Greg Fealy menyampaikan beberapa kritikannya terhadap program Moderasi Beragama dan Humanitarian Islam PBNU. Kritikan itu disampaikan dalam kegiatan diskusi yang diadakan Australian National University berkolaborasi dengan Indonesia Project pada hari Rabu, 6 November 2024.
Diskusi ini mengangkat tema “Religious Moderation and Political Control: Critiquing Indonesia’s Religious Diplomacy”, dokumentasi lengkapnya dapat ditonton pada kanal You Tube ANUIndonesiaProject. Pada saat yang sama, Kementerian Agama mengadakan Konfrensi Internasional tentang Moderasi Beragama (ICROM) di salah satu hotel di Jakarta, dan PBNU juga menggelar Konferensi Humanitarian Islam dengan melibatkan puluhan Akademisi dan Ulama. Ini bukanlah suatu yang direncakan sejak semula, tapi kebetulan belaka kegiatannya berlangsung di tanggal yang sama.
Dilihat dari sejarahnya, Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) merupakan Presiden Indonesia yang pertama kali menggunakan istilah Islam Moderat sebagai strategi diplomasi luar negeri dalam merespons program Global War on Terror (GWOT) yang digulirkan Presiden Amerika George W. Bush sebagai reaksi atas peristiwa 9/11. Bush mengatakan dalam pidatonya (11 Oktober 2001), program ini bertujuan untuk memerangi siapa saja yang menebar teror, termasuk pemerintah yang mendukung dan melindungi mereka. Pada kesempatan yang lain, dia menegaskan, “Perang ini dimulai dari al-Qaeda, tapi tidak akan berhenti di sana. Perang ini terus berlanjut hingga semua jaringan atau kelompok teroris global ditemukan, dihentikan, dan dikalahkan.
Ambisi Amerika Serikat untuk memerangi teroris sampai ke akarnya ini membuat banyak negara mayoritas muslim, seperti Malaysia, Mesir, dan Indonesia, mencitrakan diri mereka sebagai representasi Islam Moderat yang berbeda dengan Islam garis keras. Walaupun istilah yang digunakan berbeda, tapi maksud dan substansinya sama, yaitu menegaskan kritikan terhadap Islam garis keras yang dianggap sebagai pondasi dasar ideologi gerakan teroris yang mengatasnamakan Islam.
Dalam konteks inilah, kehadiran organisasi Islam seperti Nadhlatul Ulama dan Muhammadiyah, dalam pandangan Greg Fealy, mendapatkan relevansinya. Kedua organisasi ini dianggap sebagai organisasi besar yang berperan penting dalam penyebarluasan ajaran Islam moderat, ramah, dan toleran. Wajah Islam Indonesia hari ini tidak bisa dilepaskan dari peran kedua ormas ini, ataupun organisasi Islam lain yang memiliki ajaran dan nilai yang sama.
Islam moderat ala Indonesia ini dijadikan oleh pihak yang berkepentingan untuk menjadi contoh kepada dunia luar bahwa Islam itu tidak identik dengan kekerasan dan ada bentuk keberislaman yang lain, berbeda dengan narasi Islam yang dipropagandakan kelompok teror, dan diframing buruk oleh sebagian media Barat. Sebab itulah, pada saat itu dan mungkin sampai sekarang, banyak orang memuji Islam yang dipraktikan di Indonesia dan dianggap menjadi solusi penting dalam penyelesaian konflik di Timur-Tengah. Karenanya, tidak heran bila mantan Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia pernah berujar, “Andaikan Islam Indonesia dikenalkan ke Timur-Tengah, semua masalah terorisme yang ada di sana akan terselesaikan”.
Humanitarian Islam dalam Catatan Greg Fealy
Greg Fealy dalam presentasinya memosisikan Humanitarian Islam bagian dari projek Moderasi Beragama yang menjadi program pemerintah sejak masa Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) dan diperkuat di masa pemerintahan Joko Widodo (2014-2024). Akademisi dari Australian National University ini juga melihatnya sebagai keberlanjutan dari program serupa yang sudah pernah dilakukan oleh pengurus PBNU sebelumnya, seperti International Conference of Islamic Scholars (ICIS) pada periode KH. Hasyim Muzadi (1999-2010) dan International Summit of the Moderate Islamic Leaders (ISOMIL) pada masa KH. Said Agil Siradj (2010-2021).
