Dalam kehidupan bermasyarakat, masing-masing dari kita tentu memerlukan pemimpin, yakni orang yang mampu mengakomodir hak dan kewajiban kita dengan baik. Pemimpin yang bukan saja mendengar masukan dari rakyat, tetapi juga melaksanakan tugasnya dengan penuh tanggungjawab. Menjadi pemimpin tak sama dengan menjadi pejabat, yang tak jarang hidup bergelimang hormat. Pemimpin adalah pelayan rakyat, yang selalu ada baik saat senang maupun sekarat.
Dalam Kasf al-Khafa’, `Ismail bin Muhammad al-‘Ajluni menyertakan sebuah hadis nabi tentang kriteria utama seorang pemimpin yang diriwayatkan dari Imam al-Hakim dan Imam al-Baihaqi dari Ibnu Umar. “al-Sulthan dhill Allah fi al-ardh, ya’wi ilaihi kull al-madhlum,” demikian kata nabi. Penguasa adalah payung Allah di bumi, tempat berlindung kaum tertindas.” (HR)
Payung di hadis ini bisa bermakna macam-macam, namun sebagaimana kegunaan umumnya, payung berfungsi untuk melindungi; baik dari terik matahari, maupun dari derasnya hujan yang membasahi. Dengan kata lain, tugas utama seorang pemimpin adalah memberikan perlindungan, bukan malah menumpuk kekayaan atau memperpanjang kekuasaan.
Untuk malaksanakan tanggungjawab perlindungan tersebut, pemimpin harus meletakkan kamaslahatan rakyat sebagai pusat dalam tiap pengambilan keputusan. Sebab hanya dengan jalan inilah, pemimpin bisa menjadi dhill Allah fi al-ardh. Dengan mengutamakan perlindungan terhadap hak dan kewajiban masyarakat, seorang pemimpin akan lebih berhati-hati dan penuh pertimbangan dalam menyusun dan melaksanakan kebijakan.
Dalam sejarah Islam yang telah terbentang begitu panjang, ada banyak nama pemimpin yang layak digelari sebagai payung Allah di bumi, salah satu yang paling masyhur adalah Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Khalifah yang namanya tetap dikenang hingga sekarang ini diketahui memiliki kepedulian yang sangat tinggi, bukan saja terhadap rakyatnya, tetapi terhadap semua makhluk hidup ciptaan Allah yang ada di wilayah kekuasaanya.
Dalam salah satu kisah disebut bahwa sang Khalifah begitu takut dengan berbagai pertanggungjawaban sebagai pemimpin yang akan diminta oleh Allah di akhirat kelak. Posisinya sebagai pemimpin tak membuatnya lupa daratan, sebab ia tahu akan ada hari pertanggungjawaban; jika tak sekarang, maka nanti di hadapan Tuhan.
Begitu takutnya Ali terhadap Tuhan, hingga ia pernah berujar, “andaikata ada seekor keledai terpeleset di salah satu jalan di Baghdad, niscaya aku takut kalau nanti dimintai pertanggungjawaban oleh Allah: ‘Mengapa tidak kau perbaiki jalan itu?”
Bisa jadi, keledai yang terpeleset dalam kisah di atas adalah gambaran betapa pemimpin yang baik haruslah orang yang serius mengurus kemaslahatan bersama, karenanya ia akan selalu memastikan tak ada fasilitas umum yang tak disajikan dengan sebaik-baiknya. Ini bukan saja soal jalan yang tak akan membuat keledai terpeleset, tapi juga soal fasilitas-fasilitas lain yang tak akan membuat rakyat menderita.
Di jaman yang penuh dengan keterbukaan seperti saat ini, kita butuh pemimpin yang bukan saja tegas, tetapi juga harus cerdas. Yakni kriteria pemimpin yang tak hanya tampak galak di media namun di belakang asyik bersenggama bersama mafia. Kita semua butuh pemimpin yang mau melayani, bukan dilayani. Pemimpin yang siap memayungi, persis seperti sabda nabi.
*) Khoirul Anam, peneliti Pusat Studi Pesantren