Saya adalah pengagum Prof. Quraish Shihab sejak lama sekali. Cara saya mengekspresikan kekaguman yang makin membuncah ini ialah dengan terus membaca karya-karyanya, sesekali pula menonton video-videonya. Semakin jauh saya membaca karya-karyanya, kagum saya makin membiak. Di antara karya utamanya yang intens saya baca adalah Tafsir al-Mishbah.
Saya menyukai khazanah tafsir dan Ushul Fiqh. Sebab itu, saya juga kerap membaca dan membandingkan pemikiran para mufassir dari berbagai kitab tafsirnya. Di antara yang tergolong cukup intensif saya baca ialah Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Kabir Fakhruddin ar-Razi, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir karya Ibnu ‘Asyur, dan Tafsir al-Munir karya Prof. Wahbah Zuhaily.
Pada suatu hari, belum lama ini, saya penasaran dengan tafsir ayat kedua dari surat al-Anfal. Sebagaimana biasa, saya berselancar pertama kali kepada Al-Mishbah.
Saya pun terkesima pada dua hal.
Pertama, Prof. Quraish Shihab mengkritisi penafsiran Sayyid Quthb dalam kitabnya, Tafsir fi Dzilali al-Qur’an. Kebetulan saya juga memiliki kitab tafsir satu ini, walau jarang saya buka. Saya merasa kurang nyetel saja sama kitab tafsir ini, semata karena banyak pandangan beliau yang “tidak nyetel” dengan entitas kultural saya sendiri. Tak lebih.
Rupanya, terdapat perbedaan pemahaman yang amat mendasar antara Sayyid Quthb dengan Prof. Quraish Shihab. Dan di titik inilah letak kritik beliau.
Sayyid Quthb yang merupakan ulama terkemuka Ikhwanul Muslimin dan meninggal di tiang gantungan dengan tudingan terlibat dalam upaya kudeta kepada presiden Gamal Abdel Nasser (29 Agustus 1966, di usia 59 tahun), pertama-tama oleh Prof. Quraish Shihab disebut sebagai sang alim, ulama, dan sang syahid. Ini adalah sebuah pujian agung bagi Sayyid Quthb. Pujian berikutnya ialah pernyataan Prof. Quraish Shihab bahwa “saking bergeloranya iman di hatinya”, Sayyid Quthb sampai membuhulkan penafsiran yang berbeda signifikan dengan jumhur ulama tafsir, termasuk tafsir Prof. Quraish Shihab sendiri.
Setelah itu, barulah Prof. Quraish Shihab menghantarkan kritisinya kepada tafsir Sayyid Quthb.
Agar Anda mendapatkan konteksnya, saya nukilkan arti ayatnya dan sebagian keterangan Sayyid Quthb terhadap ayat 2 dari al-Anfal itu.
“Orang-orang mukmin hanyalah mereka yang apabila disebut Allah, gemetar hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, ia menambah iman mereka dan kepada Tuhan mereka, mereka berserah diri.”
Menurut Sayyid Quthb –mungkin ini akan terdengar “keras, tegas”—hanyalah sang mukmin yang bisa merasakan agungnya asma Allah Swt, hingga hatinya bergetar. Begitupun saat mendengar ayat-ayatNya dibacakan. Keimanan adalah kata kuncinya, sumber bagi gemetarnya hati. Jika ada orang yang tidak gemetar hatinya saat mendengar asma Allah atau ayat-ayatNya, itu tanda bahwa ia bukanlah golongan mukmin.
Tidak ada istilah beriman dengan status sedang, agak, atau rendah; beriman adalah semata satu wujud kekokohan belaka; sehingga yang tidak kokoh, tidaklah beriman.
Tegasnya, jika kita mendengar ayat-ayat al-Qur’an dibacakan, lantas hati kita tak merasakan getaran apa-apa, itu tanda bahwa kita tidak beriman. Ya, tidak beriman, bukan rendah imannya –terdengar keras, tegas, memang.
Kedua, rasionalisasi kritisi Prof. Quraish Shihab sangat mengagumkan. Beliau mengatakan –setelah memuji-muji Sayyid Quthb tadi—bahwa dalam hal ini pemikiran Sayyid Quthb terasa berlebihan. Catat baik-baik, kata yang dipilih beliau adalah “berlebihan”. Bukan selainnya, seperti konyol, buruk, apalagi dungu.
Selanjuntnya, Prof. Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat tersebut menggunakan kata “mu’min”, bukan “yu’minu”. Secara status kata, kata mu’min berbentuk subyek, fa’il; berbeda dengan yu’minu yang berbentuk kata kerja (fi’il). Dengan brilian, Prof. Quraish Shihab memberikan analisis perbandingan makna terhadap kata tersebut (mu’min, yu’minu) dengan kata yang berbentuk sama dalam bahasa kita, yakni makna kata “penyanyi” dan “menyanyi”.
Penyanyi adalah subyek, fa’il, asumsinya adalah seorang ahli menyanyi, profesional, vokalis. Adapun menyanyi sebagai kata kerja tidak terbatas pada status profesional menyanyi, tetapi juga bisa meliputi orang umum yang menyanyi. Jika seorang profesional yang menyanyi, tentulah bagus sekali penampilannya. Jika orang umum yang menyanyi, wajar belaka jika tidak bagus, agak bagus, sedang, atau bahkan lemah sekali.
Begitupun penggunaan kata “mu’min” dalam ayat tersebut. Sebagai subyek, fa’il, yang dimaksudkannya adalah seseorang yang telah beriman dengan mantap, kokoh, menghunjam. Orang yang imannya telah berderajat kafah demikian, masuk akal sekali untuk mudah tergetar hatinya saat mendengar asma Allah dan ayat-ayatNya. Adapun orang-orang yang imannya belum berderajat kokoh mantap begitu, mungkin saja sesekali bisa bergetar, agak bergetar, atau tak bergetar hatinya. Situasi ini tidaklah serentak tepat untuk dinyatakan sebagai penentu beriman versus tidak beriman. Yang lebih relevan dan rasional ialah kemungkinan imannya sedang, agak beriman, atau memang lemah. Bagaimanapun derajatnya, semuanya tetap berada di dalam lingkup beriman, bukan tidak beriman, sebagaimana analogi orang umum yang menyanyi tadi.
Buat saya pribadi, analisis cerdas Prof. Quraish Shihab ini amatlah menyenangkan dan meruahkan optimisme. Betapa acap seringnya hati ini tak bisa bergetar kala mendengar lantunan asma-asmaNya, misal saat melantang adzan Maghrib ataupun saat mendengar tilawah al-Qur’an.
Seminimnya, dari sudut keterangan Prof. Quraish Shihab tersebut, saya masih sahih untuk optimis mendaku sebagai “bagian dari beriman”, walau barangkali masih berderajat sedang, agak, atau malah lemah.
Cara Prof. Quraish Shihab melakukan kritik kepada ulama sekelas Sayyid Quthb sungguh terlihat elegan dan indah. Di satu sisi, Prof. Quraish Shihab tetaplah setia kepada karakter kritisisme seorang cendekiawan –dalam konteks kepentingan kajian ilmu—dan di sisi lain, kritiknya dijalankan dengan santun, sejuk, smooth, dan kokoh sekali argumentasinya.
Semoga kita semua bisa belajar dari teladan kritisisme mengagumkan ini.
Wallahu a’lam bish shawab.