Dalam setiap komunitas agama, akan dijumpai kelas-kelas sosial yang beragam, dan mereka akan mengembangkan tradisi yang sesuai dengan keragaman kelas tersebut. Ada tradisi yang mencerminkan kegiatan kelas elit, dan yang lainnya dikembangkan oleh komunitas masyarakat awam.
Para elit akademisi dan kaum terpelajar sumumnya menerjemahkan norma agama ke dalam situasi yang kongkrit melalui kegiatan intelektual, yang dalam terminologi Islam disebut ‘ijtihad’ (pemikiran rasional). Oleh kalangan sosiolog dan antropolog, tradisi kaum intelektual itu tergolong tradisi tulis (literate tradition). Selain itu, ada tradisi populer yang seringkali mengembangkan kisah-kisah kenabian dan para wali yang harus menjadi panutan masyarakat awam.
Kebanyakan masyarakat Islam Jawa memercayai kisah-kisah para wali sebagai kisah-kisah populer, karena – bagi mereka – pemahaman agama yang bersifat rasional dan intelektualistik, cenderung sulit dijangkau dan sulit dimengerti. Mereka membutuhkan “agama” yang lebih dekat dengan kehidupan mereka sehari-hari. Tradisi yang berkenaan dengan kisah hidup orang-orang saleh, lebih mudah dicerna dan dipahami oleh kemampuan berpikir mereka, betapapun sebagian dari kisah itu adalah hasil rangkaian imajinasi yang dibikin-dibikin oleh seorang ustaz atau kiai.
Sementara itu, kaum terpelajar lebih menyukai pemahaman agama sebagai arena olah pikir dan olah intelektual, sambil menekuni teks-teks yang ditulis oleh para sarjana Barat dan Timur, baik di masa klasik hingga modern. Teks-teks karangan Imam al-Ghazali atau Imam Syafi’i, serta para pendiri mazhab Islam lainnya – dari zaman ke zaman – selalu memikat hati kaum terpelajar dan intelektual di negeri ini.
Ironisnya, tradisi berpikir kaum terpelajar yang mestinya mengalami perkembangan dinamis, selama 32 tahun Orde Baru justru dianggap baku oleh kaum elit akademis. Tak terkecuali beberapa orang yang menganggap tradisi populer kaum awam sebagai ‘musyrik’ dan ‘sesat’. Tradisi kaum elit itu, dalam perkembangannya justru menjadi ajaran yang otoritasnya mengandalkan kriteria “sang guru intelektual”, serta menganggap rendah paham-paham lain yang dianggap berseberangan dengan paham kelompok dan mazhabnya.
Analisis Ernest Gellner
Dalam “Muslim Society (1981)”, Ernest Gellner pernah mengemukakan pengamatan sosiologis mengenai tradisi Islam di Indonesia. Baginya, Islam di negeri ini memiliki keuntungan karena sanggup beradaptasi dengan tradisi-tradisi lokal (umumnya Hindu-Jawa) hingga mampu melakukan penyesuaian diri dengan keadaan yang terus berubah. Hal itu dapat tercermin ketika Islam Jawa begitu mudah beradaptasi dengan modernitas, ketimbang agama yang hanya mengenal tradisi tunggal saja.
Adakalanya Gellner mengkritik masyarakat awam di Timur Tengah yang mengembangbiakkan tradisi populer secara dramatis dan koruptif, tetapi di Indonesia justru seringkali ditemukan para elit intelektual yang menolak beradaptasi dengan perubahan, sehingga memilih persepsi tunggal dalam penafsiran agama secara saklek dan statis.
Sementara itu, Islam Jawa yang perkembangannya mengkristal dalam “Islam Nusantara”, tercermin dari ucapan dan tindakan kaum saleh yang merupakan cikal-bakal dalam tradisi populer. Di situlah munculnya fleksibilitas dalam masyarakat muslim hingga memudahkan mereka untuk melakukan akomodasi terhadap perubahan.
Dalam kaitan itu, kita mengenal kata “dhimmi” yang pernah dibela Rasulullah, tapi kemudian dikembangkan oleh ulama-ulama salafi, semisal Ibnu Qayyim dalam bukunya “Ahkam Ahlul Dhimmi” (Hukum-humum Perihal Orang Dhimmi). Satu kata yang sangat terkenal, dan bila ditejemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dhimmi membutuhkan kata-kata yang panjang: orang-orang non-muslim yang menetap di tengah mayoritas muslim.
Analisis Ibnu Qayyim dalam bukunya yang terkenal, cenderung tendensius ketika menampakkan superioritas Islam terhadap minoritas non-muslim. Menurut Ibnu Qayyim, seorang ulama yang sangat dihormati – terutama di kalangan penganut Wahabisme – negeri manapun yang ditaklukkan oleh umat Islam, dan kemudian umat Islam membangun kota baru (mashr), maka tidak boleh ada tempat ibadah lain selain masjid, yang didirikan di kota tersebut. Gereja yang didirikan setelah kota baru itu dibangun, harus dirobohkan. Yang boleh berdiri hanyalah gereja yang sudah ada di tanah itu sebelum kedatangan Islam.
Menurutnya, umat Kristen yang menetap di kota baru itu, dilarang membunyikan lonceng keras-keras di gereja mereka, juga tidak boleh menampakkan tanda salib secara terbuka di luar gereja mereka.
