Nashiruddin al-Albani adalah seorang tokoh yang sangat dikagumi oleh ormas islam garis keras. Sepak terjangnya dalam khazanah islam dunia cukup mengejutkan banyak pihak. Hal ini, dikarenakan sikapnya yang tidak mengikuti salah satu dari empat madzhab dalam bidang ilmu fiqh hingga kritikannya terhadap hadis-hadis berderajat shahih yang tertulis didalam kitab Shahih Bukhari dan kitab Shahih Muslim menjadi bahan perbincangan diantara para ulama.
Diantara pendapat Nashiruddin al-Albani adalah beliau menolak metode penilaian Hadis shahih oleh al-Bukhari yang mensyaratkan diketahuinya pertemuan guru dan murid dalam periwayatan Hadis. Dan al-Albani menyatakan bahwa mayoritas ulama menolak kaedah yang digunakan oleh al-Bukhari
لوقيل للألباني أنت خالفت البخاري في كذا.. فقال لك نعم لكن البخاري له قاعدة يضعف فيها الحديث اعتمادا على هذه القاعدة لكن هذه القاعدة مرجوحة والراجح عند جمهور العلماء خلافها فأن اعتمدت هذه القاعدة التي تبناها الجمهور من العلماء على القاعدة التي اعتمد عليها البخاري… ولايكتفي بالمعاصرة أما جمهور العلماء يقولون المعاصرة كافية
”Seandainya diucapkan kepada (saya) al-Albani “engkau berbeda dengan al-Bukhari dalam masalah ini”. Maka ia (al-Albani) mengatakan kepadamu, benar, akan tetapi al-Bukhari memiliki kaedah dalam menilai lemah sebuah Hadis yang lemah. Dan pendapat yang unggul yang dipilih oleh mayoritas ulama adalah sebaliknya. Maka, aku (al-Albani) berpegang teguh pada kaedah yang dibangun oleh mayoritas ulama dan meninggalkan kaedah yang dipakai oleh al-Bukhari. Ia (al-Bukhari) tidak mencukupkan dengan bukti sezamannya guru dan murid (dalam periwayatan). Adapun pendapat mayoritas ulama menyatakan bahwa bukti sezamannya guru dan murid (dalam periwayatan) adalah cukup”.(kitab Fatawa Syaikh al-Albani wa Muqaranatuha bi Fatawa al-Ulama’, karya ‘Ukasyah Abdul Mannan hal.536 cetakan Maktabah Turast al-Islami Beirut tahun 1994).
Padahal, mayoritas ulama ahli hadis menyatakan bahwa pendapat yang unggul adalah pendapat imam al-Bukhari yang mensyaratkan bukti adanya pertemuan guru dan murid dalam meriwayatkan hadis. Selain itu, mayoritas ulama ahli hadis tidak menganggap cukup dengan adanya kemungkinan bertemunya guru dan murid sebagaimana yang diutarakan oleh imam Muslim. Hal ini diutarakan oleh an-Nawawi
وَاحْتَجَّ مُسْلِمٌ – رَحِمَهُ اللَّه – أنَّ الْمُعَنْعَن عِنْد أَهْل الْعِلْم مَحْمُول عَلَى الِاتِّصَال إِذَا ثَبَتَ التَّلَاقِي ، مَعَ اِحْتِمَال الْإِرْسَال ، وَكَذَا إِذَا أَمْكَنَ التَّلَاقِي . وَهَذَا الَّذِي صَارَ إِلَيْهِ مُسْلِم قَدْ أَنْكَرَهُ الْمُحَقِّقُونَ ، وَقَالُوا : هَذَا الَّذِي صَارَ إِلَيْهِ ضَعِيفٌ ، وَاَلَّذِي رَدَّهُ هُوَ الْمُخْتَار الَّذِي عَلَيْهِ أَئِمَّة هَذَا الْفَنّ : عَلِيّ بْن الْمَدِينِيّ ، وَالْبُخَارِيّ وَغَيْرهمَا.