Satu hal yang menurut saya luput dari penjelasan Greg Fealy, bahwa ia tidak melihat bagaimana kritikan Ketua PBNU KH. Yahya Cholil Staquf terhadap program Moderasi Beragama yang dijalankan oleh Kementerian Agama. Seingat saya, Gus Yahya beberapa kali mengkritik Moderasi Beragama, baik dalam forum yang diadakan Kementerian Agama atau yang lain. Dua tahun lalu misalnya, kalau tidak salah dalam acara Sarasehan Moderasi Beragama di bulan Ramadhan, Gus Yahya menyatakan Moderasi Beragama sebagai produk yang masih bersifat abstrak dan tidak realistis dalam menjawab problem kemanusiaan.
Belum lama ini, saya dapat informasi dari Syafaat Mohammad, Gus Yahya juga mempersoalkan defenisi Moderasi Beragama yang tidak jelas dan tidak relevan dalam konteks sekarang. Kritikan Gus Yahya terhadap Moderasi Beragama ini sebetulnya tidak jauh berbeda dengan sebagian catatan Greg Fealy atas Moderasi Beragama. Bagi saya, memahami pandangan dan kritikan Gus Yahya ini penting untuk melihat relasi PBNU dengan program Pemerintah yang berkaitan Moderasi Beragama, serta mendalami keterkaitan dan keterpisahan Moderasi Beragama dengan Humanitarian Islam.
Greg Fealy menggarisbawahi beberapa konsep penting dalam Humanitarian Islam. Rujukannya adalah dokumen hasil rekomendasi Muktamar International Fiqih Peradaban yang dibacakan oleh KH. Musthofa Bisri (Gus Mus) dan Yenni Wahid di Sidoarjo Jawa Timur (7/2/2023). Menurut Greg Fealy, landasan berpikir dokumen ini masih menjadikan agama sebagai penyebab utama konflik sosial. Gerakan ultra-konservatif dianggap sebagai akar masalah dari ketidakstabilan politik, perang saudara, pertikaian sosial, dan terorisme, karena mereka bersikeras untuk menerapkan doktrin fikih politik yang tidak sesuai lagi dengan masanya. Kesimpulan ini sepertinya dipahami dari salah satu bagian inti dokumen berikut ini:
“Usaha-usaha untuk mendirikan kembali negara Khilafah, nyata-nyata bertabrakan dengan tujuan-tujuan pokok agama tersebut. Ini dikarenakan usaha semacam ini akan menimbulkan ketidakstabilan dan merusak keteraturan sosial politik. Lebih dari itu, jika pun akhirnya berhasil, usaha-usaha ini juga akan menyebabkan runtuhnya sistem negara-bangsa serta menyebabkan konflik berbau kekerasan yang akan menimpa sebagian besar wilayah di dunia. Sejarah menunjukkan, kekacauan karena perang pada akhirnya akan selalu didampingi dengan penghancuran yang luas atas rumah ibadah, hilangnya nyawa manusia, hancurnya akhlak, keluarga, dan harta benda.”
Karena asumsinya ada yang salah dari pemahaman keagamaan, maka jalan keluar yang diambil adalah perlunya rekontruksi pemikiran keagamaan atau memperbaiki sebagian pemahaman keagamaan yang dianggap keliru selama ini. Seakan-akan, kata Greg Fealy, kalau pemahaman keagamaannya diperbaiki, konflik sosial akan berkurang secara otomatis. Padahal, dalam studi konflik mutakhir, agama tidak lagi diposisikan sebagai penyebab utama konflik sosial. Apalagi tidak ada penyebab tunggal dalam konflik, selalu beragam. Meskipun agama seringkali terlihat di permukaan, tetapi jangan dilupakan juga penyebab lain, seperti ekonomi, politik, dan seterusnya. Karenanya, membuat program perdamaian dengan menjadikan agama atau nilai-nilainya sebagai jalan keluar, dikhawatirkan tidak relevan dengan penyebab utama dari konflik itu sendiri.
