
Jagad dunia maya kini dipenuhi dengan berita tentang perang antara Israel-Iran. Israel memborbardir kota-kota di Iran seperti Teheran, Qom, Tabriz, Isfahan, dan lain-lain. Begitu pula ketika Iran membalas dengan mengirim rudal-rudalnya sehingga menyebabkan kerusakan di beberapa kota seperti Tel-Aviv, Haifa, dan Beer-Sheba. Umumnya, masyarakat Indonesia “merayakan” serangan Iran ke Israel karena hal itu dianggap sebagai balasan atas kekejaman Israel di Palestina.
Di tengah-tengah peperangan itu, kini di beranda media sosial masyarakat Indonesia sedang riuh-rendah karena video Ustaz Felix Siauw (UFS) yang diunggahnya di platform Youtube. Video yang berdurasi 10:43 menit tersebut diunggah di kanal “Sharing Felix Siauw” pada 21 Juni 2025. Jika diperhatikan, UFS sepertinya sedang menjawab pertanyaan dari hadirin mengenai bagaimana cara menyikapi perang Israel-Iran yang sedang berlangsung.
Jawaban UFS seakan ingin menyimpulkan bahwa kita tak perlu mendukung Iran karena “negara para mullah” itu berperang atas nama kepentingan Iran sendiri dan tidak ada kaitannya dengan dukungan terhadap Palestina. Gara-gara jawaban itulah kemudian banyak respon dari netizen yang bisa ditemukan di Facebook, X, atau bahkan lewat video yang diunggah di Youtube. Dalam tulisan ini izinkan saya juga ikut menanggapi dari sisi yang saya pahami, yaitu ilmu Hubungan Internasional.
Pertama, ketika UFS mengatakan Iran dipakai sebagai proxy Rusia dan China untuk melawan Amerika Serikat (dan Israel sebagai proxy Amerika) yang ingin mengendalikan dunia dan utamanya di kawasan Timur Tengah. Menurut saya, ada Rusia – China atau tidak, Iran akan tetap bersikap bermusuhan dengan Amerika dan Israel. Israel menjadi musuh Iran karena negara tersebut menindas rakyat Palestina. Ingat, dalam keyakinan mereka, kaum Syiah akan terus menggaungkan perlawanan terhadap tirani yang menganiaya kaum tertindas, atau mustadh’afin. Hal itu kemudian menjadi identitas Iran yang menentukan kepentingan nasionalnya dalam konteks hubungannya dengan Israel. Identitas ini tergolong dalam yang disebut sebagai “identitas tipe”, yaitu atribut yang inheren dalam diri aktor atau negara berdasarkan ciri-ciri non-fisik seperti ideologi, pemikiran, keyakinan, dan sebagainya (Rosyidin, 2020).
Begitu pula ketika dalam sejarahnya, sejak Revolusi Islam tahun 1979, Iran memposisikan dirinya sebagai musuh bagi Amerika Serikat. Negeri Paman Sam itu dianggap sebagai negara yang menyokong kepemimpinan rezim otoriter nan tiran yang ditumbangkan saat itu, Shah Muhammad Reza Pahlevi. Melalui interaksi Iran dengan Israel dan Amerika di masa-masa selanjutnya, kemudian semakin mengukuhkan pola hubungan ala Hobbesian atau permusuhan jika ditilik dari kacamata Konstruktivisme. Jadi jelas, peperangan Iran dengan Israel bukan karena semata Iran menjadi proxy bagi Rusia maupun China.
Kedua, ketika UFS mengatakan bahwa “apakah Iran menyerang Israel karena ia pro Palestina? Jawabannya tidak. Karena Iran nyerang Israel karena dia diserang duluan, sederhana”. Jawaban dari UFS ini pelik. Ia menyederhanakan serangan Iran karena balasan dari pengeboman Israel saja, tanpa melihat latar belakangnya. Apakah kemudian UFS tidak melihat bantuan Iran terhadap kelompok perlawanan seperti Hamas atau Hizbullah yang berperang dengan Israel selama ini? Jika tadi UFS berbicara proxy dalam hubungan Iran dengan Rusia-China atau Israel dengan Amerika, apakah ia tidak membicarakan itu juga dalam hubungan Hamas dan Hizbullah dengan Iran. Sudah banyak bukti mengenai dukungan Iran terhadap Hamas ataupun Hizbullah sehingga tak perlu disebutkan satu persatu.
Apakah Israel menyerang Iran karena semata-mata Iran sedang mengembangkan hulu ledak nuklir? Kalau dari teori Realisme, jawabannya adalah iya. Karena Israel merasa terancam dengan kekuatan materi yang dimiliki Iran seperti yang dijelaskan dalam konsep dilema keamanan. Tapi Realisme tidak bisa menjelaskan mengapa Israel hanya menyerang Iran saja, bukan juga kepada negara yang mempunyai kekuatan militer besar di kawasan seperti Arab Saudi atau Turki.
Lagi-lagi, dalam paradigma Konstruktivisme, hal itu bisa dijelaskan dengan melihat bagaimana antar negara memandang satu sama lain. Israel menganggap Iran berbahaya bagi mereka karena mendukung perlawanan Palestina dengan kekuatan bersenjata selama ini. Apalagi setelah Hamas melakukan serangan terhadap Israel pada 7 Oktober 2023 melalui operasi “Taufan al-Aqsha”. Israel melihat itu sebagai pukulan telak baginya dan Iran sebagai negara yang terus mengobarkan perlawanan terhadap mereka melalui proksi-prosinya harus segera “dienyahkan”. Oleh karenanya ia melancarkan serangan terhadap Iran melalui “Operation Rising Lion” pada 13 Juni 2025 lalu.
Jadi, penjelasan UFS tentang Iran menyerang Israel bukan karena pro-Palestina harus digugat. UFS harus bisa mencermati konteks yang sedang ada. Apa “ekosistem” yang tercipta dalam hubungan antara Iran-Israel selama ini. Bukan melihat dari satu sekuel sejarah yang dipotong dan dikerdilkan saja. Wallahu a’lam.