Dan imam Muslim menyatakan bahwasannya Hadis Mu’an’an menurut ahli ilmu dianggap bersambung (Ittashal) ketika diketahui adanya pertemuan di antara guru dan murid besertaan kemungkinan mursal, begitu juga ketika ada kemungkinan bertemunya guru dan murid. Dan pendapat yang dipakai oleh imam Muslim ini ditolak oleh para ulama ahli tahqiq. Mereka berkata, pendapat ini (pendapat imam Muslim) adalah lemah dan pendapat yang menolaknya adalah yang dipilih oleh para pakar ilmu Hadis seperti Ali bin al-Mudani, al-Bukhari dan sesamanya.(kitab Syarh an-Nawawi li Shahih al-Muslim vol.1 hal.168 karya an-Nawawi cetakan Darul Hadis Kairo tahun 2010).
Selain itu, Nashiruddin al-Albani juga kerap mengkritik ulama terdahulu tanpa dilandasi argumentasi yang kuat. Bahkan, tak jarang beliau merendahkan ulama sekaliber imam as-Suyuthi sebagaimana yang beliau tuliskan
أن الرموز لم يطرأ عليها ما ذكرنا من التحريف والسقط والزيادة فلا ينبغي الوثوق بها أيضا لأن الرامز نفسه –السيوطي- معروف بتساهله في التصحيح والتحسين من جهة وبأنه ليس من أهل النقد والدقة فيه من جهة أخرى
“Rumus tidak jarang terjadi penyalinan, penghapusan, dan penambahan sebagaimana yang telah kami sebutkan. Maka tidak seyogyanya untuk berpegang teguh dengan rumus tersebut karena pembuat rumus tersebut yaitu as-Suyuthi terkenal sangat mudah menilai derajat sahih dan hasan pada sebuah Hadis. Selain itu, as-Suyuthi juga bukan termasuk pakar alam kritik Hadis serta peneliti riwayat Hadis”.(kitab al-Fath al-Kabir karya Nashiruddin al-Albani hal.53 cetakan Maktabah al-Islami Beirut tahun 1988).
Padahal, imam Suyuthi sangat berhati-hati dalam menentukan derajat sebuah Hadis dalam seluruh kitab karyanya. Sebagai contoh imam Suyuthi ketika menilai sebuah Hadis
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم طلب العلم فريضة على كل مسلم
Rasulullah Saw bersabda “Mencari ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim”
Imam Suyuthi menuliskan
جمعت له خمسين طريقا، وحكمت بصحته لغيره ولم أصحح حديثا لم أسبق لتصحيحه سواه
“Aku mengumpulkan 50 riwayat Hadis untuk menilai Hadis ini, dan aku menghukuminya dengan shahih li ghairih, dan aku tidak menilai shahih sebuah Hadis yang lebih dulu melebihi Hadis ini”(Dikutip oleh Dr. Ali Abdul Basith dalam kitab Hady an-Nubuwwah hal.49 cetakan Maktabah al-Aiman Kairo tahun 2012)
Diantara karya-karya ulama yang dikhususkan untuk mengkritik sepak terjang Nashiruddin al-Albani dalam ilmu hadis adalah kitab Tanaqudhat al-Albani alWadhihat fima waqa’a lahu fi Tashih al-Ahadits wa tadh’ifiha karya syekh Hasan Ali as-Saggaf dan sejenisnya.
Dalam hal ini, sudah seyogyanya menjadi pelajaran bagi kita semua untuk berhati-hati dalam mengkritik ulama terdahulu. Jika seandainya keilmuan kita masih belum mencukupi sebaiknya kita tidak berburuk sangka terhadap ulama-ulama dahulu yang telah menghabiskan usianya untuk mempelajari serta meneliti ilmu agama. Apalagi sampai hati untuk mencaci mereka. Na’udzubillah min Dzalik.