Greg Fealy juga menyebut gerakan Humanitarian Islam tidak mengakar dan sangat elitis. Dia bahkan mencurigai, yang menyusun sebagian draftya adalah C. Holland Taylor. Bagian awal presentasinya, Greg Fealy memberi perhatian khusus terhadap sosok ini. Ia menyebut Holland Taylor sebagai sosok kontroversial baik di kalangan muslim Indonesia atau internal NU sendiri. Pendiri LibForAll Foundation ini disebut juga oleh Greg Fealy sebagai unoffical envoy PBNU, suatu posisi yang tidak lazim dalam sejarah kepengurusan PBNU.
Kedekatan Holland Taylor dengan pengurus PBNU sudah berlangsung sejak masa kepengurusan KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Holland Taylor pernah berkolaborasi dengan beberapa beberapa intelektual muslim Indonesia untuk menulis buku Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, dipublikasikan tahun 2009, yang dinilai Greg Fealy sebagai buku politik Islam Indonesia paling buruk yang pernah ditulis. Untungnya sudah banyak yang lupa dengan buku itu, walaupun sangat disayangkan buku tersebut kerap menjadi rujukan di kalangan intelijen, sehingga mereka cenderung melihat organisasi Islam secara hitam-putih. Hal ini sebagaimana yang dikeluhkan oleh Sidney Jones.
Kesan elitis Humanitarian Islam ini, menurut saya, memang disengaja oleh Gus Yahya. Dalam pidatonya di salah satu kampus Indonesia, dia menyebut draft awal Humanitarian Islam itu ditulis dalam bahasa inggris, tidak diterjamahkan ke dalam bahasa Indonesia, supaya gagasan ini didiskusikan dulu oleh para ahli atau akademisi luar. Dengan demikian, wajar bila Greg Fealy berkunjung ke Jawa Tengah/Jawa Timur, menanyakan konsep ini kepada lawan bicaranya, yang mungkin anggota NU, mereka tidak mengerti.
Tampaknya, fokus utama dari Humanitarian Islam adalah mengenalkannya kepada pihal luar, ketimbang memperkuat wacananya di internal NU sendiri. Namun masalahnya, kata Greg Fealy, sejauh mana kemampuan PBNU untuk menginternasionalisasikan gagasan ini, terutama dalam aspek reformasi hukum Islam, mengingat latar belakang Ketua PBNU hari ini yang tidak dikenal sebagai ahli fikih di dunia Internasional dan tidak punya juga karya yang memadai tentang topik tersebut. Ini belum lagi bicara soal pandangan sebagian orang Timur-Tengah yang menganggap Asia Tenggara bukan rujukan dalam kelimuwan Islam. Praktik keberislaman di Asia Tenggara, terutama Indonesia, kerap kali dipuji di dunia luar, tapi dalam hal pengakuan terhadap otoritas keagamaan dan kiblat keilmuan Islam, ini masih menjadi tanda tanya.
Catatan berikut dari Greg Fealy adalah soal keterlibatan negara, narasumber, atau tokoh yang tidak mendukung kebebasan beragama dalam kegiatan PBNU yang bertemakan moderasi beragama atau sejenis itu. Moderasi Beragama seringkali digunakan oleh negara atau orang untuk menutupi masalahnya di hadapan dunia internasional. Pada forum itu, mereka memuji Islam Indonesia, tapi pada saat yang sama menutup mata terhadap diskriminasi dan pembatasan hak asasi manusia dan kebebasan beragama di negara mereka sendiri. Greg Fealy mempertanyakan kenapa orang-orang yang tidak mendukung kebebasan beragama itu dilibatkan atau diundang, apa yang akan diharapkan dari mereka?