mereka.
Seorang guru di salah satu Madrasah Aliyah Negeri di kota saya mengaku tidak pernah mendapatkan penjelasan atau bimbingan teknis, baik soal moderasi beragama atau penerapannya di berbagai mata pelajaran.
Jika mengulik pernyataan Allisa Wahid, instruktur moderasi beragama Kementerian Agama, maka rancangan program moderasi beragama harus dilakukan transformasi: dari formalistik menjadi berorientasi pada kebutuhan masyarakat; dari pasif menjadi aktif-responsif; dari berjarak menjadi di tengah-tengah masyarakat; dari periferal menjadi poros gerakan; dan dari orientasi aktivitas menjadi orientasi hasil.
Sayangnya program Kementerian Agama ini masih jarang menetes hingga ke para guru, khususnya di ranah penerapan kurikulum. Padahal, ada tujuh indikator moderasi beragama, yaitu adil, berimbang, cinta tanah air, toleran, non-kekerasan, dan ramah tradisi. Kementerian Agama perlu memahami tidak semua guru mengerti atau mengetahui tujuh indikator yang harus mereka penuhi, kala menerapkan narasi moderasi di kurikulum mereka.
Di tengah problematika kurikulum Merdeka, narasi moderasi beragama yang ingin disisipkan di kurikulum tentu menambah beban guru dan sekolah. Akibatnya, implementasi di modul ajar sebagai bagian dari kurikulum lebih banyak diabaikan atau masih lemah. Selain itu, beberapa guru mengeluhkan ketidakpahaman pada narasi moderasi beragama.
Dilema Guru Antara Kurikulum Merdeka dan Narasi Moderasi Beragama
Para guru berhadapan dengan kesulitan ganda, bahkan berlapis-lapis. Kondisi ini tentu tidak ideal dalam implimentasi narasi moderasi beragama di sekolah. Kurikulum merdeka tak kelar. Narasi moderasi beragama masih diwarnai kecurigaan dan diabaikan. Beberapa guru juga menyebutkan pelatihan moderasi beragama jarang sekali dibagikan, sehingga desiminasi pengetahuan pun tak terjadi.
Memang, beberapa guru pernah mendapatkan pelatihan tentang penerapan moderasi beragama di kurikulum. Sayangnya, beberapa guru jarang sekali membagikan pengalaman atau pengetahuan yang didapatkan kepada guru lain. Bahkan, di pertemuan rutin MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) pun tak terjadi diskusi soal implementasi narasi moderasi beragama.
Selain itu, pengawasan atas penerapan narasi moderasi beragama di kurikulum oleh para guru masih sangat lemah. Nindy, nama samaran guru, mengaku tidak pernah dicek atau ditanyai soal bagaimana penerapan yang diminta oleh Negara. Kesadaran akan urgensi pendedahan narasi moderasi beragama kepada siswa pun masih terbilang rendah.
Kementerian Agama juga harus mewaspadai sikap resistensi dan pengabaian atas imbauan penerapan narasi moderasi beragama dalam modul ajar. Sebab, beberapa guru juga mengekspresikan sikap penolakan dan pengabaian karena kecurigaan mereka berkat residu segregasi Pilpres 2019 kemarin.
Sebagian guru masih menganggap moderasi beragama adalah bagian kampanye pluralisme yang berujung pada “percampuran” ajaran agama. Mereka pun sering resistensi dengan banyak program yang bernada kesetaraan atau keadilan atas agama-agama di Indonesia. Bagi mereka, moderasi beragama hanyalah propaganda jahat yang menginginkan melemahkan posisi Islam.
Kondisi di atas tentu tidak ideal bagi penerapan narasi moderasi di sekolah-sekolah. Tentu, para stake holder memiliki pekerjaan rumah berat dan kompleks. Tapi, kita menyerah untuk menebarkan moderasi beragama sebagai fondasi keberagamaan masyarakat Indonesia. Panjang umur perjuangan moderasi beragama.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin