Tahun 1999 Gus Dur (GD) menulis sebuah artikel pendek di Jawa Pos tentang “Tipologi Kepemimpinan Umat”. Tulisan ini mengundang polemik panjang yang kemudian dibukukan penerbit Mizan dengan judul “Mencari Pemimpin Umat”. Saya baca lagi dan saya merasakan seolah GD baru menuliskannya kemarin. Saya akan sedikit mengulas tulisan tersebut di sini.
Secara umum, kata GD, tipologi pemimpin umat dapat dipilah dalam dua kategori: ulama dan non ulama (zuama). Dari sisi pengaruh dan penerimaannya di kalangan umat, pemimpin umat dibedakan dengan yang kuat pijakan lokalnya dan diakui secara nasional atau salah satunya saja: lokal atau nasional. Kiai Hasyim Asyari, Kiai Achmad Dahlan, Buya Hamka dan Kiai Idham Cholid adalah contoh pemimpin paripurna: memiliki basis lokal dan diakui secara nasional.
Dalam soal pengaruh dan reputasi, di awal-awal reformasi GD pernah membuat “eksperimentasi politik” dengan mengangkat sejumlah kiai lokal ke pentas nasional dengan sebutan “kiai khos” atau “kiai langitan”. Kiai-kiai ini tidak hanya bertugas sebagai pemutus kata akhir, melainkan ikut menentukan arah dan keputusan politik umat. Setelah diangkat GD, kiai-kiai ini yang awalnya hanya memiliki basis dan pengaruh di daerah masing-masing, dalam sekejap memiliki reputasi dan tampil dalam panggung politik nasional.
Namun, setelah mereka berpaling dan membentuk partai politik sendiri, GD membuat anti tesa “kiai khos” (kiai elit) dengan memunculkan “kiai kampung” (kiai populis). Kemunculan “kiai kampung” ini dengan sendirinya menurunkan reputasi dan popularitas “kiai khos” di pentas nasional. Partai politik yang dibentuk “kiai khos” untuk menandingi PKB GD tenggelam terhalang parliamentari threshold.
Dalam hidupnya GD banyak berjasa mengangkat dan mempromosikan orang. Meskipun tak sedikit dari mereka yang berbalik memusuhinya. Kembali ke tulisan GD. Dari sisi kapasitas kepemimpinan, ada dua model kepemimpinan umat. Pertama, menitikberatkan pada penguasaan dan pendalaman ilmu agama. Ini berlaku di NU. Jabatan Syuriah selalu dipegang oleh orang yang menguasai ilmu-ilmu agama. Kedua, hanya mengutamakan kemampuan organisatoris.
Dalam sebuah organisasi, antara keduanya (ulama dan organisatoris) seringkali terjadi benturan dan perebutan pengaruh. Ini pernah terjadi ketika NU menyatakan keluar dari Masyumi. Menurut GD, keputusan ini diambil karena dalam tubuh Masyumi tidak menerima kepemimpinan ulama yang waktu itu didominasi kiai-kiai NU. Jadi, persoalannya bukan karena perebutan posisi menteri agama yang selama ini digembar-gemborkan Masyumi.
Rupanya, hal serupa terjadi pada MUI. Sebagai lembaga keagamaan yang anggotanya terdiri dari perwakilan organisasi-organisasi keagamaan, tolak-tarik ulama dan organisatoris seringkali memengaruhi produk-produk fatwa yang dihasilkan lembaga ini.
Dari sisi pemikiran dan orientasi kaagamaan, kata GD, pemimpin umat terbagi tiga jenis. Pertama, kepemimpinan yang mementingkan sisi inklisif dan integratif islam. Mereka lebih mementingkan titik temu dan nilai-nilai universal Islam ketika berhadapan dengan agama, sistem keyakinan, atau kerangka pemikiran lain di luar Islam.
Kedua, orientasi eksklusif. Mereka menganggap Islam agama paling sempurna, paling unggul, dal paling lengkap dibanding agama-agama lain. Jika yang pertama lebih banyak mencari titik temu agama-agama, jenis kedua ini lebih suka berdebat dan menonjolkan sisi kehebatan dan keunggulan Islam di samping berusaha mengalahlan kelompok agama lain.
Dan ketiga, berorientasi formalisasi Islam dalam segenap kehidupan, tapi tetap menerima kehadiran kelompok lain. Mereka lebih suka menampilkan identitas dan citra keislaman di ruang publik tanpa harus berhadapan dan berkonfrontasi dengan pihak lain.
Pluralitas kepemimpinan yang secara sosiologis dipaparkan GD agaknya masih relevan hingga hari ini. Hanya, kita kesulitan menemukan pemimpin paripurna sebagaimana yang dikatakan GD, yakni pemimpin yang memiliki akar lokal yang kuat, kokoh, dan secara nasional diakui semua umat. Sesuai watak dasar kepemimpinan, pemimpin umat terpolarisasi ke dalam corak, watak, dan model kepemimpinan yang membentuk barisan umatnya sendiri.
Ulama-ulama besar NU seperti Kiai Maimun Zubair, Kiai Musthofa Bisri (Gus Mus), Kiai Said Aqil, juga Habib Lutfi yang memiliki reputasi dan pengaruh lokal dan nasional, tidak mungkin diakui dan dipatuhi pengikut HTI, PKS, dan FPI, karena mereka memiliki panutan dan junjungan sendiri, seperti Habib Rizieq Syihab, Hidayat Nur Wahid, Ismail Yusanto, Fahri Hamzah, dll
Sehingga sangat sulit-bahkan mendekati mustahil-menemukan satu kata dalam memutuskan perkara umat. Bukan hanya karena perbedaan corak dan model kepemimpinan, orientasi, pemikiran dan pandangan pemimpinannya pun berbeda-beda.
Perbedaan-perbedaan itu tak perlu disesali, kata GD. Biarlah ia tumbuh alamiah tanpa harus ditekan atau dihapuskan apalagi diseragamkan. Kita tidak mungkin melawan sunatullah. Yang terpenting, kata GD diawal tulisannya, kepemimpinan selalu berkembang dari dulu sampai sekarang menuju masa depan. Tinggal bagaimana kita menyikapi perubahan-perubahan itu.