Kaum elit cendikiawan kita, yang merujuk pada fatwa-fatwa Ibnu Qayyim, banyak yang tidak meneliti tentang kapan dan di mana, serta dalam konteks apa fatwa-fatwa itu dikeluarkan. Jika dibaca dalam konteks kekinian dan keindonesiaan, boleh jadi pemikiran itu akan memancing citra negatif terhadap kaum muslim sendiri.
Karya-karya Ibnu Qayyim, Imam Ibnu Hambal, dan banyak lagi cendikiawan Timur Tengah yang menjadi rujukan para sarjana dan kaum cendikiawan Indonesia, memang menggambarkan tradisi intelektual klasik, pada suatu zaman di mana salah satu cirinya adalah penonjolan “superioritas Islam”. Padahal, di masa pemerintahan Nabi Muhammad di Madinah, posisi masyarakat dhimmi itu justru dibela dan dilindungi hak-hak kemerdekaannya.
Beda dengan Wali Songo
Tradisi populer yang berasal dari teladan para Wali Songo di Jawa, menunjukkan sikap keberagamaan yang toleran terhadap tradisi-tradisi agama lain. Menara Kudus yang berbentuk pura dalam tradisi Hindu, justru dibangun oleh Sunan Kudus sendiri, alias Syekh Jafar Shadiq (w. 1550 M). Sunan Kudus juga melarang para muridnya mengonsumsi daging sapi, sebagai penghormatan terhadap hewan yang dianggap sakral oleh umat Hindu. Sampai saat ini – meskipun halal dalam syariat Islam – masyarakat Kudus tidak memakan daging sapi, bahkan binatang itu tidak disembelih di Kudus pada hari raya qurban (Idul Adha).
Sikap toleran masyarakat Islam Jawa, melalui tradisi dialogis antar umat beragama justru dapat dipupuk melalui tradisi populer yang berkembang di tengah masyarakat. Sementara tradisi kaum elit intelektual yang mengacu dari teks-teks para sarjana dan kaum terpelajar, dikenal lebih eksklusif dan ortodoks.
Tentu saja ada versi lain dari tradisi elit terpelajar yang lebih progresif, meskipun pada umumnya yang menonjol adalah kelompok pertama yang lebih saklek dan tertutup. Tradisi yang tertutup itu tidak relevan dengan kondisi kekinian dan keindonesiaan, apalagi di era milenial yang meniscayakan sikap fair dan terbuka, transparan, dan menghargai perbedaan. Bukan dengan menonjolkan superioritas Islam yang gampang menyulut api konflik dan perpecahan.
Salah satu teladan yang baik dalam membangun metode syiar di Nusantara – selain Sunan Kudus – adalah Sunan Kalijaga (w. 1586 M). Ia berhasil melakukan komparasi ajaran Islam dengan kesenian lokal yang sudah berusia berabad-abad. Dalam hal ini, Sunan Giri selaku sesepuh Wali Songo memang tidak mengajarkan metode tertentu dalam menyampaikan syiar Islam. Namun yang diperingatkannya asal jangan bertentangan dengan prinsip-prinsip akidah Islam.
Pengaruh Hindu-Budha yang masih dominan diapresiasi Kalijaga dengan penuh kearifan dan kebijaksanaan. Kelenturan dan keluwesan dari karakter Sunan ini dalam menyikapi tradisi lokal, tidak gampang main tuduh sesat dan kafir (takfiri). Meskipun ia hidup dan berinteraksi di tengah masyarakat awam yang sebagian masih bergantung pada animisme dan polytheisme. Bahkan dalam berpakaian, ia tidak memakai jubah dan sorban laiknya para mubalig keturunan Arab (Wahabisme).
Padahal, di masa penyampaian dakwah tersebut, tidak sedikit masyarakat yang fanatik dengan kepercayaan pada Dewa Syiwa. Kepercayaan yang sudah terpupuk sejak zaman nenek-moyang itu, tidak dihadapi secara konfrontatif yang bisa menimbulkan pertentangan dan perselisihan yang lebih tajam. Bahkan, dalam soal mode dan busana, Sunan Kalijaga punya penafsiran sendiri tentang konsep “baju taqwa”, dengan dester dan keris menyamping seperti umumnya dipakai dalam adat perkawinan masyarakat Jawa.
Selain itu, Kalijaga berani blusukan dan berinteraksi dengan masyarakat awam, melepaskan baju kewaliannya tetapi sekaligus menampilkan nilai kemaslahatannya bagi kepentingan syiar dan dakwah. Belum lagi seni gamelan dan wayang kulit yang merupakan seni berabad-abad masyarakat Jawa. Sebelum masa Sunan Kalijaga, penampilan wayang yang tergambar dalam wujud manusia pada sebuah kertas, oleh Sunan Giri pernah dilarang dan diharamkan.
Tetapi kemudian, kesenian yang digemari masyarakat umum itu dimodifikasi oleh Sunan Kalijaga, lalu dinyatakan sebagai sesuatu yang halal. Ia menambahkan karakter baru pada tokoh-tokoh perwayangan, sambil menyisipkan adegan-adegan yang bernafaskan islami. Banyak terobosan yang dilakukan Sunan Kalijaga dalam melakukan syiar dan dakwah, yang pada masanya dianggap “gegabah” oleh kaum agamawan yang berhaluan ekstrim dan ortodoks. (AN)