Umat Rasulullah SAW digambarkan dalam Al-Quran sebagai umat yang terbaik. Kriteria umat terbaik digambarkan dalam surat Al-Baqarah (2) : 143 sebagai Ummatan wasatha.
وَكَذَٰلِكَ جَعَلۡنَٰكُمۡ أُمَّةٗ وَسَطٗا لِّتَكُونُواْ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيۡكُمۡ شَهِيدٗاۗ وَمَا جَعَلۡنَا ٱلۡقِبۡلَةَ ٱلَّتِي كُنتَ عَلَيۡهَآ إِلَّا لِنَعۡلَمَ مَن يَتَّبِعُ ٱلرَّسُولَ مِمَّن يَنقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيۡهِۚ وَإِن كَانَتۡ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى ٱلَّذِينَ هَدَى ٱللَّهُۗ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَٰنَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِٱلنَّاسِ لَرَءُوفٞ رَّحِيمٞ ١٤٣
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia”
Menurut Quraish Shihab, mulanya kata wasath berarti segala yang baik sesuai dengan objeknya. Sesuatu yang baik berada pada posisi diantara dua ekstrem. Keberanian adalah pertengahan sifat ceroboh dan takut. Kedermawanan merupakan pertengahan antara sifat boros dan kikir. Kesucian merupakan pertengahan antara kedurhakaan karena dorongan nafsu yang menggebu dan impotensi. Dari sini, wasath berkembang maknanya menjadi tengah.
Yang menghadapi dua pihak yang berseteru dituntut untuk menjadi wasith (wasit) dan berada pada posisi tengah agar berlaku adil. Dari sisni, lahirlah makna ketiga wasath, yaitu adil.
Ummatan wasatha adalah umat moderat, yang posisinya berada ditengah, agar dilihat oleh semua pihak, dan dari segenap penjuru.
Mereka dijadikan demikian menurut lanjutan ayat di atas agar mereka menjadi Syuhada (saksi), sekaligus menjadi teladan dan patron bagi yang lain, dan pada saat yang sama mereka menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai patron teladan dan saksi pembenaran bagi aktivitasnya.
Quraish Shihab menyebutkan keberadaan umat islam dalam posisi tengah menyebabkan mereka tidak seperti umat yang hanyut oleh matrealisme, tidak pula mengantarnya membumbung tinggi kelam ruhani, sehingga tidak lagi berpijak dibumi. Posisi tengah menhadikan mereka mampu memadukan aspek ruhani dan jasmani, material, dan spiritual dalam segala sikap dan aktivitas.
Wasathiyat (moderasi atau posisi tengah) mengandung umat islam untuk berinteraksi, berdialog, dan terbuka dengan semua pihak (agama, budaya, dan peradaban), karena mereka tidak dapat menjadi saksi maupun berlaku adil jika mereka tertutup atau menutup diri dari lingkungan dan perkembangan global.
Sebenarnya jika kita teliti lebih lanjut, konsep umat yang diinginkan ini adalah untuk menjaga segala bentuk distorsi yang akan terjadi akibat adanya perbedaan dan perselisihan. Bukan tidak mungkin bagi Allah SWT untuk menjadikan satu umat saja. Namun Allah menginginkan agar manusia memiliki kearifan dalam menyikapi perbedaan. Hal ini sebagaimana tercantum dalam surat al-Māidah ayat 48:
لِكُلّٖ جَعَلۡنَا مِنكُمۡ شِرۡعَةٗ وَمِنۡهَاجٗاۚ وَلَوۡ شَآءَ ٱللَّهُ لَجَعَلَكُمۡ أُمَّةٗ وَٰحِدَةٗ وَلَٰكِن لِّيَبۡلُوَكُمۡ فِي مَآ ءَاتَىٰكُمۡۖ فَٱسۡتَبِقُواْ ٱلۡخَيۡرَٰتِۚ إِلَى ٱللَّهِ مَرۡجِعُكُمۡ جَمِيعٗا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ فِيهِ تَخۡتَلِفُونَ ٤٨
Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu
Dengan ayat di atas, menunjukkan bahwa tidak ada kesulitan bagi Allah SWT untuk menjadikan syari’at manusia itu satu corak saja, dari Adam sampai zaman Muhammad, sampai hari kiamat. Namun karena manusia tidak hanya diberi insting, namun juga akal, maka diujilah kesanggupan manusia menggunakan akal itu, dalam menyesuaikan hidupnya di alam sekelilingnya, dan dengan ruang dan waktu.
Demikian maka patutlah kita perhatikan lebih dalam potongan terahir ayat ini yaitu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Di sini kita diperintahkan untuk mengaplikasikan daya nalar dan kemampuan akal kita untuk hal-hal kebajikan yang dapat menjadi rahmatan lil ‘alamin.